Berikut adalah petikan dari Suara Hidayatullah, Saya sendiri mengenang Bang Imad sebagai seorang intelektual muslim yang ide-idenya orisinal dan bahkan menghentak pendapat umum orang. Misalnya beliau pernah mengatakan bahwa, hukum rimba itu adalah hukum yang adil karena yang jadi santapan / mangsa binatang buas adalah hewan-hewan yang paling lemah sehingga terseleksi secara alami. Hukum yang dibuat manusia itulah yang seringkali tidak adil dan bahkan merusak melebihi hukum rimba. 
 
Kini Bang Imad telah kembali ke haribaan Allah SWT, Semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT dan Allah menggantikan orang-orang seperti beliau ke dunia ini agar dunia ini tidak cepat mendekati kerusakan. Amin.
M.Sirod
------
 Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim
 
 Habibie Bilang, Silakan Tembak Saya..atau..
 
 Nopember ini, ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) menggelar
  muktamarnya yang ketiga di Jakarta. Banyak yang menilai, hajatan besarnya
  kali ini tidak seberuntung ketika Soeharto dan Habibie masih berkuasa.
 
 Di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, keberadaan ICMI dianggap
  meredup, karena tokoh kontroversial itu secara terbuka membenci organisasi
  cendekiawan Muslim itu. Salah satu buktinya, ICMI `ditendang' dari kantor
  lamanya di Kebon Sirih oleh dua orang dekat Presiden, Menristek AS Hikam
  dan Menag Tolchah Hasan.
 
 Bagaimana kelanjutan kiprah organisasi tempat bermuaranya cendekiawan
  Muslim dari berbagai aliran ini? Sahid mewawancarai tokoh yang berperan
  besar di balik pendiriannya 11 tahun yang silam. Dr Muhammad `Imaduddin
  `Abdurrahim MSc, pendiri ICMI yang pernah dipenjara karena aktivitas
  dakwahnya.
 
 Di rumahnya, di kawasan Klender, Jakarta Timur, kepada wartawan Suara
  Hidayatullah, lelaki sepuh (69 tahun) yang biasa dipanggil Bang Imad ini
  menceritakan kisah-kisah di balik berdirinya ICMI yang belum banyak
  diketahui orang.
 
 Misalnya, latar belakang kebencian Gus Dur terhadap ICMI. Upaya Jenderal
  LB Moerdani menjegal ICMI. Pandangan-pandangannya terhadap Habibie. Juga
  obsesinya menaikkan Cak Nur sebagai calon Ketua ICMI dan bahkan calon
  Presiden 2004.
 
 Dibandingkan tokoh-tokoh lainnya, ustadz yang berguru pada Ismail Raji'
  al-Faruqi ini menjadi unik karena hampir tak pernah terjun ke hiruk-pikuk
  partai politik. Bahkan di masa rame-ramenya orang bikin partai sekalipun.
 
 Lucunya, selama 14 bulan ia pernah dipenjara karena dianggap membahayakan
  kekuasaan rejim Orde Baru. Alhamdulillah, di penjara ia menghasilkan buku
  Kuliah Tauhid yang terkenal itu, dan telah dicetak delapan kali.
 
 Minatnya lebih pada dakwah dan pengkaderan. Dalam hal ini, ruang dan waktu
  yang dijelajahinya merentang luas sekali. Berbagai tempat di Nusantara,
  Malaysia, Amerika, Timur Tengah pernah menjadi basisnya. Sahabatnya ada di
  mana-mana. Ia salah satu murid kesayangan Mohammad Natsir, juga guru dari
  Anwar Ibrahim.
 
 Ah, mengapa dia tiba-tiba yakin, Anwar akan dibebaskan sebelum bulan
  Ramadhan mendatang? Selamat menyimak perjalanan dan renungan-renungannya.
 
 Bagaimana Anda melihat peran dan posisi ICMI di bawah rejim saat ini?
 
 Nggak apa-apa. ICMI kan jalannya karena Allah. Yang penting ummat Islam
  mendukung.
 
 Tapi sejak dulu Abdurrahman Wahid menentang ICMI?
 
 Itu karena dia merasa tidak dilibatkan. Padahal, pertama kali saya
  membentuk ICMI di Kota Gede, Yogya (1988), sebetulnya dia mau ikut. Dia
  setuju saya tempatkan sebagai salah seorang ketua. Tapi waktu mau
  berangkat isterinya sakit. Dia minta maaf tak jadi ikut.
 
 Sayangnya waktu Habibie menentukan kepengurusannya, saya ada tugas ke
  Kuala Lumpur sehingga tak sempat beri tahu Gus Dur. Di situ mungkin dia
  marah karena tidak diikutkan. Dia mengkritik macam-macam. Sayangnya, oleh
  kawan-kawan (yang hadir di Simposium Cendekiawan Muslim) di Malang,
  kritik-kritik itu dibalas. Seharusnya memang tidak usah dilayani.
 
 Akhirnya Habibie datang padanya dan minta dia masuk. Terus Gus Dur bilang,
  Saya tidak menentang, tapi saya tidak mau masuk. Habibie tetap minta orang
  NU ada yang masuk. Akhirnya Gus Dur memberi Dr Muhammad Thohir, orang NU
  yang diangkat jadi asisten Habibie. Pak Ud (KH Yusuf Hasyim) dan KH Ali
  Yafie yang saya usulkan pun oleh Habibie dimasukkannya.
 
 Di masa Orde Baru, sejak pulang dari Amerika Serikat, Bang Imad mengaku
  sering dibuntuti intel. Rapat persiapan pembentukan ICMI di Yogya itu pun
  sempat diintai, sehingga akhirnya dibubarkan polisi saat mereka sedang
  sarapan pagi.
 
 Anda sendiri dekat dengan Gus Dur?
 
