25 December 2015

Menjaga Kemurnian Islam

Hasil belajar saya membawa pemahaman bahwa agama yang saya peluk ini, Islam diajarkan oleh Allah SWT melalui utusan-utusan. Nah utusan atau para Nabi ini tugasnya meluruskan penyimpangan-penyimpangan ummatnya terhadap aturan Tuhan. Ada yang ditugaskan menjaga keberlangsungan keturunan dengan memerangi kaum homo seksual - Nabi Luth a.s.; ada yang tugasnya menghentikan penjajahan keji kepada sebuah bangsa oleh kekuasaan seperti yang dilakukan Nabi Musa a.s. pada bangsa Israel oleh kekejaman Fir'aun, dan ada pula yang tugasnya menegakkan urusan tauhid / keesaan Tuhan seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s.


Kisah-kisah ini kemudian dikompilasi dalam catatan-catatan / kitab atau hikayat yang disampaikan oleh para utusan tersebut, dan Alhamdulillah ummat Islam memiliki catatan yang terjaga melalui Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kalau kita perhatikan, nabi-nabi tersebut melakukan hal yang sama, yaitu mengajak ummatnya mentaati perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Apa yang dilakukan para Nabi tersebut hakekatnya adalah memurnikan ajaran asli Allah swt agar manusia terbebas dari kesesatan. Apa yang dilakukan Nabi Musa a.s. dan Nabi Ibrahim a.s. berkenaan dengan berhala adalah contoh gamblang. Untuk kita, ummat Muhammad SAW, kita sudah diberikan 2 panduan yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah yang akan menjaga kita dalam bertindak dan bersikap dalam semua segi kehidupan kita. Tidak ada ulama paling hebat, kecuali ulama yang mengikuti kedua sumber ini, tidak ada kefaqihan dan kehebatan kecuali kesesuaian dengan dua sumber ini.

Kemudian, kita dapat membagi secara sederhana segala aturan dan panduan dalam Quran Sunah tadi ke dalam 2 kelompok besar. Yaitu:

1. Perkara Ibadah (dalam arti sempit), artinya segala ritual dan kegiatan yang sebelumnya dilarang, kecuali ada panduannya (sumber lain) Contoh, kita melakukan panggilan shalat dengan adzan karena panduannya begitu, atau kita menghadap kiblat saat shalat karena ada dasarnya seperti itu.

2. Perkara non-ibadah (keduniawian), yang pada hukum asalnya merupakan kebolehan dan kewajaran, kecuali ada aturan yang melarangnya. Contoh, jual beli secara umum dibolehkan, tetapi Allah SWT melarang riba.

Dengan pemahaman mendasar tersebut maka apapun peristiwa dan perkara-perkara yang ada akan mudah kita cerna dan sikapi.

Contoh:

1). Ummat Kristen yakin bahwa Nabi Isa adalah Tuhan dalam konsep trinitas. Beliau a.s. dilahirkan dan mengalami kematian. Hal ini bertentangan dengan pemahaman Islam sesuai dengan Al-Qur'an seperti dalam surat al-ikhlas misalnya, maka kita menolak doktrin ini. Tentu, menjadi kebebasan bagi kawan-kawan kristiani untuk berbeda pemahaman karena memang agamanya juga berbeda. Mengucapkan selamat misalnya adalah hal umum yang boleh dilakukan, khusus untuk mengucapkan selamat natal, maka karena berlawanan dengan tauhid/aqidah untuk itu maka dilarang.

2. Soal Maulid Nabi, perayaan Isra' Mi'raj. Jika dipandang sebagai perkara ibadah, tentu ini tertolak, karena tidak ada syariat yang mengajarkan. Jika dipandang sebagai muamalah biasa, maka ada banyak kreativitas kita untuk mengganti, menghilangkan atau mengubah perayaan tsb. Sesekali baik juga kalau kita tidak melakukan atau memperingati maulid nabi atau Isra' mi'raj. Mengkhususkan hari tersebut sebagai bagian perayaan Islam yang dilaksanakan terus-menerus tentu saja termasuk berlebihan. Adapun aturan kenegaraan yang meliburkan hari tsb misalnya, maka itu merupakan perkara negara dan ritual budaya belaka yang kebetulan diberikan kepada kaum muslimin di sini.

