30 June 2017

MEMBANGUN SEMANGAT REVOLUSI MELALUI KESENIAN DAN KEBUDAYAAN

Pesantren Kreatif iHaqi 21 Februari 2017, Pelatihan Media Sosial untuk sebagai media dakwah (Republika online


Kang Sirod (blogger, entrepreneur, tukang di arus.co.id)
-disampaikan di WA Group Seni Sastra dan Budaya

#Activism #Revolt #Seni&Budaya

Ada 3 kata penting yang akan disampaikan dalam sharing online di jejaring media sosial whatsapp group ini: Revolusi, Kesenian dan Kebudayaan. Bukan topik yang ringan buat seorang ayah beranak 3, dengan 1 istri, tanpa prestasi apa-apa dalam kesenian dan kebudayaan.

Kalaupun ada prestasi seni, mungkin hanya juara lomba adzan di tingkat RT di sebuah kampung bernama Ngamprah Padalarang saat saya kelas 5 SD, atau jika itu satu pencapaian mungkin juara 3 puisi di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat saat usia 10 tahunan.

Tak layak juga disebut Revolusionist jika disandingkan pada pesohor sejarah yang merubah cara hidup dan nasib banyak orang karena karya-karyanya. Tetapi mungkin sebuah sistem terintegrasi pengolahan air di rumah sakit pertama di Indonesia, sebuah rumah sakit kanker & jantung milik swasta di Semanggi. Sistem ini sering dibangga-banggakan karena itulah pencapaian tertinggi bagi seorang praktisi air bersih seperti saya.  Sistem ini merupakan konsep baru yang merubah sistem air bersih di seluruh rumah sakit - rumah sakit di Indonesia.

MUSIK DIGITAL

Revolusi, Seni, Budaya, adalah tiga kata yang saya gandrungi sebagai seorang penikmat seni "rendahan". Saya bisa menikmati pop jazz seperti Joss Stone, tetapi kesulitan menikmati musik jazz sebenar-benarnya jazz.

Saya juga bisa menikmati musik indah nusantara seperti Kacapi Suling seperti ini: https://soundcloud.com/phiank/kacapi-suling-sunda-bangbara?in=muhammad-sirod-rasoma/sets/kacapi-suling

sampai alunan ritmik dari tanah batak seperti ini: https://soundcloud.com/riki-rotwoa-nababan-1/batak-instrument-indonesia-bii?in=muhammad-sirod-rasoma/sets/musik-nusantara

Sengaja saya nyalakan musik dari ranah minang seperti ini, agar mertuaku yang asli Pantai Painan dapat senang hatinya:



sungguh suatu kenikmatan menjadi awam ilmu musik, miskin budget dengan sedikit ketikkan kata kunci di Soundcloud saya menikmati alunan indah karya seni musikus jenius, tanpa harus repot-repot sebagaimana penikmat musik jaman dulu.

Sesekali boleh juga ketika menyetir, meracau mencurahan isi hati. Entah penyesalah entah motivasi, yang penting narsis tak mengapa, diniatkan untuk ibadah, walau karya itu dianggap sampah, ya pasrah saja..

misalnya:  Memahami komunikasi ala Soekarno: https://soundcloud.com/muhammad-sirod-rasoma/kemampuan-komunikasi-soekarno



Jika Soundcloud berisi cipta karya musikus yg merdeka, maka Joox merupakan gudang musik dari label-label berjaya di industri musik, bolehlah diunduh sebagai pelipur lara saat mengendara. Pilihan lirik di aplikasi lumayan lah pengganti bernyanyi di kamar mandi..

Fasilitas Lyrics Card pada Aplikasi Joox.



PUISI BLOG

Jika pilihan kata menunjukkan kasta, maka puisi adalah gubahan hati sanubari yang tak perlu dikritisi. Puisi saat ini bisa dinikmati dengan hanya mengetikkan beberapa kata kunci, ribuan sastrawan asli sampai gadungan bermunculan.