 Saya dengan dia sebetulnya tidak ada apa-apa. Dia baik saja dengan
  saya. Saya kenal dia pertama kali ketika dia masih tingkat dua di
  Al-Azhar. Saya pulang dari Amerika sehabis mengambil S-2 tahun 1966,
  mampir ke Kairo. Nah dia yang jadi guide saya, karena bahasa arabnya
  fasih. Dia tahu saya dari HMI. Sampai ICMI terbentuk pun saya masih baik.
 
 Dia memberi kritik, Dengan ICMI ini bagaimanapun Bang Imad sebetulnya
  sudah masuk ke lapangan politik walaupun tidak berpolitik.
 
 Waktu itu Anda tidak melihat sentimen lain di belakang sikap Gus Dur?
 
 Saya justru ingin merangkul semua orang sesuai dengan sumpah saya. Waktu
  NU keluar dari Masyumi tahun 1948 (saya masih remaja), saya bersumpah,
  hanya akan masuk organisasi Islam kalau ia merupakan persatuan seluruh
  unsur ummat.
 
 Mungkinkah kebencian Gus Dur terhadap ICMI karena dia dekat dengan Benny
  (Moerdani)?
 
 Barangkali begitu alasan dia. Saya tak tahu. Mungkin saja dia diancam
  Benny.
 
 Di Balik Layar
 
 Para pengamat cenderung mengatakan, ICMI merupakan alat Soeharto mendekati
  Islam. Bagaimana sebenarnya proses berdirinya?
 
 Sepulang dari Amerika saya berdiskusi dengan Aswab Mahasin tentang para
  cendikiawan Islam yang saling bermusuhan. Dia bilang, Bang Imad kan yang
  masih diterima oleh semua. Satukan mereka.
 
 Dia meyakinkan saya bahwa harus saya sendiri yang menyatukan, karena wadah
  cendikiawan Islam yang sudah pernah ada tidak bisa. Tahun 1989 Kebetulan
  saya diundang ceramah oleh Universitas Brawijaya. Pulang dari sana
  anak-anak Unibraw yang dipimpin Erik Salman almarhum datang kepada saya
  dan minta saya pindah ke Malang untuk meramaikan Masjid di sana. Supaya
  Unibraw bisa seperti Salman, kata mereka. Waktu itu saya sudah dipecat
  dari ITB.
 
 Saya bilang tidak bisa. Kemudian saya kasih saran supaya bikin simposium
  yang mengundang Habibie. Mereka setuju tapi minta saya ikut membantu.
 
 Apa pertimbangan Anda menyarankan nama Habibie?
 
 Waktu bulan puasa saya kebetulan baca wawancara dia di majalah Kiblat. Tak
  berapa lama di majalah Business Review dia jadi cover story. Di sana dia
  dipuji-puji.
 
 Bagaimana Anda bertemu Habibie?
 
 Waktu Hari Raya, saya ke rumah Pak Alamsyah (Ratuprawiranegara, mantan
  menteri agama). Saya tanya pada Pak Alamsyah, siapa orang dekat Soeharto
  yang kuat komitmennya terhadap Islam dan bisa menyatukan ummat. Waktu saya
  tanyakan tentang Emil Salim dia nggak setuju. Begitu juga waktu saya
  ajukan Azwar Anas.
 
 Ah, jangan. Orang bodoh bisa kamu bikin pintar, orang miskin bisa kamu
  bikin kaya, tapi seseorang walaupun pintar dan kaya namun pengecut tidak
  ada gunanya. Apa yang kamu kerjakan ini perjuangan. Jangan diajak berjuang
  orang pengecut, katanya.
 
 Saya tanya lagi, Jadi siapa Pak kira-kira orang dekat Soeharto yang ada
  komitmen Islamnya? Itu, tuh anak Bugis, Habibie, jawabnya. Saya kan tidak
  kenal dia, jawab saya lagi. Nanti saya kenalkan, kata Pak Alamsyah.
 
 Akhirnya anak-anak Malang itu berusaha temui Habibie, tapi nggak bisa
  tembus juga. Mereka datang lagi pada saya. Saya sampaikan ini pada Pak
  Alamsyah. Terus dia tulis memo di atas kop surat pribadi, dengan tulisan
  tangan,Tolong terima Dr `Imaduddin yang ingin ngobrol dengan saudara.
 
 Tapi Salman dan teman-temannya kesulitan juga untuk menyampaikannya ke
  Habibie karena ajudannya, Napitupulu, yang Kristen selama ini selalu
  mempersulit. Akhirnya saya sarankan supaya mereka cari tahu di mana
  Habibie shalat Jumat. Kan ajudannya tak ikut masuk. Rupanya itu
  dilaksanakan.
 
 Awal Agustus 1989 waktu Habibie keluar masjid habis Jumat, dikejar oleh
  Salman dengan membawa surat Pak Alamsyah. Langsung dipanggil ajudannya
  untuk buat janji bertemu. Tulis, hari Kamis tanggal 23 jam 12 saya terima
  ini, Dr `Imaduddin, kata Habibie.
 
 Bagaimana suasana pertemuan itu?
 
 Saya membawa Mas Dawam (Rahardjo) bersama empat anak dari Malang
  itu. Waktu kami sampai masih ada tamu di ruangannya. Kami tunggu. Lebih
  kurang pukul satu kami diterima. Tapi kami disuruh makan dulu.
 
 Waktu mereka pergi makan, saya tidak ikut karena puasa. Dia bilang, saya
  juga puasa. Nah kesempatan berduaan itulah saya `hantam' dia. Sebab,
  tadinya waktu ngobrol ramai-ramai kami tidak diberinya kesempatan. Hanya
  dia saja yang ngomong. Setelah mereka pergi makan saya masukkan ayat-ayat
  Quran, tak-tak-tak. Dia diam saja.
 
