“saya sudah bekerja 11 tahun, mengapa gaji saya tidak
naik-naik?”
“saya sudah pergi pagi, pulang petang, mengapa saya tetap
tidak mendapat penghargaan atasan?”
Dua pertanyaan di atas adalah pertanyaan klasik yang sering ditemukan
di manapun kita bekerja. Kekecewaan pada minimnya penghargaan dan penghidupan
yang layak adalah masalah umum yang di
temukan pada dunia kerja di negeri tercinta ini. Kalau tidak begitu, mengapa
tenaga non terdidik kita bersusah payah bertarung nyawa dan mempertaruhkan
kehormatan demi penghidupan layak di negeri seberang?
Tulisan ini bermaksud mengkritisi si penulis (saya sendiri)
yang terkadang lalai dan malas dalam bekerja dan syukur-syukur bisa mengajak
pembaca lebih bijak dalam bekerja. Bekerja adalah kehormatan, merupakan kalimat
pembuka tulisan ini yang isinya sebenarnya panjang dan berliku. Penulis ingin
mengajak pembaca untuk mengarungi dunia pekerjaan yang penuh tantangan, harapan
serta onak & duri di dalamnya.
Kasus I : “Bekerja untuk hidup atau hidup untuk bekerja?”
Seorang teman bekerja pada sebuah bank, masih single dan 12
jam waktunya habis dicurahkan pada tempatnya bekerja itu setiap hari, 5 kali
dalam seminggu. Berangkat dari rumahnya di kota penyangga pukul 5.30 pagi dari
rumah, mengantri & berdesakan di transportasi publik (Kereta Rel Listrik
atau Transjakarta) lalu mulai bekerja di Jakarta pukul 08.00 s.d. 21.00.
Terkadang – kira-kira 3 kali dalam seminggu – ia harus bekerja sampai pukul
22.00! Jika perjalanan pulang dari kantornya di Jakarta untuk pulang ke
rumahnya memakan waktu yang sama ketika dia berangkat, maka total rata-rata ia
menghabiskan waktu untuk pekerjaannya adalah 17 jam! Itu belum termasuk ketika
ia terpaksa membawa pekerjaannya ke rumah, karena kita harus menghitung waktu
bekerja di rumah sebagai waktu “extra” yang dipakai untuk pekerjaan kita.
Kasus II : “Bekerja untuk uang yang banyak? Bekerja sesuai “panggilan jiwa” atau idealisme background pendidikan?
Saya sekolah di IPB jurusan Teknologi Industri Pertanian.
Yang dipelajari adalah hampir semua aspek Industri dari mulai ilmu mengelola
orang (Man), uang (Money) dan bahan industri (Material). Akibatnya lulusan TIN
IPB punya kemampuan menganalisa yang holistik dan terintegrasi tapi tidak dalam
/ mendetail. Sulit sekali mencari jenis pekerjaan yang “sangat sesuai” dengan
lulusan TIN. Bukannya tidak ada, tidak sesuai maksud saya adalah pekerjaan itu
mampu memberikan kewenangan yang sama sesuai yang dipelajari orang tersebut
ketika kuliah di TIN.
Seorang teman yang lulusan ilmu komputer malah berujar bahwa
anak Teknik Industri sebenarnya cocok untuk mereka yang berasal dari kalangan
keluarga pengusaha. Artinya si anak telah punya warisan perusahaan dari
keluarganya untuk memimpin bisnis. Maka apa yang dipelajarinya akan lebih
maksimal lagi.
Kebanyakan teman saya dari jurusan TIN dalam satu angkatan
justru mengambil bidang kerja di perbankan. IPB banget ya? BRI, BNI, Bank
Mandiri, BCA, Chinathrust, CIMB Niaga, BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, BII
dan BTPN. Sebelumnya di antara orang-orang tersebut juga ada yang pernah
berkarir di Bank NISP, Bank Lippo dan Bank Danamon. Alhamdulillah yach?
Kasus III : “Mengalir saja, Asal Bapak Senang atau menjadi Mountain Mover”
“Go with the flow is suitable only for the dead fish!”
Kata-kata tersebut bukan tanpa arti. Orang yang sering
mengungkapkan “mengalir saja seperti air” pada dasarnya tidak punya visi dalam
hidupnya. Ia hanya seolah-olah menikmati pekerjaan lalu larut di dalamnya. Sepintas
terlihat biasa-biasa saja, tapi lama-lama orang-orang seperti ini hanya menjadi
alat untuk orang lain mencapai visi pribadinya.
ABS, Asal Bapak Senang, adalah sebutan atau ungkapan yang
populer di jaman orde baru. Sebutan itu sebenarnya adalah sindiran pada pejabat
yang saat itu memanipulasi keadaan
seolah-olah “Everything is all right” , “Under control” atau “On the track”.
Sifat ABS mirip-mirip dengan sifat penjilat. Ungkapan yang saya suka untuk
karyawan tipe penjilat adalah : “Ibarat ilmu kodok, jilat atas, sikut kiri,
sikut kanan, injak bawah”
Montain Mover, adalah istilah dari Antonny Robbins yang saya
suka. Dibanding istilah “Agent of change” yang terdengar terlalu “ambisius
& self centris”, Mountain Mover adalah mereka atau golongan karyawan yang
memiliki kekuatan merubah dan mempengaruhi wajah dan bentuk organisasi.
Kekuatan leadership yang sesungguhnya. Saya membayangkan orang tersebut sebagai
seorang pekerja keras sekaligus cerdas yang menempatkan team work sebagai cara
ia mencapai target / goal. Ia terkadang memimpin di depan untuk memberikan
contoh atau teladan yang baik, tetapi terkadang pula di belakang sebagai
penyemangat tim serta mengurangi kadar ke-narsis-an pada dirinya. Ia tak
segan-segan mengorbankan privileges yang ia punya demi kepentingan tim.
No comments:
Post a Comment