Kerja Kreatif, Siapa Bisa?
  
  "Siapakah yang perlu bekerja secara kreatif?" tanya saya kepada 
  sejumlah kawan. 
  
  "Pekerja di bidang periklanan dan kesenian tentunya," jawab Didi 
  yang pengusaha. 
  
  "Entreperneur justru yang harus kreatif karena mampu melihat peluang 
  dalam masalah-masalah yang muncul di masyarakat, dan kemudian mampu 
  menciptakan nekaragam produk dan jasa untuk mengatasi masalah dan 
  meraih keuntungan," ujar Elly yang dosen perguruan tinggi. 
  
  "Semua orang yang bekerja dilapangan," jawab Wawan yang tentara. 
  
  "Kerja keras pasti ada batasnya, tapi kerja kreatif justru menembus 
  batas-batas yang sudah ada. Jadi orang yang sudah bosan bekerja 
  keras, harus menjadi kreatif," urai Agung yang pegawai. 
  
  ***
  
  Di sekolah kehidupan kita semua adalah mahluk pekerja. Sebab dalam 
  artinya yang luas, makna kata "kerja" dan "pekerjaan" menunjuk ke 
  hampir semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia atau karya-karya 
  manusia itu (mesin/alat/teknologi). Aktivitas-aktivitas itu ada yang 
  bertujuan untuk memperoleh nafkah lahiriah, yang kita sebut upah, 
  gaji, komisi, atau uang. Ada juga aktivitas yang lebih ditujukan 
  untuk memperoleh nafkah mental, seperti berburu ilmu pengetahuan dan 
  keterampilan, baik lewat institusi formal (sekolah-akademi-
  universitas yang memberi gelar, bersifat akademis) atau informal 
  (lembaga nongelar, bersifat praktis), bahkan nonformal (pergaulan di 
  masyarakat). Tak sedikit pula aktivitas yang ditujukan untuk 
  mempererat tali silahturahmi, semacam nafkah sosial-emosional dalam 
  konteks kehidupan. Dan sebagian aktivitas lagi bertujuan untuk 
  memperoleh nafkah spiritual yang memberikan kecerahan hati, 
  kedamaian batin, dan ketentraman yang fundamental dalam menghadapi  
  badai-badai kehidupan. 
  
  Meski semua manusia adalah mahluk pekerja, namun para ahli perilaku 
  organisasi sering membeda-bedakan jenis pekerjaan—dalam arti karier 
  yang menafkahi kehidupan pekerjanya—menjadi lima kelompok besar. 
  Pertama, pekerjaan fungsional yang terfokus pada keahlian teknis di 
  bidang-bidang khusus. Inilah yang dilakukan oleh ahli mekanik, 
  desain grafis, pustakawan, teknisi, operator, dan sebagainya. Kedua, 
  pekerjaan manajerial yang terfokus pada proses analisis informasi 
  dan pengelolaan neka ragam sumberdaya, termasuk memimpin manusia. 
  Pekerja di bidang manajerial ini disebut manajer, pimpinan, atau 
  eksekutif. Ketiga, pekerjaan entrepreneur yang terfokus pada upaya 
  menghasilkan produk/jasa baru dan/atau membangun organisasi usaha 
  (perusahaan) yang bertujuan mencetak laba bagi pemiliknya. Kita 
  menyebut kaum pekerja jenis ini sebagai pedagang, wirausaha, 
  pengusaha, konglomerat, atau tikon, tergantung pada skala usahanya. 
  Keempat, pekerjaan negara yang terfokus pada tugas-tugas 
  administrasi birokrasi dan pertahanan keamanan seperti pegawai 
  negeri dan militer, dengan jenjang yang jelas dan relatif stabil 
  sehinga memberikan rasa aman tertentu. Dan kelima, pekerjaan mandiri 
  yang terfokus pada kebebasan berkarya sesuai dengan irama atau waktu 
  kerja masing-masing, seperti pada peneliti, seniman, penulis lepas, 
  konsultan, dan sebagainya. 
  
  Banyak orang berpendapat bahwa dari kelima jenis pekerjaan tersebut 
  di atas, pekerjaan sebagai entrepreneur adalah jenis yang paling 
  banyak menuntut kreativitas. Sebab entrepreneur diharapkan untuk 
  melakukan inovasi dengan menghasilkan hal-hal baru yang berguna bagi 
  masyarakat luas atau menemukan cara-cara baru yang memberikan nilai 
  tambah terhadap sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Lahirnya produk-
  produk legendaris seperti Aqua, Teh Sosro, Es Teller 77, Jamu Tolak 
  Angin, Dunia Fantasi, Kota Wisata, dan sebagainya, selalu digunakan  
  sebagai contoh kreativitas kaum entrepreneur di Indonesia. Dengan 
  kata lain, entrepreneur dianggap sebagai kaum "pekerja kreatif" di 
  masyarakat. 
  