Tapi bolehlah jika seorang tukang seperti saya mengungkapkan rasa berupa untaian kata yang tak berirama karena saya bukan musikus ternama, ia hanya ungkapan keindahan dan kekaguman atau kebencian yang dipendam atau dibaca sebagai pengingat diri, seperti di sini: http://pujangga-tanggung.blogspot.co.id/2016/03/hidup.html

18 Agustus 2015 di perairan kepulauan seribu
Hidup...

Hidupku kawan, seperti seorang nelayan
pergi di keheningan malam, pulang dalam belaian terik mentari pagi..
tergopoh-gopoh ke pantai membawa sedikit ikan,
menawarkan dengan sisa tenaga di pelelangan,

hidup seperti ini kawan,
mengarungi samudera luas ciptaan sang Maha Kaya,
berjuang demi anak dan istri di rumah,
yang menanti rejeki baik dari kita.

indahnya berjuang itu kawan,
seperti nelayan yang perkasa,
siraman air garam pada tulang dan kulit legam hitam,
menjadi berkah ibadah,
menjadi bukti keikhlasan diri,

Kukusan, 21 Maret 2016



Sedikit sekali karya puisi saya itu. Pernah di kalbar dulu sewaktu SD saya menuliskan puisi dalam sebuah buku, mungkin sudah puluhan saya tulis, tapi ia lenyap dimakan rayap. Jika nanti saya bertemu Tuhan, saya ingin buku itu ia ciptakan kembali. Aamiin..


MEMBACA & MEMBUAT RESENSI BUKU

Membaca, satu kemewahan buat saya kini. Kenapa? karena waktu untuk membaca buku harus ditukar oleh kesibukan lain. Sibuk berdiskusi bertukar fikiran di media sosial. Alhamdulillah, ada penulis-penulis yang telaten menulis dan saya berteman dengan penyalintempel, puluhan whatsapp group saya ikuti, tulisan sama saya baca berulang hehehe..

Tak mengapa, masih tersisa sedikit waktu dulu, ada buku pop (lagi2 pop, karena ringan dan gak butuh kening berkerut), yang saya baca, hasil hadiah dari sebuah provider telekomunikasi. Buku itu ternyata salinan dari sebuah film Hollywood, tentang cerita seorang pencuri baik hati dari seramnya hutan sherwood: http://sirod.blogspot.co.id/2010/10/robin-longstride.html

Ulasan novel Robinhood yg merupakan adaptasi dari film Hollywwod - Russel Crowe

Saya ternyata bukan Indonesia, belum berani ngaku Pancasila juga 😀, karena ada 12,125% saya berdarah China. Bukan China di Glodok yang bicara Hokkian, atau China Medan & Batam yang fasih berbahasa Kanton, ini benar-benar China Daratan (mainland) yang kini disalahmengerti penduduk negeri.

Sila pergunakan geni.com untuk membuat silsilah atau pohon keturunan kita, siapa tahu kita benar-benar memang keturunan bangsawan, pahlawan atau orang-orang hebat untuk sekedar memberi harapan palsu di sekelebat pemikiran kita hahaha..


Jatidiri, begitu orang bilang. Adalah sejujur-jujurnya darah dan kultur yang diberikan Tuhan kepada kita. Tak perlu bangga berbangga karena semua manusia punya suku bangsa, bahasa dan budaya, tak perlu lupa karena ia bukan pilihan melainkan warisan, tak perlu mencaci, karena Tuhan mencipta berbeda untuk salingsapa, bukan dibuat jurang pemisah antara, menguak disparitas menjauhkan solidaritas.

Walau sunda campuran, yang katanya ada trah pangeran, bergelar raden dari seorang perempuan. Dialah Rd. Siti Hawa nenekku, membuat saya mencoba menggali apa kelebihan-kelebihan seorang sunda yang bangsawan. Maka dibacalah sebuah buku, karangan jepun ber-ilmu. Sila ketik kata kunci dalam mesin pencari: "kebudayaan sunda site:sirod.blogspot.com" maka inilah saduran dari buku yang saya baca:

Saduran hasil membaca buku karya Mikihiro Moriyama

Berkompromi dengan Kolonialisme demi kemajuan Budaya Sunda -
http://sirod.blogspot.co.id/2010/12/berkompromi-dengan-kolonialisme-demi.html

Beberapa alternatif media seni budaya tsb dapat diakses dengan mudah, murah meriah dan lumayan melupakan jenuh deru membosankan ibukota. Belum lagi saya bahas betapa banyak karsa dan karya warga indonesia bertemu berinteraksi sampai berbuah cinta seperti saya. Ya! saya menemukan istri dari sebuah kopi darat dari mailing list berbahas inggris.

