Dari sebuah milis, cukup menjawab keraguan dan was-was saya selama
ini. Ada juga sumber lain dilihat dari ilmu salaf.
---
Pertanyaan
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Mohon pencerahan dari ustadz tentang ramainya SMS tentang kecocokan
antara jam terjadinya gempa dengan nomor ayat Quran yang kelihatan ada
keterkaitannya. Pertanyaannya : apakah hal ini bisa diterima atau hanya
kebetulan saja. Dan bolehkah kita mempercayai hal-hal seperti ini?
Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Kita harus mendoakan para korban dan keluarganya agar tabah menjalani
cobaan dari Allah. Kita juga harus mengambil banyak pelajaran dari
musibah gempa di Padang dan Sumatera umumnya. Pasti ada banyak hikmah di
balik peristiwa itu. Kita yakin bahwa tiap kejadian pasti tidak lepas
dari qadha' dan qadar dari Allah SWT.
Tapi mengait-ngaitkan jam kejadian gempa dengan nomor dan ayat Quran,
rasanya aneh. Saya memang berkali-kali menerima pertanyaan serupa, baik
lewat SMS, email, atau pun pertanyaan langsung.
Jawaban singkatnya hal itu tidak benar dan tidak ada hubungannya. Hanya
orang yang kurang wawasan dan pengetahuan dengan ilmu-ilmu Al-Quran yang
mudah terjebak dengan otak-atik angka ayat dan surat di Quran.
Mengapa saya katakan demikian?
Sederhana saja, karena ternyata penomoran surat dan ayat di Al-Quran
bukan ditetapkan langsung dari langit, alias bukan atas ketetapan dari
Allah. Penomoran itu dilakukan oleh manusia, tentu para ulama Quran.
Tetapi yang jelas kalau penomoran itu dilakukan manusia, maka
nomor-nomor kode surat dan ayat itu buan termasuk wahyu dari Allah.
Sebagaimana perbedaan penulisan teks Al-Quran di sekian banyak mushaf
yang pasti berbeda jumlah halamannya. Jadi bukan firman Allah.
Lafadz Al-Quran itu memang dari Allah, tetapi penomoran surat dan ayat
hanya buatan manusia, meski tetap berdasarkan petunjuk dari Rasulullah
SAW. Tetapi penomoran itu tidak baku, sangat mungkin berbeda dan
bervariasi.
Jadi sangat tidak relevan kalau dikaitkan dengan jam kejadian Gempa di
Padang yang katanya terjadi jam 17.16. Kebetulan saja kalau kita buka
Al-Quran pada surat yang ke-17 ayat ke-16, kita akan dapati
terjemahannya sbb):
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya
mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,
maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami),
kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya."
Oleh mereka yang kurang paham, ayat yang bercerita tentang penghancuran
suatu negeri ini ternyata dikait-kaitkan dengan gempa di Padang. Hanya
lantaran nomor ayat dan suratnya cocok dengan jam kejadiannya, yaitu jam
17:16. Hmm, kok lucu ya? Kok bisa-bisanya nomor ayat dikait-kaitkan
dengan jam kejadian gempa?
Kemudian, terjadi ladi gempa susulan di tempat yang sama. Konon katanya
terjadi pada jam 17.58. Kalau kita buka surat ke-17, Al Israa' ayat
58, kita akan menemukan terjemahanannya sbb :
"Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami
membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan
azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab
(Lauh Mahfuz)."
Wah, kok kayak kebetulan ya, kok ngepas sekali ayat itu dengan jam
kejadian gempa susulan? Kira-kira begitu kita diajak berpikir. Apalagi
masih ditambah dengan info yang berikutnya :
Yang tambah bikin penasaran, esoknya terjadi gempa lain, kali ini di di
Jambi. Konon kejadiannya pada pukul 8.52. Surat ke-8 itu adalah Surat Al
Anfaa. Kalau kita buka ayat nomor 52, terjemahannya sbb :
"(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan
pengikut-pengikutnya serta orang-orang sebelumnya. Mereka mengingkari
ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan disebabkan
dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Amat Keras
siksaan-Nya."