3. Soal Khilafah dan Daulah Islamiyah. Silahkan dikaji, perkara kekuasaan apa masuk pada ibadah atau muamalah. Apakah sistem kerajaan / kesultanan itu tidak dibolehkan? padahal Nabi Sulaiman a.s. saja mewarisi kerajaan nabi Daud a.s. Rasulullah SAW mengisyaratkan Abu Bakar r.a. sebagai penggantinya, kemudian maka para sahabat memanggilnya "Khalifatu Rasulullah" (Pengganti Rasulullah), sementara Abu Bakar r.a. menunjuk Umar r.a. sebagai penggantinya, tetapi Umar keberatan menyandang gelar Khalifatu Rasulullah, dan para sahabat kemudian memberikan gelar "Amirul Mukminin" (Pemimpin kaum beriman". Indonesia sendiri misalnya, yang wilayahnya terbentang luas dan terdiri dari ribuan pulau para founding fathers kita memilih menggunakan musyawarah perwakilan untuk menyelesaikan masalah-masalah politik di bangsa ini, sebenarnya ini adalah bentuk kekhalifahan yang sangat cerdas dan Islami yang kemudian kita obrak-abrik sendiri karena intervensi kepentingan pihak asing. Soal daulah misalnya, apa benar kita harus berusaha teguh untuk membentuk kekuasaan Islam yang terpusat untuk seluruh dunia sementara hal-hal mendasar di sekeliling kita saja belum Islami? Sementara Syikh Nasiruddin Al-albani sendiri berkeyakinan bahwa tindakan yang penting dilakukan ummat Islam terutama pemuda-pemudanya adalah melakukan Tasyfiyah (memurnikan Islam) dan Tarbiyah (mendidik ummat). Kondisi lemahnya ummat, bengisnya kaum kafir seperti sekarang ditambah oleh pesan daulah islamiyah dan kekhalifahan yang tidak tepat hanya melahirkan faham kekerasan yang merusak nama Islam seperti ISIS. Lalu hal ini malah menjadi fitnah untuk kalangan muslimin sendiri.

4. Soal  Syiah dan Imamiyah. Selain syiah, sebenarnya ada kaum khawarij dan mu'tazilah yang menyimpang dari ajaran Islam sejak dulu. Kesesatan Syiah sangat terang benderang, karena mereka menolak hal-hal pokok di dalam Islam. Syiah disebut juga Rafidhah karena menolak kepemimpinan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. Soal Imamiyah mereka juga menjadi hal yang sangat konyol karena yang dianggap mereka sebagai imam ke-11 tidak memiliki keturunan, sehingga menyulitkan logika mereka sendiri pada kehadiran Imam ke-12.

Masih banyak contoh-contoh sederhana yang dapat kita analogikan dengan pendekatan di atas. Yaitu tentu saja melalui kajian Quran Sunnah lalu mengidentifikasi apakah perkara tersebut termasuk Ibadah (yang disyariatkan) atau sesuatu yang diserahkan kepada kita untuk bekreativitas sendiri (perkara non ibadah). Lalu kita pun menjalani Islam ini melakukan Tarbiyah (pendidikan) dan Tashfiyah (pemurnian), maka insyaallah Islam pun akan bangkit dengan sendirinya. Kita memulainya dari diri kita sendiri (ibda bin nafsik) lalu kepada keluarga dan pada akhirnya akan terbentuk ummat yang Islami sebagaimana nasehat Syaikh Nasiruddin Al-albani.

Terakhir, saya menemukan artikel ini, tentang kekeliruan Syeikh Nashiruddin Al-albani terkait politik Islam, layak dibaca.


Wallahu 'alam.