Betapa revolusi budaya telah terjadi, siap gak siap kita berada di pusaran cepat-nya. Mari eksplorasi, sinergi dan organisasikan semuanya, demi manfaat besar bangsa ini. Bangsa yang ribuan tahun telah ada sebelum puluhan tahun berbentuk negara. Bangsa yang katanya dahulu kala terbentuk dari peradaban atlantis, menyemangati banyak orang untuk optimis.

tempa besi, kena bakar,
tempat buaya, ke penangkar,
tanpa seni jadi kasar,
tanpa budaya, jadi barbar

bersampan ke Kalimantan, malah menepi di Pelalawan
negeri batubara, dalam hutan hujan tropika.
aku bukan seniman apalagi sastrawan
hanya pengembara keindahan di bumi Nusantara


26 June 2017

TERPISAH PATI DARI AMPAS




"..I'm a dad, I'm a husband, I'm an activist, I'm a writer and I'm just a student of the world.." - Michael J. Fox

Pertemuan Tim 7 GNPF dengan Presiden Jokowi, Menkopolhukam Wiranto dan Sekretariat Kepresidenan 1 Syawal 1438 Hijriah atau 25 Juni 2017 kemarin ditanggapi beragam oleh aktivis nasionalis, aktivis Islam sampai aktivis seleb. Pro kontra wajar saja dikemukakan, karena pemerintah yang Jokowi pimpin selama ini dianggap repressif dan gagal menyejahterakan rakyat kecil.

Pasca Pilpres 2014 lalu memang dunia aktivis seakan kompak mengkritik, mengoreksi dan men-jewer rezim ini dengan beragam aksi simpatik, heroik sampai aksi-aski tak mendidik. Aktivis sejatinya memang akan terus hidup, bilamana ketidakadilan masih dirasakan banyak orang. Mereka seperti Michael J. Fox katakan, adalah orang-orang biasa, mereka bersuara karena kejujuran dalam nurani mereka masih bersuara. Bukan laksana ikat mati yang hanyut terbawa arus.

Hanya saja, ummat Islam dan kaum nasionalis konservatif musti faham bahwa tidak semua aktivis itu "merdeka" lalu "beradab", seperti ujaran kata-kata  berikut:

"..I am a technological activist. I have a political agenda. I am in favor of basic human rights: to free speech, to use any information and technology, to purchase and use recreational drugs, to enjoy and purchase so-called 'vices', to be free of intruders, and to privacy.." - Bram Cohen

Cohen menyebut dirinya aktivis sampai pada kebebasan individu, sangat sekuler liberal, persis pada kelompok yang ada di belakang Jokowi saat ini. Bibit-bibit sekuler liberal ini juga menghinggapi kelompok yang tadinya kompak jelang aksi mengagumkan dari GNPF MUI dari 411 sampai 212 tahun lalu itu. Beragam exponen bersahutan dari aktivis yang mengenal Tuhan sampai aktivis selebritis yang dipuja-puja di laman-laman social media.

Bob Marley berkata "..Life is one big road with lots of signs. So when you riding through the ruts, don't complicate your mind. Flee from hate, mischief and jealousy. Don't bury your thoughts, put your vision to reality. Wake Up and Live!.."

Munculnya kalimat nyinyir dari aktivis medsos yang seperti merasa PALING SUCI, PALING HEBAT dan PALING KUAT itu sebenarnya adalah pertanda kehidupan. Bahwa saringan kehidupan sedang berjalan. Jika sebelumnya Bangsa ini terpisah dari mana yang berteriak salam dua jari dan salam tauhid, maka saat ini bangsa ini kembali tersaring dari yang mana teguh pada komando ulama dan mana yang terombang-ambing ikuti arus popularisme dan syahwat disebut hebat.