Tidak Nyambung
Jawaban saya tetap bahwa intinya hal itu tidak benar. Malahan sangat
tidak benar Kenapa? Ada banyak ketidak-sesuaian dan ketidak-sambungan
logika meski terasa sangat dipaksakan.
Bukti sederhana ketida-nyambungnya adalah ketika kita bandingakn dengan
sejarah gempa lain di negeri kita. Ambillah contoh gempa di Yogya 27 Mei
2006 yang terjadi jam 05.55 pagi. Coba buka ayat Quran surat ke-5
(Al-Maidah) ayat 55, apa isinya?
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah).
Tidak nyambung kan? Tidak ada kaitannya dengan gempa-gempaan atau
musibah atau hal-hal sejenis. Alih-alih bicara gempa, ayat di atas malah
bicara tentang sistem kepemimpinan. Mana gempanya?
Kita buktikan lagi dengan Gempa dan Tsunami di Aceh yang terjadi pada 26
Desember 2004. Dalam catatan kejadiannya tepat pada pukul 7:58. Coba
buka surat ketujuh yaitu Al-A'raf ayat 58, apa isinya?
Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin
Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh
merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi
orang-orang yang bersyukur.
Sekali lagi, mana gempanya? Mana mushibahnya? Mana adzabnya? Nggak ada
tuh. Ayat ini sama sekali tidak menyebut-nyebut gempa atau mushibah.
Jadi memang tidak ada kaitannya.
Ada begitu banyak ketidak-sesuaian, ketidak-sambungan, dan juga
pemaksaan atas sebuah logika yang tidak nyambung. Apalagi kalau kita mau
telaah lebih dalam lagi, maka akan semakin tidak nyambung.
Coba kita lihat fakta-fakta berikut ini :
Pertama : Al-Quran Tidak Mengenal Penghitungan Jam
Sistem penghitungan waktu yang dikenal Al-Quran hanya penghitungan hari,
bulan dan tahun. Misalnya :
* Al-Quran menyebut hari Jumat (QS. Al-Jumuah : 9), hari Sabtu (QS.
Al-Baqarah : 65)
* Al-Quran menyebut nama bulan Ramadhan (QS. Al-Baqarah : 185).
* Quran juga menyebut lama waktu dengan hitungan bulan, seperti pada
penangguhan orang yang meng-ila' istrinya, yaitu selama 4 bulan,
sebagaimana disebutkan dalam Al-Baqarah : 226.
* Juga masa 'iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, yaitu selama
4 bulan 10 hari, sebgaimana disebutkan dalam Al-Baqarah : 234).
Sedangkan yang sudah menopuse masanya adalah 3 bulan, seperti disebutkan
dalam At-Thalaq ayat 4.
* Demikian hukuman diyat salah satunya berpuasa 2 bulan
berturut-turut sebagaimana disebutkan dalam Al-Nisa' ayat 92.
* Menyusui dan menyapih bayi selama 30 bulan, sebagaimana disebutkan
dalam surat Al-Ahqaf ayat 15.
* Malam Qadar itu lebih baik dari 1.000 bulan (Qs. Al-Qadr : 3)
* Al-Quran bercerita tentang orang yang ingin diberi umur 1.000 tahun
(QS. Al-Baqarah : 96)
* Masa penyusuan anak idealnya 2 tahun (QS. Al-Baqarah : 233)
* Orang yang hampir meninggal berwasiat untuk memberi nafkah kepada
istri untuk 1 tahun lamanya (QS. Al-Baqarah : 240)
* Allah mematikan orang selama 100 tahun kemudian menghidupkannya
(QS. Al-Baqarah : 259)
* Allah menyesatkan orang yahudi sehingga berputar-putar kebingungan
di muka bumi selama 40 tahun (QS. Al-Maidah : 26)
* Nabi Yusuf menyarankan untuk bertanam selama 7 tahun karena akan
datang masa paceklik selama 7 tahun (QS. Yusuf : 47-48)
* Ashhabbul Kahfi ditidurkan selama 300 tahun plus 9 tahun (QS.
