Publikasi 30/09/2002 06:50 WIB
eramuslim - Woman was made from the rib of man, She was not created from his head to top him, Not from his feet to be stepped upon, She was made from his side to be close to him, From beneath his arm to be protected by him, Near his heart to be loved by him.
Bagaimana perasaan seorang pria jika dikelilingi banyak wanita? Jika pertanyaan itu disodorkan kepada saya, maka ungkapan “bangga” nampaknya cukup mewakili perasaan saya. Saya senang setiap hari dikelilingi wanita cantik, shalihah pula. Dan tentu pada saat itu saya semakin merasa menjadi ‘pangeran’. Ups, jangan curiga dulu, karena wanita-wanita cantik nan shalihah yang saya maksud adalah istri dan dua anak saya yang keduanya ‘kebetulan’ wanita. Insya Allah.
Tidak hanya itu, sebelum saya menikah, saya juga lebih banyak disentuh oleh wanita, yakni ibu karena semenjak usia enam tahun saya memilih untuk ikut ibu saat ia bercerai dengan ayah. Sebuah naluri kedekatan anak terhadap ibunya yang tidak sekedar karena telah menghisap ratusan liter air susu ibunya, melainkan juga ikatan bathin yang tak bisa terpisahkan dari kehangatan yang senantiasa diberikan seorang ibu terhadap anaknya.
Karena itulah, dalam hidup saya tidak ingin berbuat sesuatu yang sekiranya dapat mengecewakan dan melukai seorang wanita. Namun sikap yang tepat dan bijak harus diberikan seorang pria mengingat wanita itu terbuat dari tulang rusuk yang bengkok, yang apabila terdapat kesalahan padanya, pria harus berhati-hati meluruskannya. Terlalu keras akan mematahkannya, dibiarkan juga salah karena akan tetap pada kebengkokannya. Meski demikian, tidak sedikit pria harus membiarkan wanita kecewa demi meluruskan kesalahan itu, toh setiap pria yang melakukan itu pun sangat yakin bahwa kekecewaan itu hanya sesaat kerena selanjutnya akan berbuah manis.
Wanita itu ibarat bunga, yang jika kasar dalam memperlakukannya akan merusak keindahannya, menodai kesempurnaannya sehingga menjadikannya layu tak berseri. Ia ibarat selembar sutra yang mudah robek oleh terpaan badai, terombang-ambing oleh hempasan angin dan basah kuyup meski oleh setitik air. Oleh karenanya, jangan biarkan hatinya robek terluka karena ucapan yang menyakitkan karena hatinya begitu lembut, jangan pula membiarkannya sendirian menantang hidup karena sesungguhnya ia hadir dari kesendirian dengan menawarkan setangkup ketenangan dan ketentraman. Sebaiknya tidak sekali-kali membuatnya menangis oleh sikap yang mengecewakan, karena biasanya tangis itu tetap membekas di hati meski airnya tak lagi membasahi kelopak matanya.
Wanita itu mutiara. Orang perlu menyelam jauh ke dasarnya untuk mendapatkan kecantikan sesungguhnya. Karenanya, melihat dengan tanpa membuka tabir hatinya niscaya hanya semu sesaat yang seringkali mampu mengelabui mata. Orang perlu berjuang menyusur ombak, menahan arus dan menantang semua bahayanya untuk bisa meraihnya. Dan tentu untuk itu, orang harus memiliki bekal yang cukup sehingga layak dan pantas mendapatkan mutiara indah itu.
Wanita itu separuh dari jiwa yang hilang. Maka orang harus mencarinya dengan seksama, memilihnya dengan teliti, melihat dengan hati-hati sebelum menjadikannya pasangan jiwa. Karena jika salah, ia tidak akan menjadi sepasang jiwa yang bisa menghasilkan bunga-bunga cinta, melainkan noktah merah menyemai pertikaian. Ia tak akan bisa menyamakan langkah, selalu bertolak pandang sehingga tak memberikan kenyamanan dan keserasian. Ia tak mungkin menjadi satu hati meski seluruh daya dikerahkan untuk melakukannya. Dan yang jelas ia tak bisa menjadi cermin diri disaat lengah atau larut.
Wanita memiliki kekuatan luar biasa yang tak pernah dipunyai lawan jenisnya dengan lebih baik. Yakni kekuatan cinta, empati dan kesetiaan. Dengan cintanya ia menguatkan langkah orang-orang yang bersamanya, empatinya membangkitkan mereka yang jatuh dan kesetiaannya tak lekang oleh waktu, tak lebur oleh perubahan.
Dan wanita adalah sumber kehidupan. Yang mempertaruhkan hidupnya untuk sebuah kehidupan baru, yang dari dadanya dialirkan air susu yang menghidupkan. Sehingga semua pengorbanannya itu layak menempatkannya pada kemuliaan surga, juga keagungan penghormatan. Tidak berlebihan pula jika Rasulullah menjadi seorang wanita (Fathimah) sebagai orang pertama yang kelak mendampinginya di surga.
Untung saya bukan penyanyi ngetop yang menjadikan wanita dan cintanya sebatas syair lagu demi meraup keuntungan. Sehingga yang tampak dimata hanyalah wanita sebatas bunga-bunga penghias yang bisa dicampakkan ketika tak lagi menyenangkan. Kebetulan saya juga bukan bintang sinetron yang kerap diagung-agungkan wanita. Karena kalau saya jadi mereka, tentu ‘kebanggaan’ saya dikelilingi wanita cantik bisa berbeda makna dengan kebanggaan saya sebagai seorang yang bukan siapa-siapa.
Bagusnya juga wanita-wanita yang mendekati dan mengelilingi saya bukanlah mereka yang rela diperlakukan tidak seperti bunga, bukan selayaknya mutiara dan tak selembut sutra. Bukan wanita yang mencampakkan dirinya sendiri dalam kubangan kehinaan berselimut kemewahan dan tuntutan zaman. Tidak seperti wanita yang rela diinjak-injak kehormatannya, tak menghiraukan jerit hatinya sendiri, atau bahkan pertentangan bathinnya. Juga bukan wanita yang membunuh nuraninya sendiri sehingga tak menjadikan mereka wanita yang pantas mendapatkan penghormatan, bahkan oleh buah hatinya sendiri.
Dan sudah pasti, selain tak ada wanita-wanita macam itu yang akan mendekati lelaki bukan siapa-siapa seperti saya ini, saya pun tentu tidak akan betah berlama-lama berdekatan dengan mereka, apalagi bangga. Semoga … (cintaberdua@hotmail.com)
No comments:
Post a Comment