Lambat laun Tuhan akan tunjukkan apa itu Al-Furqan - Pembeda, mana yang benar-benar berjuang, mana yang tujuannya mencari RUANG dan UANG. Mana yang benar-benar kenal dengan Habieb Rizieq, mana yg sok kenal sok dekat dengan beliau. Aktivis seleb ini mungkin lupa, bahwa kemenangan hanya akan didapat dari kelompok yang justru mentalitasnya tidak merasa terlalu senang ketika menang, dan tidak terlalu kecewa ketika didera duka.

Maka wahai para aktivis Seleb, aktivis salon dan yang isi rumahnya dihiasi perabotan hasil hadiah dari para ponggawa negeri atau pencuri, diamlah. Kalian bukan rujukan kami lagi, kalian ini gagal. Revolusi Indonesia bukan dimulai dari cafe ke cafe, Revolusi ini akan dilanjutkan dari teriakan takbir dan dzikir dari musholla Allah di seluruh penjuru negeri.


Sirod M. Rasoma
Koordinator Forum Alumni Peduli NKRI
Co. Founder Komunitas Merah Putih

24 June 2017

Diskursus soal Khilafah, Tanggapan tulisan Prof. Fahmi Amhar : Menantang Ide Khilafah (Bag 2)

Terkait tulisan MENANTANG IDE KHILAFAH Oleh: Prof. Fahmi Amhar, berikut tanggapan saya:

Tanggapan tulisan Prof. Fahmi Amhar : Menantang Ide Khilafah 

Sebenarnya yg bikin ummat Islam gak nyaman dengan ide Khilafah HTI itu karena HTI tidak mengikuti dasar ushul fiqh soal siyasi dalam Islam. Islam mengatur "urusan keduniaan" sebagai sesuatu yg asalnya boleh (mubah), sementara yg haram itu hanya perkara ibadah. Jadi dasar hukum itu awalnya hanya ada 2. 

Perkara yg mengatur ibadah itu awalnya haram KECUALI Ada ayat yg mengatur, kalau mengada2 disebut bid'ah. Sementara kalau perkara keduniaan berlaku boleh kecuali ada dalil yg melarang, sebagaimana dikarangnya riba atas jual beli, dikarangnya berzina atas pernikahan. 

Sementara HT mengajarkan "ajaran baru" yang disebut Khomsatul Ahkam: hukum yang lima. Entah ajaran siapa mengelompokkan dasar hukum menjadi 5 bagian sehingga kemasyarakatan, hukum dan Khilafah yg sifatnya diserahkan pada kita menjadi baku dan saklek. 

Aktivis HTI kebanyakan yg saya temui umumnya senang berfikir deduktif (dari teori dulu baru ke praktek), terserang kerinduan kejayaan masa lalu (sebagaimana sebagian besar komponen bangsa yg terpuruk selalu begitu) dan gagal memahami urut-urutan keislaman mulai dari "thoharoh" sampai "Tarbiyah jihadiyah", gak melaksanakan Islam dari "ibda bin nafsik" - "quu anfusikum wa ahlikum naaroo" sampai "barangsiapa terbangun di pagi hari tidak memikirkan ummatku,  maka dia bukan ummatku", bahkan banyak di antaranya gak kuat memahami teori sistem yg dikuatkan dengan sirah nabawiyah, padahal dari terbaginya Qur'an menjadi makkiyah dan madaniyah saja mustinya menjadi tanda buat orang-orang yang berfikir. 

Jadi kelemahan HTI sebenernya lebih banyak pada oknum2 yg kurang mumpuni pada HTI itu sendiri, secara konsep sebenarnya HT atau Khilafah adalah konsep yg bagus, sempurna dan layak kita pakai. Cuma cara memakainya, tahapan melaksanakannya gak difahami oleh kebanyakan oleh aktivis HTI.  