AL-Kahfi : 25)
* Usia Nabi Muh alaihissalam adalah 1.000 tahun kurang 50 tahun (QS.
Al-Ankabut : 14)
* Sehari di sisi Allah seperti 1.000 tahun dalam perhitungan kita
(QS. As-Sajdah : 5)
* Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Tuhan dalam sehari yang
kadarnya 50.000 tahun. (QS. Al-Ma'arij :4)
Tapi tidak pernah sekali pun Al-Quran menyebut-nyebut ukuran waktu
dengan format jam. Kenapa?
Mudah saya, karena sistem penghitungan waktu dengan jam yang kita
gunakan saat ini, hanya buatan manusia. Berlakunya hanya berlaku di
zaman kita ini saja.
Pada saat Al-Quran diturunkan 14 abad yang lalu, manusia belum mengenal
pembagian waktu yang sehari 24 jam. Di satu sisi, Al-Quran adalah kitab
yang abadi, sementara penggunaan sistem waktu dan jam akan selalu
berubah. Bagaimana mungkin Al-Quran menyimpan pesan yang hanya
dikhususkan untuk satu zaman saja?
Di masa mendatang boleh jadi kita akan meninggalkan sistem penghitugan
jam yang sekarang ini dengan sitem yang lain. Kalau sehari sekarang ini
kita hitung menjadi 24 jam, boleh jadi kapan-kapan kita buat menjadi 100
jam dengan ukuran sama yaitu sehari semalam.
Atau boleh jadi kita akan menggunakan sistem jam bintang (baca:stardate)
seperti yang diperkenalkan dalam serial film StarTrek. Kalau pakai
stardate, gempa di Padang yang jam 17:16 itu adalah -313252.8234398783.
Masih minus karena stardate baru akan dimulai pada 1 Januari tahun 2323.
Lalu siapa yang menetapkan bahwa satu hari terdiri dari 24 jam, 1 jam
terdiri dari 60 menit, dan 1 menit terdiri dari 60 detik? Yang pasti
ketentuan itu tidak datang dari langit sebagai wahyu. Konon besaran itu
diambil dari peradaban Babylonia yang mengenal sistem penghitungan
sexagesimal yang berbasis angka (60). Sedangkan istilah `jam` konon
sudah digunakan oleh peradaban Mesir kuno sebagai 1/24 dari mean
matahari.
Yang jadi pertanyaan, apakah Al-Quran mengakui hitungan-hitungan itu
lalu menyelipkan informasi di sela-sela nomor ayat? Kok jadi mirip film
X-files?
Kedua : Jam Kita Adalah Jam Politis
Selain Al-Quran tidak mengenal penghitungan waktu dengan jam, pada
dasarnya sistem jam yang kita gunakan ini bersifat politis. Gempa di
Padang itu hanya dianggap terjadi pada jam 17:16 kalau menurut hitungan
waktu Indonesia Bagian Barat. Karena Padang itu terdapat di wilayah
NKRI.
Tapi seandainya -ini hanya seandainya- kota Padang itu bukan bagian dari
Negara Indonesia, tentu gempa tidak terjadi pada jam 17:16, tetapi bisa
saja malah jam 18:16 atau jam 16:16. Semua tergantung kebijakan
pemerintahannya.
Kok gitu?
Ya memang begitu. Mari kita buat pengandaian. Seandainya kota Padang itu
bagian dari Singapura, maka kejadian gempa itu pastinya bukan jam 17:16,
tetapi jam 18:16. Sebab meski letaknya lebih di Barat dari Jakarta, tapi
secara kebijakan Pemerintah Singapura menetapkan jam mereka lebih dulu
dari Indonesia. Kalau Jakarta atau WIB itu GMT+7, ternyata Singapura
malah GMT+8.
Padahal posisi Singapura lebih ke Barat dibandingkan Jakarta. Seharusnya
Jakarta lebih dulu dari Singapura. Tapi sekali lagi karena ini hanya
urusan politis dua negara yang beda pemerintahan, maka akhirnya
Singapura yang lebih dekat ke kota Padang malah punya jam yang lebih
dulu dari jam Jakarta.