 Kalimat saya tidak putus, tak saya beri dia kesempatan ngomong. Saya pikir
  waktu itu, dia ini memang harus dibombardir terus. Saya katakan, Ummat ini
  sudah dipinggirkan. Kalau Saudara tidak membela, tidak ada yang lain yang
  bisa membela, karena Saudara punya kapasitas. Saya meminta dia memimpin
  organisasi cendikiawan yang mau dibuat dalam simposium itu.
 
 Akhirnya dia bilang, Saya mau, saya mau, memang saya bertanggung jawab
  untuk ummat ini. Tapi kami disuruhnya dulu membuat proposal untuk
  disampaikan kepada presiden, karena dia merasa sebagai pembantu presiden
  tidak bisa memegang jabatan di luar tanpa ijin presiden.
 
 Saya kan lebih tua dari dia. Dia panggil saya Bapak. Katanya, Curahkan apa
  yang Bapak sampaikan ini dalam surat, dengan usul saya sebagai ketua
  organisasi ini. Tapi saya minta dukungan sedikitnya 20 tandatangan
  cendikiawan Muslim yang S-3 termasuk Cak Nur (Nurcholish Madjid).
 
 Saya buatlah surat itu dengan beberapa kali perubahan. Baru setelah itu
  saya cari tandatangan. Ketika didatangi para mahasiswa, Cak Nur tadinya
  nggak mau tanda tangan karena rencana itu berbau politik. Dia tanya pada
  saya di telepon, siapa di belakang ini. Saya bilang, saya yang ada di
  belakang proyek ini. Akhirnya dia mau ha..ha..ha... Setelah Cak Nur,
  barulah terakhir saya tanda tangan. Alhamdulillah terkumpul 49
  tandatangan, 43 diantaranya S-3.
 
 Jadi gagasan awal berdirinya ICMI berasal dari Anda ya?
 
 Saya memang yang memberi tugas kepada anak-anak Malang itu supaya
  mengadakan simposium di Unibraw yang mengupas tentang sumbangsih
  Cendikiawan muslim dalam menghadapi tantangan abad ke-21.
 
 Waktu itu key note speaker-nya saya suruh anak-anak untuk minta Habibie
  saja. Rencana saya, sesudah dia bicara di simposium itu, pada session
  berikutnya saya akan membakar apa yang dikatakan Habibie dengan menegaskan
  pentingnya para cendekiawan Islam bersatu dan mengkampanyekan bahwa dialah
  yang tepat untuk memimpin wadah cendekiawan Muslim itu.
 
 Tapi Habibie minta pernyataan dukungan itu untuk disampaikan kepada
  Soeharto. Alhamdulillah, Soeharto juga mendukung, bahkan dia mau membiayai
  simposium itu. Dia juga bilang bersedia membuka acara itu.
 
 Rupanya Benny Moerdani ketakutan. Tanggal 6 Desember, hari Kamis tahun
  1990, jam 7 pagi acara mau dibuka dan Soeharto akan sampai pakai
  helikopter dari Surabaya ke Malang. Tapi sampai malamnya, Kapolda Jatim
  belum kasih surat jaminan keamanan Soeharto sesuai undang-undang.
 
 Rapat panitia sampai jam 12 malam belum ada keputusan. Malam itu kaki
  tangan Benny, entah kolonel siapa namanya, berusaha membujuk Habibie
  supaya acara itu digagalkan dengan alasan sektarian. Sampai jam 12 malam,
  Habibie jengkel dengan orang itu, akhirnya keluarlah Bugisnya, `'Silakan
  tembak saya di tempat, kalau tidak maka saya akan teruskan program ini.''
 
 Orang itu akhirnya mundur. Akhirnya jam dua pagi Habibie menelpon Kapolri,
  Pak (Jenderal) M Sanusi di Jakarta, minta jaminan keamanan bagi
  Soeharto. Nah Kapolri lalu menelpon Kapolda, perintahkan keamanan untuk
  Soeharto. Itulah sebabnya Benny menganggap saya The Most Dangerous
  Man. Itu dikatakannya kepada William Liddle, ahli politik Indonesia. Si
  Liddle yang bilang pada saya.
 
 Karena peran dan jasanya yang dianggap cukup besar, baik dalam dakwah
  maupun pendirian ICMI, tahun 1999 pengagum Umar bin Khatab itu pernah
  dianugerahi Bintang Mahaputra Adhipradana oleh Habibie, presiden RI ketika
  itu.
 
 Apa yang ada di benak Soeharto ketika itu sampai dia mau mendukung acara
  tersebut?
 
 Yang saya tahu Habibie itu sangat dekat dengan Soeharto. Kalau dia datang,
  itu bicaranya tidak satu jam, tapi bisa tiga jam, karena dia sudah
  dianggapnya anak oleh Soeharto.
 
 Ketika ICMI sedang jaya, Anda pernah berhubungan dengan Soeharto?
 
 Tidak. Tapi kata Habibie, Soeharto yang minta saya mewakili ICMI menjadi
  ketua di IIFTIHAR (International Islamic Federation for Technology and
  Human Resource Developent).
 
 ICMI dulu tidak bisa menghindar dari permainan politik yang dilakukan
  orang-orang di dalamnya. Bisa Anda jelaskan?
 
 Waktu itu, Habibie selain pemerintah juga kan pembina Golkar. Jadi
  kecintaannya kepada Islam membuatnya ingin memajukan pemimpin dari
  kalangan Islam di tubuh Golkar.
 
 Dia beralasan, kalau 90 persen Islam, maka 90 persen juga yang memegang
  jabatan. Ketika Frans Seda tidak setuju, dia bilang, Katanya
  demokrasi. Sumarlin juga pernah marah sama dia karena begitu. Pernah dia
  mengirim orang IPTN untuk beasiswa ke Al-Azhar. Alasan dia, IPTN kan
  banyak buruhnya muslim, mereka butuh pembimbing agama Indonesia. Ini bukan
  uang pemerintah, tapi uang saya pribadi, dia bilang begitu.
 
