26 August 2018

Mengkapitalisasi Istri sendiri, kok bisa?

#Finance #StartUp #Keuangan #SinergiPasangan #CashFlow #CashCow #HumanResources

Pernah dengar bagaimana Pabrik Apple di China - FoxConn mengelola para pekerjanya? Jadwal kerja padat, shift penuh serta asrama sempit berdesakan untuk karyawan kerah biru mereka. Dari ongkos murah para induatrialis Cina ini, Apple mendapat margin yang menggiurkan ditambah lagi strategi branding yang mengesankan produk-produk Apple adalah produk craftmanship berkualitas tinggi.

Tenaga kerja adalah kunci sumber daya yang paling utama dalam setiap bisnis. Kapitalisasi tenaga kerja yang maksimal akan mendongkrak produktivitas bisnis yang berujung pada revenue maksimum pula.

Nah, bicara efisiensi dan kapitalisasi tenaga kerja oleh para taipan bisnis ini menginspirasi saya untuk menulis soal memaksimalkan resources yang kita punya dalam skala usaha baru yg saya geluti. Sebagai pengusaha pemula, tak banyak karyawan yg bisa direkrut, tak banyak orang yg bisa dilibatkan mengingat terbatasnya sumber daya dan modal. Satu2nya orang lain yg bisa support bisnis saya dari awal adalah istri saya sendiri.

Istri adalah resources yang berdayaguna tinggi. Umumnya pasangan hidup kita mengetahui titik lemah kita dan faham kelebihan kita. Di sisi lain, dia akan memiliki kelebihan sebaliknya yg akan berfaedah sebagai naker dalam bisnis. Misal, saya termasuk yg baik dalam sales & business develoment, risk taker tapi agak gegabah mengelola uang, cenderung boros dan senang belanja.

Saya memaksimalkan kemampuan istri untuk mengelola keuangan keluarga sekaligus perusahaan. Awalnya berat, karena ego dan kenyamanan yg terganggu, belum lagi istri yg terkadang gak tahan akan sikap inkonsistensi dari saya sendiri dalam disiplin keuangan. Tetapi dengan komitmen yg terus diperbaiki dan sikap konsisten bahkan pada saat berselisih, maka perlahan kami menjadi nyaman mendisiplinkan diri dalam soal ini.

Setelah sekian bulan, istri saya libatkan dalam hal reimbursement dan gaji karyawan. Rekening mulai dibuat rekening tabungan bisnis yg dia punya otoritas. Masalah kemudian muncul, soal belum tekunnya dia mengelola keuangan dan habis waktu karena menghitung arus kas bisnisnya sendiri (istri saya jualan es, jualan baju dan mengelola pembiayaan syariah dari barang konsumtif sampai modal bisnis skala mikro). Setiap hari ia dengan tekun menghitung arus masuk, arus keluar dan piutang di dalam buku2 ledger setebal 3 jari miliknya. Ia punya basis data catatan pelanggan sejak dia memulai bisnisnya sendiri.

Saya terus mendampinginya dan membuat situasi-situasi rasional untuk diputuskan. Misalnya, dia sering nyeletuk kalau dia dulu kerja itu untuk fun, saya berhasil mempengaruhinya (walau dia terlalu sombong untuk mengakuinya) untuk berhenti bekerja dan akan fun pula dalam bisnisnya. Eh benar saja, setelah saya support misalnya dengan selalu mengantarnya pergi belanja dagangan pakaian ke tanah abang, atau dagangan handphone ke ITC Depok tak lama ia memutuskan berhenti bekerja dan fokus membangun bisnisnya itu.

Sesekali saya sibuk tak bisa mengantarnya, rupanya ia kesulitan dan terkadang jenuh juga dengan rutinitas yang ia lakukan mirip bisnis tukang sate: dari motong daging, bikin bumbu, panggang sate sampai menyajikannya ke customer dilakukan oleh dirinya sendiri. Saya sering mencoba "mengguruinya" soal membangun sistem dalam bisnis, tapi bukan istri saya kalau gak bisa ngeles, ia akan menyebut kegagalan-kegagalan cashflow saya kalau saya mencoba mengajarinya soal merekrut karyawan atau menggunakan aplikasi untuk menghitung keuangan bisnis ritel yg ia jalankan.

Dan jika sudah adu argumen, saya memilih diam dan mengutuk diri saya sendiri karena lemah sekali soal ini sehingga gak bisa menjawab kritikan balik istri saya itu. Tapi diam2 saya terus belajar dan memperbaiki diri dengan berfikir positif atas masukan beliau itu. Saya belajar menurunkan cost hidup saya, misalnya dari ongkos komunikasi kartu pasca bayar saya yg dulu di kisaran 1.5 s.d. 1.9 juta per bulan sehingga nyaris di 300 ribuan saja per bulan sepanjang 3 bulan ini.

Biasanya saya tak tahan untuk mengantongi 500 s.d. 1 juta minimal di dompet jika saya (meminjam istilah istri saya) "kelayapan". Itu dulu, sementara saat ini saya bisa "hidup" dengan happy jika hanya mengantongi 100-200 ribuan saja di kantong (dengan catatan bensin mobil ada, uang plastik cukup untuk transaksi tol atau KRL/Transjakarta, dan GoPay untuk ongkos Gojek). Kritik dan kalimat2 sinis soal kongkow2, haha-hihi yang dianggapnya gak menghasilkan uang saya senyumin aja karena saya tahu benar untuk sales dan develop bisnis ya memang begini caranya.

Alhasil dalam 2 tahun membangun bisnis ini, saya lebih mampu berhemat, lebih bisa bebas dari pengawasan ketat dan kontrol istri saya dalam soal daily cost dan impactnya istri saya lebih leluasa mengelola keuangan keluarga tanpa diganggu oleh kacaunya arus kas karena salah kelola bisnis dan kesalahan2 keuangan yg saya lakukan.

Nah, itulah sekelumit kisah saya mengelola human resources yg saya punya dan itu adalah istri saya sendiri, dan ini pun baru dari 1 aspek saja: mengelola keuangan. Aspek2 lain bisa teman2 temukan sendiri pada pasangan sesuai dengan anugerah yg Tuhan berikan pada pasangan dan diri masing2, tentu beda2 dan unik, tinggal digali dan kita mau jujur menghadapinya.

Salam Berdaya..

Kang Sirod

No comments:

Post a Comment