Jadi angka 17:16 yang katanya merupakan surat ke-17 ayat ke-16, kalau
dikait-kaitkan dengan jam kejadian gempa Padang, tentu 100% dusta,
hanyalah ilusi, hayal, dan tidak tepat. Kenapa? Karena penetapan
hitungan jam itu bersifat nisbi.
Salah satu bukti bahwa penetapan jam itu semata-mata politis adalah
kalau kita berada di negeri sub-tropis. Setiap ganti musim baik dari
musim panas ke musim dingin atau sebaliknya, pemerintah punya kebijakan
untuk mengubah atau melompat jam secara massal. Yang tadinya jam 07.00
pagi, secara massal di bawah perintah penguasa, rakyat diminta mengubah
jamnya jadi jam 08.00. Heboh kan?
Konon sejarah gonta-ganti jam ini belum lama. Awalnya dimulai pada saat
krisis minyak pada tahun 1970-an. Waktu krisis minyak tersebut, harga
minyak menjadi berlipat ganda dan minyak pun menjadi barang langka.
Berhubung minyak diperlukan untuk seluruh industri dan berbagai
keperluan sehari-hari lainnya, pemerintah Swiss (dan beberapa negara
Eropa lainnya, kalau nggak salah) memutuskan memajukan satu jam.
Dengan cara itu berarti negara ini menghemat satu jam pemakaian minyak,
lantaran satu jam dianggap hilang. Jadi kalau ditetapkan pada tanggal
sekian waktu dimajukan satu jam pada jam 12 malam, pada waktu jam
menunjukkan 24.00, semua jam dimajukan menjadi jam 01.00. Ini artinya
waktu antara 24.00-01.00 tidak eksis alias hilang.
Tapi kemudian `hilang`-nya waktu ini pun diganti pada waktu pergantian
jam di musim dingin, dengan diundurnya waktu selama satu jam. Artinya
kalau tanggal X harus ganti waktu musim dingin pada jam 12 malam,
sewaktu jam menunjukkan pukul 24.00, seluruh jam diundur menjadi 23.00.
Artinya waktu 23.00-24.00 berulang dua kali, dua jam. Impas kan. Ribet
ya?
Tapi intinya saya cuma mau bilang bahwa penghitungan jam itu sangat
nisbi dan sangat politis. Tidak layak Al-Quran memberi informasi
berdasark kebijakan politis sebuah pemerintahan.
Ketiga : Sistem Penomoran Ayat Quran Cuma Ijtihad Manusia
Lafadz Al-Quran memang dari Allah SWT yang sampai kepada kita sepanjang
14 abad dengan proses periwayatan yang mutawatir. Tetapi urusan
penomoran ayat-ayatnya ternyata tidak merupakan ketetapan dari Allah
SWT.
Karena itulah kita menemukan para ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan jumlah total ayat Al-Quran. Ternyata jumlahnya yang konon
6.666 ayat itu malah tidak ada rujukannya. Cobalah iseng-iseng ambil
kalkulator lalu jumlahkan semua ayat yang ada di 114 surat, hasilnya
pasti bukan 6.666.
Lho kok?
Nah, biar mudahnya silahkan baca tulisan saya sebelumnya tentang
perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang jumlah total ayat Al-quran,
silahkan klik di link ini
<http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1194076695&cari=ayat&tanya=subj\
ect> .
Perbedaan dalam menghitung jumlah ayat ini sama sekali tidak menodai
Al-Quran. Kasusnya sama dengan perbedaan jumlah halaman mushaf dari
berbagai versi percetakan. Ada mushfah yang tipis dan sedikit mengandung
halaman, tapi juga ada mushfah yang tebal dan mengandung banyak halaman.
Yang membedakanya adalah ukuran font, jenis dan tata letak (lay out)
halaman mushaf. Tidak ada ketetapan dari Nabi SAW bahwa Al-Quran itu
harus dicetak dengan jumlah halaman tertentu.
Lalu apa kaitannya dengan tema yang kita sedang bahas?