 Pencalonan Cak Nur
 
 Sejak Habibie jatuh, ICMI terkena dampaknya, perannya pun makin surut. Apa
  rencana Anda ke depan?
 
 Saya mengharapkan, kalau berhasil, kongres ICMI tanggal 9-12 November
  nanti, saya akan mulai kampanye supaya Cak Nur terpilih jadi ketua ICMI
  yang baru. Tak bisa disangkal, di Indonesia ini dia yang paling
  alim. Kalau dia yang jadi, dia suruh saya apa saja, nggak usah kasih saya
  jabatan, kerja saja, saya mau, dalam rangka mencetak kader-kader baru yang
  akan kita lempar di pasar politik. Terserah mereka mau ikut di partai
  mana.
 
 Apakah dia bersedia?
 
 Saya berkesempatan ngomong sama dia Mei kemarin. Kami ditakdirkan Tuhan
  dua hari dua malam bersama-sama di Taipei dalam satu undangan yang
  sama. Karena hotelnya sama kami ke mana-mana selalu bersama.
 
 Sepanjang itulah saya jejalkan dia, You harus siap. Dia menolak karena
  katanya akan ada orang yang tidak suka. Saya bilang, orang yang nggak suka
  itu urusan saya, yang penting kan kita mencari ridha Allah. Apa you tega,
  nanti ummat ini jadi hancur. Tidak ada pemimpin seperti you. Yang pandai
  banyak, tapi yang ikhlas itu you contohnya.
 
 Akhirnya karena saya keluarkan ayat-ayat dan hadits nggak berkutik
  dia. You jadi ketua ICMI. Konsentrasi mencetak kader selama empat tahun
  ini. Tahun 2004 angkat saya jadi manajer kampanye. Saya akan kampanye
  supaya you jadi presiden. (Bang Imad tersenyum)
 
 Katanya, Ah Bang Imad ini, ada-ada saja.
 
 Sudah, jangan bantah, ini demi rakyat, saya bisa baca hati rakyat, Saya
  bilang begitu dia diam saja.
 
 Tapi kan sudah ada pernyataan dari sejumlah pengurus ICMI, bahwa Habibie
  masih pantas memimpin?
 
 Iya, tapi dianya nggak mau. Pulang ke sini saja masih belum mau. Dia masih
  di Jerman. Dia itu orang cerdas dan ikhlas. Jarang ada kecerdasan otak dan
  keikhlasan hati bisa bertemu di satu pribadi.
 
 Waktu pemilihan Wakil Presiden tahun 1997, yang meyakinkan supaya dia mau
  dicalonkan Soeharto itu kebetulan saya. Sejak tahun 1996 saya sudah mulai
  meyakinkan dia. Lebih khusus lagi ketika sama-sama dari Jeddah, sepuluh
  jam dia berdiskusi sama saya.
 
 Wajib hukumnya, berdosa kalau you tolak, rakyat sudah menghendaki, kata
  saya.
 
 Saya sudah sangat dekat dengan dia waktu itu.
 
 Kemudian waktu saya dibawanya ke Brunei, pulang pergi lima jam saya charge
  lagi dia. Terus dia bilang, Bagaimana kata Tuhan lah nanti. Saya bilang
  lagi, Kalau rakyat menghendaki, Tuhan menghendaki.
 
 Dipenjara
 
 Bagaimana awalnya hingga Anda bisa masuk penjara?
 
 Saya melakukan aksi pengkaderan dengan menggelar training-training dakwah
  di Salman. Saya pulang dari Malaysia kan akhir 1973. Awal 74-nya saya
  mulai mengadakan LMD (Latihan Mujahid Dakwah). Semua fasilitas Salman saya
  manfaatkan betul-betul. Hampir tiap bulan selalu ada training.
 
 Bang Imad pernah dipinjam dari ITB oleh pemerintah Malaysia pada 1971-1973
  untuk membangun pendidikan tinggi di sana, karena ketika itu Perguruan
  Tinggi di Malaysia hanya setingkat D3. Kerja sama itu terjadi secara
  kebetulan, yakni ketika Dirjen Perguruan Tinggi Malaysia ketika itu, Datuk
  Hamzah terkesan dengan khutbah Jumat yang disampaikan Bang Imad di Salman.
 
 Padahal tidak ada gerakan politiknya, tapi mengapa Anda dianggap berbahaya
  hingga akhirnya ditangkap dan dipenjara?
 
 Ini kan karena Soedomo dan Benny yang tidak suka Islam.
 
 Sepulangnya dari Amerika tahun 1966, Bang Imad diangkat jadi Ketua Lembaga
  Dakwah Mahasiswa Islam di PB HMI. Di situlah ia menjadi sangat dekat
  dengan Ketuanya Nurcholish Madjid, dan banyak berkeliling Indonesia untuk
  memberi training dakwah.
 
 Setelah selesai dari HMI tahun 1969, ia diangkat menjadi imam di masjid
  Salman ITB. Waktu itu Salman sudah mulai berbentuk. Sejak itulah Bang Imad
  mempergunakan masjid itu sebagai basis pengkaderan. Cuma bedanya, kalau di
  HMI namanya LKD, Latihan Kader Dakwah, di Salman namanya LMD, Latihan
  Mujahid Dakwah.
 
 Oleh rejim militer waktu itu, rupanya kegiatan Bang `Imad dianggap
  mengancam kekuasaan. Maka ia dipenjara tanpa proses pengadilan dari Mei
  1978 sampai Juli 1979 di LP Nirbaya. Ia pun sampai harus dipecat dari
  ITB. Penahanannya jadi berita sampul di majalah IMPACT International
  terbitan London, waktu itu.
 
