Setelah tegukan terakhir kopiku, kuletakkan cangkir kesayanganku dan
menaruh koranku. Seperti biasanya, mataku akan tertuju ke photo
keluarga yang ada di dinding rumahku ini. Sudah ratusan hari kulalui
dengan ritual kopi, koran, benturan pandangan mata ke dinding dan
segera bersiap ke kantor. Entah bagaimana, hari ini, setelah melihat
photo keluargaku yang besar itu, aku tidak segera bergegas bersiap
mengganti pakaian kerja. Mataku tertuju pada photo di dinding itu
seolah ada kekuatan magis yang memanggil aku mendekatinya.
Kupandangi photo itu, di photo itu ada aku berdiri di bagian belakang,
tangan kananku memegang bahu istriku, tangan kiriku memegang bahu si
sulung, sementara istriku menggendong si bungsu, yang saat itu masih
berusia 8 bulan, sedangkan si sulung yang saat itu berusia 10 tahun,
memegang bahu putri kedua kami. Semua yang ada di photo itu tampak
bahagia. Aku kembali mengingat kejadian saat hendak pembuatan photo
itu.. Istriku tampak sedang kewalahan habis mengganti popok si bungsu,
si sulung tak habisnya mengisengi adiknya dengan menarik-narik pita
rambutnya. Sementara aku sibuk merapikan dasi yang tampaknya hari itu
tidak mau rapi juga. Beberapa kali aku berteriak minta tolong istriku
membetulkan posisi dasiku, beberapa kali ia telah menjawab, "iya,
yah", tapi dia tidak bisa juga datang menghampiriku karena tangannya
harus mengurus bayi kami, matanya harus mengawasi dua anak kami
lainnya yang bertengkar dan beberapa kali menegur si sulung,
menasihati pula sang adik, "kakak, berhentilah menarik pita Rena, Rena
tidak perlu berteriak-teriak begitu. Ayo, Rena, tolong jaga adikmu
sebentar, ibu mau membantu ayahmu membenarkan dasinya." Dan.. Saat
pengambilan photo pun, sungguh tidak mudah, dari bayi kami yang tidak
mau melihat ke depan, Rena yang sibuk memegangi kuncirannya dan merasa
bahwa kuncirannya itu menjadi miring karena ditarik-tarik sang kakak.
Sang kakak yang tidak mau tersenyum, ia tampak tegang melihat kamera..
7 kali kamera harus dijepret untuk mendapatkan gambar photo yang ada
di dinding itu.
Kutelusuri lagi semuanya ke belakang, oh! Betapa banyaknya hari-hari
yang penuh tantangan, ketika bayi kami beberapa kali mengalami demam
tinggi dan kami harus bolak-balik ke beberapa dokter. Ada pula saat
istriku harus memperjuangkan kelahiran putri kedua kami yang sungsang.
Ada hari-hari dimana si sulung terus berulah di sekolah, sehingga
panggilan guru ke sekolah adalah langganan kami.
Keluarga istriku yang
terus menerus menghasutnya untuk meninggalkanku karena keadaan ekonomi
kami yang serba pas-pasan, sementara keluarganya sangat berada. Dan
diriku.. Yang selalu bertanya, apakah aku sanggup menghidupi keluarga
ini.. Dari malam ke malam, rasa takut itu berada satu selimut
denganku.. Bagaimana aku bisa melayakkan hidup keluargaku, bagaimana
jika aku dipecat, bagaimana membayar uang sekolah anak-anak yang
semakin mahal, bagaimana membahagiakan istriku yang berasal dari
keluarga yang berkecukupan.. Bagaimana, bagaimana, bagaimana?
Bagaimana masa depan keluarga kecilku ini??
Aku kembali memandang
photo keluarga kami di dinding.. Dari semua hari-hari yang penuh
tantangan, nyatanya, ada pula waktu dimana aku mampu menyatukan
mereka. Photo ini tidak bohong, kami semua tampak bahagia.. Itulah
sebagian masa depan yang dulunya sering kutakutkan, nyatanya.. Tuhan
tidak membiarkan keluarga kami berhamburan. Di dalam photo itu, kami
semua tersenyum.. Mungkin saja karena telah diatur.. Yah, semuanya
memang indah jika diatur. Dan di dalam perjalananku DIA telah mengatur
hidup keluargaku. Terimakasih Tuhan atas penyertaanMU selama ini, aku
tertunduk bersyukur, aku tahu masa depan keluargaku akan baik-baik
saja jika kami berjalan denganNYA..
"Yah, tidak ke kantor?" Tiba-tiba suara istriku membuyarkan lamunanku,
di tangannya ada celana panjang dan kemejaku. "Ya, aku akan ke kantor,
bu." Aku pasti akan ke kantor, sayang, dan senantiasa berjalan maju
memperjuangkan keluarga anugerah Tuhan yang indah ini.
Tulisan ini saya persembahkan untuk semua keluarga Indonesia.
Yacinta Senduk
No comments:
Post a Comment