Kembali pada perjuangan dakwah yg diusung kawan-kawan NU, Muhammadyah, Persis, Al-Irsyad dan kawan-kawan Salafy sebenarnya inti perjuangan ummat saat ini lagi-lagi memang kembali ke pendidikan: "Tarbiyah & Tasyfiyah", karena kegelapgulitaan ummat berada dari sana. 

Saya mengajak komponen HTI untuk ngaji juga kepada bagian ummat lainnya, bukan malah menghakimi dan mengundang untuk diserang seperti yg dilakukan BKIM pada parpol ormas Islam di awal saya masuk IPB dulu, atau bahkan BKIM menolak untuk berkantor di Al-Hurriyah misalnya. Ini jelas ketololan harokah, gak punya adab ukhuwah sama sekali. 

Pada pergerakan 212, saya menemukan komponen HTI yang mau dikomando dan digerakkan oleh komponen ulama lain, buat saya pergerakan ini sudah menemukan frekuensi yang sama, jalinan ukhuwah yang baik serta komunikasi konstruktif yg proven. "Pertukaran" aktivis seperti keluarnya Abangda Gatot Al-Khathath A20 membangun jejaring Forum Ummat Islam juga merupakan "infaq" yang diberikan HTI pada ummat ini. Hasilnya sungguh efektif membangun kekuatan pergerakan Islam di Indonesia,  cikal bakal "Khalifatul fii Induunisia" semakin tampak jelas. 

Apa yang dibangun oleh adinda Felix Siauw A38 dengan komunikasi yang ringan dan berbobot khas kedalaman materi sejarah Islam dan sistem Islam juga menyajikan logika-logika dan argumentasi bernas ala intelektual Islam yang sudah dibangun ormas Islam. Cara Felix Siauw bukan ala anak-anak HTI yg cenderung ogah berdiskusi dan mengajak mad'u untuk datang ke halaqoh mereka dengan dijejali oleh pemikiran-pemikiran dan argumen - argumen yg sudah disiapkan. Felix Siauw menjadi corong ide-ide orisinal Islam dengan content berkualitas hasil riset dia karena kedisiplinan menggali keindahan Islam yang semakin mudah didapat di era digital ini. 

Jadi, selamat bergabung HTI. Anda bagian dari ummat ini. Ada satu tugas kalian, bantu kami di Pilkada serempak dan Pilpres 2019. Tutup rapat mulut kalian tentang haramnya demokrasi, atau kami biarkan kalian dihabisi oleh rezim ini dan merasa kalian kuat dalam shaft kalian sendiri.

Sirod M. Rasoma
Aktivis 98, founder Jundullah Cyber Army

Diskursus soal Khilafah, Tanggapan tulisan Prof. Fahmi Amhar : Menantang Ide Khilafah (Bag 1)

Setelah ada kabar bahwa Pemerintah Jokowi membekukan ormas Hizbut Tahrir Indonesia, maka diskusi soal Khilafah dan Daulah Islamiyah menjadi topik yang menarik banyak orang. Sebagai lulusan IPB yang di dalamnya terdapat organisasi kemahasiswaan yang menjadi pemasok aktivis Islam di HTI: Badan Kerohanian Islam Mahasiswa IPB, saya tertarik menanggapi tulisan Prof. Fahmi Amhar berikut ini: 