 Baik pemenjaraan maupun pemecatannya tak pernah punya alasan yang jelas
  hingga hari ini. Jaksa pun menurut Bang Imad sampai bingung membuat
  dakwaan. Tapi menurutnya bisa jadi karena ceramah-ceramahnya yang sangat
  keras terhadap Soeharto serta yang membangkitkan semangat anti-dominasi
  ekonomi Cina dan Kristenisasi. Saya memang sempat menyebut Soeharto
  Fir'aun, katanya. Yang unik, julukan itu disematkan kepada Soeharto karena
  ia berhasil menyusup ke makam yang disiapkan Soeharto untuk diri dan
  keluarganya di Imogiri. Areal pemakaman berharga ratusan juta itu, dengan
  tiang berlapis emas, difoto oleh Bang Imad, dan tersebar di majalah
  ITB. Yang bikin makam sebelum mati kan Fir'aun, tuturnya. Ia akhirnya
  dibebaskan, setelah rektor ITB waktu itu Prof Doddy Tisna Amidjaja memberi
  jaminan.
 
 Bagaimana reaksi sesama aktivis dan tokoh-tokoh Islam waktu itu?
 
 Nggak ada itu. Semua pada ketakutan. Hanya Pak Natsir yang mengirim surat
  ke luar negeri sehingga banyak dukungan bagi saya dari luar, Saudi,
  Hongkong, Inggris, Amerika, Australia. Media-media muslim di sana ikut
  merespon penangkapan saya.
 
 Bagaimana perasaan Anda saat dipenjara?
 
 Mulanya saya sempat kesal juga, tapi namanya juga perjuangan.
 
 Apa saja kegiatan Anda selama di penjara?
 
 Saya menulis buku Kuliah Tauhid. Saya banyak menghafal ayat-ayat
  Quran. Setiap hari saya baca Quran satu juz berikut tafsirnya. Saya juga
  bergaul dengan napol seperti Subandrio. Dia malah belajar Islam dengan
  saya selama setahun.
 
 Kegiatan pengkaderan menjadi concern Bang Imad sejak dulu, karena ia yakin
  hal itu lebih besar pengaruhnya ketimbang aksi jangka pendek. Keyakinan
  itu, akunya, diperoleh dari nasihat mantan Wapres RI pertama, Mohammad
  Hatta yang pernah memanggilnya bersama sejumlah pemuda Islam.
 
 Saya fanatik pada pesan almarhum Pak Hatta, bahwa perjuangan yang
  seharusnya adalah dengan pendidikan. Pesan itu disampaikan langsung ketika
  saya baru lulus ITB, kata anggota Pengurus Pusat Dewan Dakwah Islamiyah
  Indonesia (DDII) ini. Sekeluar dari penjara tidak ada universitas negeri
  yang berani mengundang Bang Imad. Unibraw-lah yang pertama kali
  mengundang. UI pun pernah mengundang tiba-tiba dibatalkan oleh almarhum
  Prof Daud Ali. Ceramah di Unibraw itulah yang kemudian menjadi titik awal
  perjuangan berikutnya dengan mendirikan ICMI.
 
 Dinasihati Bung Hatta
 
 Bagaimana isi pesan Bung Hatta itu?
 
 Beliau bilang, `'Jangan dibayangkan kita ini seperti Amerika dan Eropa
  Barat. Mereka itu kan sudah ratusan tahun merdeka. Kita kan baru tujuh
  belas tahun. Rakyat kita masih banyak yang buta huruf, terutama orang
  Islamnya, karena dibikin bodoh oleh Belanda. Rakyat ini belum tahu apa
  kewajiban dan haknya.
 
 Kata Bung Hatta, selama rakyat belum tahu hak dan kewajibannya kita tidak
  bisa berdemokrasi. Oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah
  bagaimana mendidiknya supaya mengerti hak dan tanggung jawabnya.
 
 Saya dengar kalian mau bikin masjid di ITB. Saya gembira, itulah yang saya
  mau, karena kita membutuhkan pemimpin yang jujur, bertaqwa dan ikhlas.''
  Pesan Bung Hatta itu saya pegang betul.
 
 Bagaimana Anda bisa bertemu Pak Hatta?
 
 Dia yang minta. Tahun 1962, ketika saya baru jadi dosen, suatu hari saya
  ditelepon oleh Pak Kasoem, pemilik pabrik kaca mata yang sekarang
  diteruskan anaknya, Lily Kasoem. Saya diminta mengumpulkan sejumlah pemuda
  Islam. Katanya, Pak Hatta, yang waktu itu baru berhenti dari jabatannya
  Wakil Presiden, mau ketemu.
 
 Datanglah kami waktu itu bertujuh, termasuk Hussein Umar dari PII,
  dijemput pakai minibis ke Ujung Berung, tempat peristirahatan Pak
  Hatta. Saya duduk berdekatan dengan beliau. Tiba-tiba Pak Kasoem menunjuk
  saya jadi juru bicara. Langsung saya diberi kesempatan pertama bicara.
 
 Orang Medan kan nggak kenal basa-basi. Saya ngomong langsung, `'Kami
  pemuda Islam sangat kecewa kepada Bapak.'' `'Kenapa,'' kata Pak
  Hatta. `'Kami anggap Bapak tidak bertanggung jawab karena Bapak
  meninggalkan kursi wapres. Padahal semua tahu, kalau Soekarno itu tidak
  mau mendengar siapapun kecuali Bapak. Sekarang setelah Bapak tinggalkan,
  Soekarno merajalela. Negara jadi begini, begitu kata saya.
 
 Saya pikir dia marah, nggak tahunya dia malah senyum-senyum. `'Saya bangga
  kalian ngerti juga politik, tandanya kalian peduli dengan nasib bangsa,''
  katanya. Baru setelah itu beliau menyampaikan pesan tadi.
 