Kaitannya adalah bahwa nomor ayat itu juga bersifat nisbi. Kalau angka
jam digital menyebutkan 17:16, lalu dianggap itu merupakan kode isyarat
nomor surat dan ayat di Al-Quran, maka nomor itu mau menggunakan versi
yang mana?
Kalau pakai mushaf yang umumnya kita pakai memang barangkali ada
kebetulannya untuk cocok, tetapi kita harus ingat bahwa ada berjuta
jenis dan versi mushaf di dunia ini, dimana nomor surat dan ayat 17:16
belum tentu terkait dengan musibah gempa.
Keempat : Al-Quran Bukan Buku BMG
Al-Quran sejak awal diturunkan tidak pernah disebutkan mengandung
informasi dunia teknologi. Apalagi hanya dikaitkan dengan nomor-nomor
surat atau nomor-nomor ayat di dalamnya. Nomor-nomor itu 100% buatan
manusia, sama sekali tidak datang dari Allah SWT. Jadi kalau dipercayai
sebagai bagian dari wahyu, sungguh sebuah kekeliruan yang fatal.
Memang benar bahwa Al-Quran adalah kitab petunjuk, tetapi tentu saja
bukan petunjuk yang terkait dengan hal-hal teknis. Kita tidak akan
menemukan tatacara membangun gedung, membikin mobil, menangkap ikan,
menanam padi di sawah, atau mengetahui kapan terjadi bencana alam. Jelas
sekali Al-Quran tidak diturunkan untuk kebutuhan seperti itu.
Kalau Al-Quran diyakini sebagai buku referensi teknologi, berarti kita
secara tidak langsung telah menuduh Nabi Muhammad SAW telah zalim atau
tidak mengerti Al-Quran.
Kok gitu?
Ya, karena Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang sah ditugaskan untuk
menjelaskan isi Al-Quran, bahkan disebutkan bahwa beliau adalah Al-Quran
yang berjalan. Kalau di dalam Al-Quran itu ada info tentang kapan
terjadi bencana alam, lalu Nabi SAW diam saja tidak bilang apa-apa,
berarti Nabi SAW itu zalim, karena tidak memberikan peringatan dini. Itu
kalau kita anggap Nabi SAW tahu semua isi Al-Quran.
Tapi kalau kita bilang bahwa Nabi SAW tidak tahu ada informasi seperti
itu di dalam Al-Quran, maka kita juga telah menuduh yang salah kepada
beliau. Masak ada info tentang gempa di dalam Al-Quran, Nabi SAW malah
tidak tahu? Lalu buat apa jadi nabi? Nabi kok tidak tahu info dalam
Al-Quran?
Lebih parah lagi, kenapa Allah SWT terkesan `menyembunyikan` info akan
terjadi gempa di dalam Al-Quran? Apakah Al-Quran itu merupakan buku
teka-teki? Apakah kita disuruh untuk bermain puzzle dengan nomor ayat
Quran? Untuk itukah Quran diturunkan?
Betapa naifnya kalau memang begitu. Quran kitab yang agung itu ternyata
tidak lebih hanya dijadikan buku teka-teki yang angka di dalamnya
diotak-atik, mirip orang kecanduan judi buntut.
Astaghfirullahal-Adzhiem.
Jadi kesimpulannya, informasi bahwa ayat Al-Quran mengandung misteri
terselubung yang berupa data-data akan terjadi gempa tidak lain hanyalah
klenik abad 21 yang dimainkan oleh mereka yang bermental Bani Israil,
karena tidak lebih dari sekedar asathir (dongeng), levelnya sederajat
dengan kisah-kisah israiliyat versi yahudi laknatullahi alaihim.
Sayangnya, banyak juga yang terkecoh dengan ilusi model beginian.
Kepercayaan semacam itu sama sekali tidak memberikan nilai tambah apa
pun buat Al-Quran. Malah sebaliknya, Quran jadi direndahkan selevel
dengan kitab primbon atau mujarobat. Naudzu billah tsumma nauzdu billah.
Wallahu a'lam bishshawab, wasalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc