Oleh: Erie Sudewo, Pendiri Dompet Duafa
Sekarang saya ada di Bandung. Pelesiran? Bukan. Ada sesi sharing Senin malam. Saat bicara, jujur, kadang saya sulit bedakan fakta dan opini.
Fakta obyektif, sunatullah apa adanya. Sedang opini, subyektif dong. Ada sesuatu di balik opini. Fakta tak boleh ditambah atau dikurangi. Saat fakta ditafsir, jadilah opini. Saat tafsir menafsir, nafsu menelisik.
Tuan dan puan, begitu yang terjadi belakangan ini. Retorika opini tersaji memukau. Kepiawaian mainkan kata, lebih dihargai ketimbang fakta.
Inilah das sein dan das sollen. Antara kulit dan isi. Yang pertama menarik dari manusia jelas tampilannya. Sama seperti buah. Kulit jadi penentu pertama dibeli tidaknya buah. Ketika isinya masam, sumpah serapah jadi konsekuensi.
Simak baik-baik. Negeri ini sedang diracuni. Dan ada media masa yang naga-naganya bermain. Dalam sajikan fakta, "jas merahlah". Jangan lupakan sejarah.
Yang paling dan amat berjasa lahirkan Indonesia itu siapa? Para founding fathers. Tapi tanpa ulama dan tokoh Islam, apa founding fathers bisa teguh hati?
Andai Jenderal Soedirman bisa longok kembali negeri ini, apa yang bakal dia jawab atas pertanyaan di bawah ini: “Ketika bergerilya, dimana anda bermalam: Di toko, atau di tokoh yang siapkan rumah di kampung?” Siapa kira-kita tokoh yang di kampung itu.
Toko jelas perlu. Tokoh lebih jelas lagi. Namun apakah Jenderal Soedirman dan tokoh pergerakan nginap di toko kelontongan ? Dalam kondisi normal, pedagang untung. Dalam kondisi tak normal, pengusaha lebih untung. Dan dalam kondisi chaos, pedagang pun tetap tak mati angin raup laba.
Lantas, kira-kira apa kontribusi pedagang pada perjuangan kemerdekaan? Pasti ada. Siapa yang menyumbang pesawat pertama Garuda? Hanya berapa banyak saudagar yang mau gelontorkan harta untuk bangsa. Bukan SANGGUP, tapi MAU-kah?
Lihat sejarah, siapa sih yang sungguh-sungguh berjuang lahirkan Indonesia. Tanpa toleransi ulama dan tokoh Islam, apa bisa sila pertama Pancasila sekarang ini cuma tertera “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja?
Wallahu’alam.