 Apa jawaban Bung Hatta pada kekecewaan itu?
 
 Kata Bung Hatta, `'Nggak bisa cocok saya dengan Soekarno. Biar saya beri
  dia kesempatan, mau diapakan negara ini.'' Kemudian saya bantah
  lagi,''Tapi kan sekarang Soekarno jadi diktator.''
 
 Dia bilang lagi, `'Itu karena rakyatnya masih bodoh. Dia akan berubah
  kalau rakyat bisa kalian didik. Jadi tugas kalian sekarang adalah
  bagaimana mendidik rakyat. Satukan ummat ini dengan kecerdasan yang
  memadai. Jadi jangan ke politik dulu sekarang ini, tapi melatih dan
  mendidik dulu.'' Ucapan Pak Hatta ini merasuk ke dalam otak dan hati
  saya. Itu yang saya pegang.
 
 Puluhan tahun Bang Imad melakukan kaderisasi formal dan informal di
  kalangan pemuda, khususnya di Masjid Salman ITB. Kaderisasi itu banyak
  diminati para mahasiswa hingga mempengaruhi perkembangan dakwah di
  berbagai kampus lainnya di Indonesia saat itu. Sebabnya adalah, visi
  dakwah Bang Imad banyak difokuskan pada pembentukan Tauhid sehingga banyak
  melahirkan kader-kader militan.
 
 Kuliah Tauhid
 
 Visi pengkaderan yang Anda lakukan sangat kental fokusnya pada tauhid. Apa
  latar belakangnya?
 
 Rasulullah 23 tahun berdakwah, 13 tahunnya konsentrasi pada tauhid. Ini
  pegangan saya. Makanya saya yakin, orang yang belum beres tauhidnya masuk
  ke politik, dia akan goyang.
 
 Selain itu ayah kan tamatan Al-Azhar. Sejak saya kecil, dia selalu
  menekankan masalah tauhid kepada saya. Sementara, kalau soal fiqih akan
  dijelaskan kalau ditanya saja. Menurut dia, tauhid itu yang bisa membentuk
  pribadi. Saya pun yakin dengan doktrin ini.
 
 Karena visi dakwah tersebut, oleh Mahathir Bang Imad pernah dikontrak
  sejak 1987-1994 untuk membangun etos kerja para pejabat Malaysia dengan
  memberikan pembekalan tauhid. Dalam pandangannya, bagaimana seseorang
  bertauhid bisa dilihat dari urusan terbesar, seperti mengatur negara,
  sampai yang kecil-kecil seperti soal rokok.
 
 Anda mengharamkan rokok. Kenapa?
 
 Coba, ilah itu apa artinya? Ada berapa kali perkataan ilah dalam
  al-Quran? Saya sudah hitung, semuanya ada 147 kali, baik yang mufrad
  maupun yang jamak. Dan artinya macam-macam, dari yang kongkrit sampai yang
  abstrak.
 
 Contoh yang abstrak adalah orang yang meng-ilah-kan hawa
  nafsunya. Afaraayta manittakhadza ilaahahu hawaahu. Hawa terhadap rokok
  juga bisa jadi ilah. Sesuatu yang mengikat kita itulah ilah. Orang yang
  mengerti Laa ilaaha illallah tidak akan mau dipengaruhi dan diikat oleh
  siapapun dan apapun, termasuk oleh rokok.
 
 Meski anti rokok, interaksi Bang Imad dengan kawan-kawannya yang perokok
  tetap baik. Mereka sangat menghargai prinsip Bang Imad itu. Sebagai contoh
  adalah AM Saefuddin, sahabat dekatnya di Dewan Dakwah. Kabarnya, bekas
  menteri yang perokok berat itu segan merokok di depan Bang Imad.
 
 Selain soal rokok, pemahaman tentang Tauhid membuat Anda menjadi kritis
  terhadap penguasa ya?
 
 Dulu Soeharto kan memper-ilah dirinya, sama seperti Fir'aun. Itu sudah
  syirik.
 
 Kabarnya sesudah di penjara Anda mengaku belajar dan mulai mengubah
  pendekatan terhadap Soeharto?
 
 Saya menyadari akhirnya, bahwa yang melawan Namruj kan Ibrahim. Ibrahim
  itu anak siapa? Dia anak Azar, tangan kanannya Namruj. Jadi orang Istana
  juga yang menjatuhkannya. Begitu juga dengan Fir'aun yang dijatuhkan
  Musa. Musa kan sejak bayi dibesarkan di Istana Fir'aun. Orang dalam
  juga. Kemudian saya mencoba mencari figur di rejim Orba yang bisa membawa
  perubahan. Muncullah Habibie melalui ICMI yang saya dirikan bersama
  teman-teman itu.
 
 Tak Berpolitik
 
 Selama ini Anda paling konsisten untuk tidak bergabung di partai
  politik. Mengapa?
 
 Saya menganggap politik praktis itu tidak mungkin dijalankan oleh orang
  yang tauhidnya belum beres, karena yang akan mereka cari kan kedudukan,
  bukan kebenaran.
 
 Dulu waktu Masyumi pecah, NU keluar tahun 48, waktu itu saya mau naik
  kelas III (SMU), saya bersumpah, Demi Allah saya tidak akan bergabung
  dengan satu partai pun, sebelum partai Islam bersatu. Saya hanya memegang
  ini saja. Padahal Masyumi adalah satu-satunya partai Islam waktu itu.
 
 Dalam berorganisasi pun saya sempat kecewa. Ketika SMP dan SMA kan saya di
  PII. Di ITB saya di HMI. Waktu itu saya gembira sekali karena organisasi
  mahasiswa Islam cuma satu. Sampai ketika tahun 60-an, saya lupa persisnya,
  Mahbub Junaedi dari NU, keluar dari HMI dan mendirikan PMII (Pergerakan
  Mahasiswa Islam Indonesia).
 
 Padahal waktu itu dia wakil ketua di PB HMI. Saya kecewa sekali, tapi
  bagaimana lagi. Nah saya baru berorganisasi lagi di ICMI. Di ICMI saya
  berbahagia, karena ada semua, tokoh NU masuk, Muhammadiyah dan lain-lain.
 
 Bang Imad juga pernah masuk Hizbullah, laskar rakyat bentukan
  Masyumi. Karenanya ia pernah dilatih jadi tentara sampai mendapat pangkat
  sersan satu. Ia sempat juga bergerilya melawan Belanda, Tapi yang berhasil
  ketika mencuri senjata Jepang, kata pria berkaca mata ini.
 
 Menjelang Pemilu 1992, Pak Natsir, pernah berfatwa untuk mendukung
  PPP. Mengapa Anda tidak menganggap itu sebagai instruksi?
 
 Waktu itu PPP tidak jelas, karena masih mengekor kepada
  Soeharto. Sementara saya orangnya tidak bisa begitu. Itu watak dan
  keyakinan saya, terserah orang suka atau tidak.
 
 Saya berpegang pada hadist Nabi, `'Kami tidak akan memberikan jabatan
  kepada orang yang menginginkan jabatan itu.'' Ada juga hadits Qudsi yang
  mengatakan, `'Kalau engkau menerima jabatan karena dipaksa maka Aku akan
  mendampingi engkau. Tapi kalau engkau menerima jabatan karena engkau
  menginginkannya, maka aku akan biarkan engkau sendirian dengan jabatan
  itu.''
 
 Jadi saya takut sekali. Kalau dipaksakan, oke saya terima. Kalau misalnya
  Pemilu nanti rakyat memilih saya langsung jadi presiden, mengapa
  tidak. Tapi seperti saya bilang tadi sekarang ini saya sedang giat
  mempromosikan Cak Nur jadi presiden, walaupun tidak lewat lapangan
  politik.
 
 Mengapa Cak Nur?
 
 Dia orang ikhlas dan pengetahuannya dalam. Saya tidak melihat orang yang
  lebih baik dari dia.
 
 Usia Anda sekarang 69. Tahun 2004 nanti apakah Anda masih sanggup menjadi
  manajer kampanye Cak Nur?
 
 Kalau sehat, Insya Allah. Kalau untuk dia saya akan mendukung terus.
 
 Bang Imad pernah mengalami sakit parah sejak Juli 1997 sampai Oktober
  1998. Saat itu jantungnya harus dioperasi. Karenanya, Saya hanya bisa
  menyaksikan kejatuhan Soeharto melalui TV saja.
 
 Soeharto dan Anwar Ibrahim
 
 Tentang pengadilan Soeharto, sebagai orang yang pernah dianggap musuhnya,
  bagaimana sikap Anda?
 
 Anaknya saja yang dibicarakan. Kasih hukuman yang berat. Yang penting
  sebetulnya kembalikan uang milik rakyat itu. Kan tidak sedikit itu, 30
  miliar dolar (menurut majalah Forbes 45 miliar dolar). Kembali separohnya
  saja sudah untung betul. Anggaran belanja kita kan tidak sampai
  segitu. Kalau dia mau mengembalikan itu, sudahlah maafkan saja.
 
 Tapi, maaf juga kan harus lewat proses pengadilan?
 
 Diadili juga tidak bisa. Mau apa lagi. Dokter bilang dia sudah permanen
  sakit.
 
 Ngomong-ngomong, sebagai orang yang dekat dengan Anwar, bagaimana kondisi
  terakhirnya?
 
 Berbagai cara sudah kita lakukan supaya dia bebas. Ada yang mengajak cara
  spiritual dengan doa bersama juga saya tempuh. Karena ada hadits
  Rasulullah Saw, kalau 40 orang berdoa dengan permintaan yang sama, insya
  Allah diijabah.
 
 Ada seorang kiai yang mengerahkan 40 santrinya untuk berdoa bagi kebebasan
  Anwar. Tiga hari yang lalu saya ditelpon, insya Allah sebelum puasa bebas
  dia. Itu kekuatan doa.
 
 Semangat Jihad
 
 Latar belakang Anda adalah ilmu elektronika. Dari mana Anda belajar agama?
 
 Sejak kecil setiap habis subuh ayah mengajarkan Quran dan tafsirnya. Dari
  surat al-Fatihah sampai tiga puluh juz. Itu sedemikian kuat tertanam,
  tidak lupa sampai sekarang, Alhamdulillah. Itulah bekal saya berdakwah dan
  berjihad.
 
 H Abdul Rahim Abdullah, ayah kandung Bang Imad adalah seorang ulama
  tamatan Al-Azhar yang pernah diangkat dan diasuh oleh mufti kesultanan
  Langkat. Ibunya, Syaifatul Akmal, adalah cucu Sekretaris Sultan Langkat
  yang pernah menjadi murid ayahnya sebelum dikawini. Darah keulamaan itulah
  yang menurun kepada Bang Imad, anak kelima dari sembilan bersaudara.
 
 Apa yang membuat Anda sangat bersemangat dalam dakwah dan jihad?
 
 Dulu kisah perang Uhud sering diceritakan ayah saya. Dalam perang itu ada
  remaja yang turut berjihad di usia belia dan berhasil meraih syahid. Bagi
  saya cerita itu sangat mendalam pengaruhnya. Jadi saya ingin seperti itu
  waktu itu. Apalagi kondisi waktu saya kecil, memang memungkinkan saya
  punya semangat itu.
 
