Sekolah Untuk Apa?
 Oleh: Rhenald Kasali
 
 Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak kita  mencari sekolah.   Masuk universitas pilihan, susahnya setengah mati.    Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum.  Sudah masuk, ternyata  banyak yang "salah kamar".  Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa  yang bermasalah dalam perkuliahan yang begitu digali selalu mengatakan  mereka masuk jurusan yang salah. 
 
 Demikianlah, diterima di PTN masalah, tidak diterima juga masalah.   Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja.  Bagaimana kalau uang tak ada?   Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S2.   Jadi birokrat atau jendral pun, sekarang banyak yang ingin punya gelar  S3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA tiga puluh tahun  yang lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini.  Bahkan  sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya.
 
 Mengapa hanya soal memindahkan anak karena pindah rumah ke sekolah  negeri lain saja biayanya begitu besar?  Padahal bangku sekolah masih  banyak yang kosong.  Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di  perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun.   Lengkap sudah masalah kita. 
 
 Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat  kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat sulit?  Lantas apa  yang harus dilakukan orang tua?  Jadi sekolah untuk apa di negeri yang  serba sulit ini?  
 
 Kesadaran Membangun SDM
 
 Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, PM Malaysia Mahathir  Mohammad sadar betul pentingnya pembangunan SDM.  Ia pun mengirim  puluhan ribu sarjana mengambil gelar S2 dan S3 ke berbagai negara maju.   hal serupa juga dilakukan China.  Tidak sampai sepuluh tahun, lulusan  terbaik itu sudah siap mengisi perekonomian negara.  Hasilnya anda bisa  lihat sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian  pula perusahaan swasta dan birokrasinya. 
 
 Perubahan bukan hanya sampai di situ.  Orang-orang muda yang kembali ke  negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang  terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada  guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan dan rumus)   yang dominan mulai ditinggalkan.  Mereka membongkar kurikulum,  memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya. Tak mengherankan kalau  sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia pun mulai berubah. 
 
 Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana  universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa.  "Semua  warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka  yang mendaftar harus kami terima," ujar seorang dekan di Erasmus.  Beda  benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk  mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik. Seleksinya sangat  ketat.   
 
 Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini?   "Mudah saja," ujar dekan itu.  "Kita potong di tahun kedua.  Masuk tahun  kedua, angka drop out tinggi sekali.  Di sinilah kita baru bicara  kualitas,  sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan  minat bisa membuat masa depan berbeda,"ujarnya.
 
 Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di New Zealand.  Meski  murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka  drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi.  Mereka pindah ke  politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah. 
 
 Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak  bersekolah di  tingkat SLTA di New Zealand.  Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah  yang terbaik, masuk dalam sepuluh besar nasional dengan fasilitas dan  guru yang baik.  Saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewancarai  lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah,  menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan. Di  luar dugaan saya, pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah. 
 
 Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah  kita yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau  muridnya bisa dapat nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya  mereka)  dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif namun tak  menguasai semua subjek.  Potensi anak hanya dilihat dari nilai,  yang  merupakan cerminan kemampuan mengkopi isi buku dan cacatan. Entah dimana  keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking.   Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti  menciptakan bebek-bebek dogmatik.  
 
 Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negri,  mungkin guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus.  Mohon  maaf, ternyata tidak demikian.  Jangankan dibaca, diminta transkrip  nilainya pun tidak.  Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun  di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar  negeri. Bahkan tanpa tes.  Apa yang membuat demikian? "undang-undang  menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar," ujar seorang  guru di New Zealand. 
 
 Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan inputnya?  "itu ada  benarnya, tapi bukan segala-galanya," ujar putera sulung saya yang  kuliah di Auckland University tahun ketiga.  Maksudnya, test masuk tetap  ada, tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi.
 
 Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran  wajib (compulsory) yaitu matematika dan bahasa Inggris.  Pada dua mata  pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan  yang masih butuh bimbingan. Sekolah dilarang hanya menerima anak-anak  bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter  pada masa depan anak, khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan  kurang empati. Mereka hanya super dikedua kelas itu, di kelas lain  mereka berbaur. Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran  tidak hanya diberikan secara kognitif semata. 
 
 Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran pilihan lain yang disesuaikan  dengan tujuan masa depan masing-masing. Bagi mereka yang bercita-cita  menjadi dokter maka biologi dan ilmu kimia wajib dikuasai. Bagi yang  akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi  yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting, statistik dan  ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi  dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang harus mengambil 16  mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di  atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). 
 
 Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat kurikulum itu orangnya hebat  sekali?  Mungkin dia manusia super. Seorang lulusan SLTA, tahun pertama  harus menguasai 4 bidang science (biologi, ilmu kimia, fisika dan  Matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris dan satu bahasa  lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi,  kesenian, olahraga dan komputer. Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan  kalau sekolah menjadi sangat menakutkan, stressful, banyak korban  kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus diakui kurikulum  SLTA kita sangat berat. Sama seperti kurikulum program S1 dua puluh  tahun yang lalu yang sejajar dengan program S1 yang digabung hingga S3  di Amerika. Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana  tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun.   Dulu program doktor  menyelesaikan di atas 100 SKS, makanya hampir tak ada yang lulus.  Kini  seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun.
 
 Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian tapi tak ada masalah  kok! Di mana masalahnya?  Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah.   Teknologi telah merubah banyak hal, anak-anak kita dikepung informasi  yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, namun datang dengan  lebih menyenangkan.  Belajar bukan hanya dari guru, tapi dari segala  resources. Ilmu belajar menjari lebih penting dari apa yang dipelajari  itu sendiri, karena itu diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu  pendidik.  Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk  dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru,  Lifelong learning. 
 
 Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah.  Seorang guru di West  Lake Boys School di Auckland mengatakan, "Kami sudah meninggalkan old  ways teaching sejak sepuluh tahun yang lalu.  Makanya sekolah sekarang  harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi  banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah.  Guru kami ubah, metode  diperbaharui, fasilitas baru dibangun," ujar seorang guru.
 
 Masih banyak yang ingin saya diskusikan, namun sampai di sini ada  baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah, dan  untuk apa kita bersekolah? Mudah-mudahan kita bisa mendiskusikan lebih  dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depannya  yang lebih baik.  
 
 Rhenald Kasali
 Ketua Program MMUI
-- 
"Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Ikhlas, Kerja Tuntas" ~ Unknown
 
No comments:
Post a Comment