MENANTANG IDE KHILAFAH
Oleh: Fahmi Amhar
Tulisan Prof. Moh Mahfud MD di harian Kompas edisi 26 Mei 2017 berjudul "Menolak Ide Khilafah" telah memulai sebuah diskursus tingkat elit intelektual di negeri ini. Kalau dulu diskursus ini ibaratnya hanya terjadi di antara para “prajurit” – bahkan “prajurit cyber”, maka kini para “senapati” sudah turun gelanggang.
Saya memahami kalau Prof. Mahfud mendapatkan pernyataan yang dirasakan “tidak cukup bermutu” dari seorang aktivis ormas Islam yang “nobody”. Bayangkan, seorang guru besar, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); dan Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013, ditanya dengan nada marah dan merendahkan dari seseorang yang mungkin bahkan tidak hafal pembukaan UUD 1945.
Saya sendiri tidak merasa pantas untuk memberi komentar terhadap tulisan Prof. Mahfud tersebut. Namun sebagai anak bangsa, hak saya untuk berpendapat tentu saja dilindungi oleh konstitusi.
Saya bukan alumnus kampus-kampus yang dinilai Ketua Umum PB NU Said Agil Siradj tempat persemaian radikalisme. Saya S1 sampai S3 di Vienna University of Technology, Austria, sebuah negara demokratis di Eropa. Saya sepuluh tahun di sana. Sepertinya Austria negara yang sudah adil dan makmur, meski tidak mengenal Pancasila. Saya tidak belajar hukum secara khusus, melainkan hanya beberapa mata kuliah. Namun di tahun 1987 saya sudah mengenal tentang Constitutional Court, sesuatu yang saat itu belum pernah saya dengar di Indonesia. Saya juga ikut menyaksikan ketika tahun 1989-1991 negara-negara Blok Timur berubah dari komunis ke kapitalis. Dan saya juga menyaksikan bagaimana Austria melakukan referendum untuk bergabung ke Uni Eropa atau tidak.
Saya melihat, dalam sistem demokrasi, sistem di Austria berbeda dengan Jerman, Swiss atau Perancis, meski sama-sama Republik. Sistem demokrasi juga diterapkan di Inggris atau Belanda, meski mereka menganut monarki. Ini artinya, orang bisa sama-sama menerima demokrasi tanpa mempersoalkan “demokrasi yang seperti apa?”.
Pertanyaannya, mengapa untuk demokrasi kita bisa seperti itu, tetapi untuk sistem pemerintahan Islam - Khilafah - kita tidak bisa? Kenapa kita menolak ide khilafah dengan argumentasi tidak ada bentuk yang baku, khususnya cara suksesi kepemimpinan? Sebenarnya kita bisa lebih arif, setidaknya menantang diskusi bahwa ide khilafah adalah sebuah alternatif dari suatu kemungkinan kebuntuan politik.
Dalam sejarahnya, Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 pernah berubah-ubah. Tak sampai tiga bulan setelahnya, yakni pada 14 November 1945, Presiden Soekarno sudah mengubah sistem presidensil menjadi parlementer. Pasca Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Indonesia berubah menjadi negara federal (RIS). Lalu tahun 1950 kembali ke NKRI dengan UUDS-1950 yang bunyi sila-sila dari Pancasila sangat berbeda. Pasca dekrit 5 Juli 1959 kembali ke UUD-1945 tetapi masih mengakui Partai Komunis Indonesia (PKI). Inti dari sejarah ini, saya bertanya-tanya: benarkah dulu para pendiri bangsa menganggap UUD1945 itu adalah final? Kalau final, kenapa disisakan sebuah pasal 37 yang memungkinkan UUD1945 diubah? Kalau benar wilayah NKRI itu final, mengapa tahun 1976 kita menerima Timor Timur berintegrasi, lalu tahun 1999 kita lepas lagi? Kalau konstitusi NKRI itu final, mengapa pasca reformasi kita amandemen berkali-kali?
Oleh karena itu, kalau kita menuduh kelompok pro-khilafah itu radikal dan telah “terindoktrinasi” atau boleh juga “tercuci-otaknya”, tidakkah jangan-jangan kita juga tercuci otaknya dengan jargon “NKRI harga mati”?
Karena tinggal di Eropa yang sangat demokratis (bahkan agak liberal), sejak akhir 1980-an, saya cukup bebas mengenal berbagai ideologi di dunia. Buku “Das Kapital” – Karl Marx misalnya, saya baca pertama kali di Austria, karena di Indonesia dilarang. Di Austria, buku-buku komunisme sama bebasnya dengan buku-buku anti komunis. Pada masyarakat mereka yang maju, komunisme tidak dianggap ancaman. Partai Komunis Austria ada, tetapi tak pernah meraih kursi dalam pemilu.
Waktu itu, belum ada internet, namun bacaan-bacaan yang bebas itu bahkan mampu menembus tirai besi di negara-negara komunis, yang di sana cuma ada satu koran, satu radio, satu televisi dan satu partai, yang semuanya komunis. Dunia akhirnya menyaksikan keruntuhan adidaya komunies Uni Soviet tahun 1991.
Karena itu, tak heran di Austria juga saya mengenal berbagai gerakan Islam, termasuk di antaranya yang memperjuangkan suatu negara Islam global, khilafah. Untuk orang-orang di negara adil makmur seperti Austria, dakwah memerlukan rasionalitas yang sangat kuat. Mereka tidak bisa menjual perlawanan kepada otoritas publik yang sudah melayani rakyat dengan baik. Mereka juga tak bisa menjual dogma pada masyarakat yang sudah berpikir sangat rasional. Bahkan soal iman pun tidak bisa mengandalkan warisan seperti ditulis oleh ananda kita Afi Nihaya. Faktanya, gender, suku, ras, kelas sosial bisa diwariskan, tetapi jutaan warga Eropa mencari dan menemukan sendiri agamanya dengan bekal akal sehat karunia Tuhan pada mereka.
Oleh karena itu, ide khilafah perlu untuk ditantang dengan lebih arif secara akademis. Sama kalau dalam pelajaran sekolah kita memberi tahu anak-anak kita tentang sistem kerajaan vs sistem republik, demokrasi vs diktatur, kenapa kita keberatan, bahkan ketakutan untuk memperkenalkan sistem khilafah, yang diklaim bukan kerajaan, bukan republik, bukan demokrasi dan juga bukan diktatur? Lantas mahluk apakah ini?
Sependek yang saya tahu, inti dari sistem khilafah itu bukan model suksesi seperti yang Prof. Mahfud katakan sebagai “tidak baku” dan “ijtihadiyah”. Adanya berbagai varian suksesi – yang semua tidak diingkari oleh para shahabat Nabi radhiyallah anhuma – justru menunjukkan keunikan sistem ini. Orang yang akan dibai’at sebagai khalifah boleh dipilih dengan permusyawaratan perwakilan (seperti kasus Abu Bakar), dinominasikan pejabat sebelumnya (seperti kasus Umar, yang kemudian disalahgunakan oleh berbagai dinasti kekhilafahan), dipilih langsung (seperti kasus Utsman), atau otomatis menjabat (seperti kasus Ali, karena dia saat itu seperti wakil khalifah). Semua ini bisa dilakukan, dan bisa mencegah terjadinya krisis konstitusi, yaitu suatu kebuntuan ketika presiden sebelumnya sudah habis masa jabatannya, dan presiden yang baru belum definitif.
Itu baru sebuah contoh. Memang yang saya lihat selama ini ada jurang komunikasi antara pakar tata negara seperti Prof. Mahfud dengan gerakan pro khilafah seperti HTI. Bahkan terma “demokrasi” saja didefinisikan dan dimengerti secara berbeda Bagi HTI, sejauh yang saya tahu, demokrasi itu bukan sekedar prosedural seperti kebebasan bersuara, berserikat, adanya partai-partai politik, pemilu dan parlemen, tetapi demokrasi adalah ketika suara rakyat bisa di atas suara Tuhan, ketika hawa nafsu rakyat bisa mengalahkan dalil halal-haram kitab suci. Inilah demokrasi di Eropa yang bisa melegalkan nikah sesama jenis, atau melarang jilbab di ruang publik.
Pancasila dalam redaksi saat ini, tidak menyebut demokrasi, tetapi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sila ini dimaknai berbeda pada era Orde Lama, Orde Baru atau Reformasi. Demikian juga ekonomi Pancasila, ada aneka tafsir yang bertolakbelakang antara ekonomi terpimpin ala Orde Lama, ekonomi kapitalis ala Orde Baru, dan ekonomi neoliberal ala Reformasi. Bukankah di sini sama tidak jelasnya dengan ide khilafah menurut Prof. Mahfud ? Oleh karena itu, menurut saya, khilafah sebagai ide sah-sah saja ditantang dalam meja diskusi dengan pikiran dingin dalam rangka mendapatkan solusi kehidupan berbangsa.
Prof. Dr. Fahmi Amhar
Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE).
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan pendapat IABIE.

Tanggapan tulisan saya bahas di laman berikutnya..