11 November 2011

Bekerja adalah Kehormatan


“saya sudah bekerja 11 tahun, mengapa gaji saya tidak naik-naik?”
“saya sudah pergi pagi, pulang petang, mengapa saya tetap tidak mendapat penghargaan atasan?”


Dua pertanyaan di atas adalah pertanyaan klasik yang sering ditemukan di manapun kita bekerja. Kekecewaan pada minimnya penghargaan dan penghidupan yang layak adalah masalah  umum yang di temukan pada dunia kerja di negeri tercinta ini. Kalau tidak begitu, mengapa tenaga non terdidik kita bersusah payah bertarung nyawa dan mempertaruhkan kehormatan demi penghidupan layak di negeri seberang?

Tulisan ini bermaksud mengkritisi si penulis (saya sendiri) yang terkadang lalai dan malas dalam bekerja dan syukur-syukur bisa mengajak pembaca lebih bijak dalam bekerja. Bekerja adalah kehormatan, merupakan kalimat pembuka tulisan ini yang isinya sebenarnya panjang dan berliku. Penulis ingin mengajak pembaca untuk mengarungi dunia pekerjaan yang penuh tantangan, harapan serta onak & duri di dalamnya.

Kasus I : “Bekerja untuk hidup atau hidup untuk bekerja?”

Seorang teman bekerja pada sebuah bank, masih single dan 12 jam waktunya habis dicurahkan pada tempatnya bekerja itu setiap hari, 5 kali dalam seminggu. Berangkat dari rumahnya di kota penyangga pukul 5.30 pagi dari rumah, mengantri & berdesakan di transportasi publik (Kereta Rel Listrik atau Transjakarta) lalu mulai bekerja di Jakarta pukul 08.00 s.d. 21.00. Terkadang – kira-kira 3 kali dalam seminggu – ia harus bekerja sampai pukul 22.00! Jika perjalanan pulang dari kantornya di Jakarta untuk pulang ke rumahnya memakan waktu yang sama ketika dia berangkat, maka total rata-rata ia menghabiskan waktu untuk pekerjaannya adalah 17 jam! Itu belum termasuk ketika ia terpaksa membawa pekerjaannya ke rumah, karena kita harus menghitung waktu bekerja di rumah sebagai waktu “extra” yang dipakai untuk pekerjaan kita.


Kasus II : “Bekerja untuk uang yang banyak? Bekerja sesuai “panggilan jiwa” atau idealisme background pendidikan?

Saya sekolah di IPB jurusan Teknologi Industri Pertanian. Yang dipelajari adalah hampir semua aspek Industri dari mulai ilmu mengelola orang (Man), uang (Money) dan bahan industri (Material). Akibatnya lulusan TIN IPB punya kemampuan menganalisa yang holistik dan terintegrasi tapi tidak dalam / mendetail. Sulit sekali mencari jenis pekerjaan yang “sangat sesuai” dengan lulusan TIN. Bukannya tidak ada, tidak sesuai maksud saya adalah pekerjaan itu mampu memberikan kewenangan yang sama sesuai yang dipelajari orang tersebut ketika kuliah di TIN.

Seorang teman yang lulusan ilmu komputer malah berujar bahwa anak Teknik Industri sebenarnya cocok untuk mereka yang berasal dari kalangan keluarga pengusaha. Artinya si anak telah punya warisan perusahaan dari keluarganya untuk memimpin bisnis. Maka apa yang dipelajarinya akan lebih maksimal lagi.
Kebanyakan teman saya dari jurusan TIN dalam satu angkatan justru mengambil bidang kerja di perbankan. IPB banget ya? BRI, BNI, Bank Mandiri, BCA, Chinathrust, CIMB Niaga, BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, BII dan BTPN. Sebelumnya di antara orang-orang tersebut juga ada yang pernah berkarir di Bank NISP, Bank Lippo dan Bank Danamon. Alhamdulillah yach?

Kasus III : “Mengalir saja, Asal Bapak Senang atau menjadi Mountain Mover”

“Go with the flow is suitable only for the dead fish!”
Kata-kata tersebut bukan tanpa arti. Orang yang sering mengungkapkan “mengalir saja seperti air” pada dasarnya tidak punya visi dalam hidupnya. Ia hanya seolah-olah menikmati pekerjaan lalu larut di dalamnya. Sepintas terlihat biasa-biasa saja, tapi lama-lama orang-orang seperti ini hanya menjadi alat untuk orang lain mencapai visi pribadinya.
ABS, Asal Bapak Senang, adalah sebutan atau ungkapan yang populer di jaman orde baru. Sebutan itu sebenarnya adalah sindiran pada pejabat yang saat itu  memanipulasi keadaan seolah-olah “Everything is all right” , “Under control” atau “On the track”. Sifat ABS mirip-mirip dengan sifat penjilat. Ungkapan yang saya suka untuk karyawan tipe penjilat adalah : “Ibarat ilmu kodok, jilat atas, sikut kiri, sikut kanan, injak bawah”

Montain Mover, adalah istilah dari Antonny Robbins yang saya suka. Dibanding istilah “Agent of change” yang terdengar terlalu “ambisius & self centris”, Mountain Mover adalah mereka atau golongan karyawan yang memiliki kekuatan merubah dan mempengaruhi wajah dan bentuk organisasi. Kekuatan leadership yang sesungguhnya. Saya membayangkan orang tersebut sebagai seorang pekerja keras sekaligus cerdas yang menempatkan team work sebagai cara ia mencapai target / goal. Ia terkadang memimpin di depan untuk memberikan contoh atau teladan yang baik, tetapi terkadang pula di belakang sebagai penyemangat tim serta mengurangi kadar ke-narsis-an pada dirinya. Ia tak segan-segan mengorbankan privileges yang ia punya demi kepentingan tim.



No comments:

Post a Comment