 Sesudah Proklamasi, Belanda merebut kampung kami di Tanjungpura. Ayah saya
  sebagai ketua Masyumi jadi incaran Belanda. Sehingga kami semua lari masuk
  hutan, dekat pinggir laut. Selama seminggu kami bersembunyi hanya makan
  nangka muda, daun pakis dan buah nipah. Mana sedang bulan puasa. Sejak itu
  semangat juang saya terbentuk.
 
 Sampai-sampai karena ingin ikut berjuang, di Hizbullah saya berbohong
  tentang umur saya ketika mendaftar. Waktu ditanya saya bilang, `'tujuh
  belas''. Padahal umur saya baru lima belas. Saya pikir, kan ketua
  Masyuminya ayah saya. Akhirnya saya diterima.
 
 Tapi ketika dia tahu saya masuk Hizbullah dengan berbohong, dia tidak
  marah. Justru dia malah tersenyum dan membiarkan saya ikut. Padahal dia
  orangnya keras sekali. Itu pertama kali seumur hidup, saya berbohong tapi
  tidak dimarahi.
 
 Selain ayah, siapa guru yang waktu itu berpengaruh juga?
 
 Ada yang berkesan saat itu. Sepulang gerilya saya ditanya oleh guru
  saya. Abdullah namanya. `'Mau apa kamu ikut perang''. `'Mau merdeka,''
  kata saya. `'Kalau sudah merdeka nanti, yang begini tidak perlu lagi. Yang
  diperlukan nanti adalah insinyur yang bisa membangun negara,'' katanya.
 
 Sejak itu saya balik lagi untuk sekolah. Guru yang mengajar tinggal dua
  orang, salah satunya Pak Abdullah tadi. Yang lain keterusan jadi
  tentara. Makanya saya sempat diminta mengajar kelas di bawah saya. Itu
  pengalaman pertama saya mengajar.
 
 Sejak kecil bakat kecerdasan Bang Imad memang sangat menonjol, terutama di
  bidang eksakta. Ketika pertama kali datang ke Jakarta, setelah lulus dari
  SMA Negeri Langkat, tahun 1953, ia langsung diberi beasiswa oleh
  Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan untuk belajar di ITB
  karena angka di rapornya rata-rata delapan dan sembilan. Pria yang lahir
  21 April 1931 itu lulus ITB tahun 1961 dan pada Januari tahun berikutnya
  oleh profesornya, Tubagus Sulaiman ia langsung diminta mengajar di
  ITB. Padahal ia baru diwisuda bulan April.
 
 Yang unik, di almamaternya itu, ia justru diminta mengajar kuliah agama
  Islam bukan Teknik Elektro, jurusan yang diambilnya ketika kuliah. Itu
  karena latar belakangnya yang HMI dianggap layak. Apalagi mata kuliah
  (MK) yang dipelopori oleh dekannya itu ditetapkan menjadi MK wajib seluruh
  perguruan tinggi di Indonesia oleh Menteri PPK waktu itu, Prof. Thayib
  Hadiwidjaja. Karena keenceran otaknya juga, takdir Allah di tahun 1963,
  Bang Imad mendapat beasiswa dari pemerintah untuk meneruskan belajar di
  bidang Elektro Arus Kuat di IOWA State University.
 
 Begitu pula sekeluar dari penjara, tahun 1980, mendapat beasiswa dari
  pemerintah Arab Saudi untuk mengambil gelar doktor di universitas yang
  sama. Sayangnya, ketika selesai S-3, tahun 1984 ia dilarang pulang oleh
  Pak Natsir karena meledaknya Peristiwa Priok.
 
 Keluarga
 
 Anda menikah lagi diusia senja. Apa motivasinya?
 
 Sebetulnya, ceritanya tidak sengaja. Dimulai ketika saya sedang membantu
  seorang anak gadis yang baru lulus SMA dan ingin mencari beasiswa ke
  Malaysia.
 
 Waktu itu dia sempat mengadukan keadaannya setelah ditinggal ayahnya
  sambil menangis. Saya pun terharu, karena teringat mendiang ayah dan ibu
  saya yang yatim ketika kecil.
 
 Apalagi saya berpikir, kalau saya mengurus orang yang bukan muhrim saya,
  apa kata orang nanti. Jadi untuk menjaga fitnah saya memutuskan untuk
  menikahi ibunya. Jadi ini tidak semata-mata pertimbangan biologis. Usia
  saya waktu itu kan sudah 65 tahun.
 
 Bang Imad juga tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan itu. Karena
  itu, sebelumnya ia minta pertimbangan dari sahabatnya, Prof Ali Yafie dan
  Dr Sugiat.
 
 Baru kemudian keputusan itu direalisasikan pada 4 Agustus 1996, ia
  menikahi Leila Cutsiah, janda beranak empat yang kini sudah memberinya
  seorang putra, Muhammad Umar Imaduddin (3,5).
 
 Saya ingin dia jadi Umar abad 21, tandas ayah yang lebih tampak seperti
  kakek dari anak kesayangannya itu. Umar, yang ketika ditemui Sahid tampak
  lincah dan cerdas itu, bagi Bang Imad memang melengkapi kebahagiaan
  bersama tiga anaknya yang didapat dari istri pertama, Siti Amanah.
 
 Dari istri yang dinikahinya tahun 1967 itu ia dikaruniai Nur Halisah MBA,
  Ir. Sakinah, dan Rahimah MA yang tinggal di Cijantung. Di hari tuanya
  kini, Bang Imad selain aktif di DDII, ia juga masih memimpin Yaasin
  (Yayasan Pembina Sari Insan), sebuah lembaga pengembangan dan manajemen
  sumberdaya manusia di Jakarta.
 
 Mudah-mudahan di hari tuanya yang lebih senggang, Bang `Imad sempat
  merenungi kekurangan-kekurangannya di masa lalu, dan menghasilkan kader
  dakwah lebih banyak lagi. Amien.
 
 [Deka Kurniawan, wpr]
No comments:
Post a Comment