  Pada sisi lain, sebagian orang melekatkan predikat "pekerja kreatif" 
  hanya terbatas pada praktisi industri periklanan. Terutama karena 
  secara eksplisit, dalam industri periklanan di kenal jabatan kunci 
  yang diberi label "Creative Director". Selanjutnya, ada pula yang 
  mengaitkan konsep "pekerja kreatif" ini hanya terbatas kepada para 
  seniman, pemain teater, sastrawan, dan praktisi industri hiburan, 
  yang umumnya bekerja di luar kantor-kantor tradisional. 
  
  Jadi, apakah kerja kreatif itu hanya terbatas milik entrepreneur, 
  praktisi periklanan dan industri hiburan? Apakah pekerja fungsional, 
  pekerja manajerial, dan pekerja negara tidak perlu kreatif, cukup 
  mengikuti sistem dan prosedur saja? 
  
  Terus terang, dari proses pembelajaran saya di sekolah kehidupan, 
  saya melihat tuntutan untuk menjadi pekerja kreatif, setidaknya di 
  milenium ketiga ini, berlaku hampir di semua jenis pekerjaan yang 
  disebutkan di atas. Era kerja keras semata sudah bukan jamannya 
  lagi, meski sulit bagi sebagian besar orang untuk tidak bekerja 
  keras. Di atas kebiasaan kerja keras, perlu ditambahkan kemampuan 
  untuk bekerja secara cerdas, yaitu kerja kreatif. 
  
  Dalam konsep kerja keras, indikator pertama yang biasanya 
  dipergunakan untuk mengukur seberapa "keras" seseorang telah bekerja 
  adalah lamanya waktu bekerja. Misalnya, jika sebagian orang bekerja 
  dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam, maka ia kita sebut bekerja 
  keras, sebab orang kebanyakan bekerja dari jam 8/9 pagi hingga jam 5 
  sore saja. Atau jika orang masuk kantor di hari Sabtu, ketika kawan-
  kawannya menikmati liburan akhir minggu, maka ia disebut sebagai 
  pekerja keras. Atau kalau ada orang yang bekerja sampai 50/60 jam 
  dalam seminggu, ia masuk kelompok pekerja keras karena umumnya waktu  
  kerja normal 40/44 jam seminggu. 
  
  Untuk mampu menjadi pekerja keras, sudah barang tentu dipersyaratkan 
  kondisi fisik yang prima. Orang-orang yang mudah jatuh sakit tidak 
  akan dikenal sebagai pekerja keras. Orang-orang yang tidak 
  menunjukkan disiplin dalam bekerja, juga umumnya tidak dimasukkan 
  dalam kategori pekerja keras. Jadi, kesehatan fisik dan disiplin 
  menjadi indikator kedua untuk dapat mengukur siapakah yang layak 
  disebut sebagai pekerja keras. 
  
  Pertanyaannya sekarang, jika pekerja keras dapat didefinisikan 
  dengan ukuran jumlah waktu kerja, kesehatan fisik, dan disiplin 
  kerja, bagaimanakah kita mengukur atau mendefinisikan "pekerja 
  kreatif" yang bekerja secara cerdas? 
  
  Ada orang yang menggunakan istilah "Lazy Achiever" untuk menunjuk 
  kepada kaum pekerja kreatif ini. Istilah ini sangat provokatif, 
  sebab bagaimana mungkin seorang pemalas bisa berprestasi? Namun 
  terlepas dari istilahnya itu, ia menawarkan konsep untuk bekerja 4-5 
  jam sehari dengan hasil-hasil yang sama atau bahkan lebih baik dari 
  orang-orang yang bekerja 9-10 jam sehari. Dengan kata lain, pekerja 
  kreatif adalah mereka yang bekerja dengan waktu yang lebih singkat 
  untuk memperoleh hasil yang sama atau lebih baik. Disamping itu, 
  konsep "Lazy Achiever" menunjuk kepada orang-orang yang bisa bekerja 
  secara mandiri atau berkolaborasi dan tidak terikat pada lokasi 
  kerja yang disebut kantor. Tempat kerja kaum kreatif ini bisa dimana 
  saja, mulai dari rumah, garasi, kafe, lobby hotel, kantin sekolah, 
  taman rekreasi, dan sebagainya. Dan mereka dimungkinkan untuk 
  bekerja dimana saja karena perlengkapan kerjanya mudah dibawa kemana-
  mana (mobile working tools). 
  
  Jadi, kerja kreatif diartikan sebagai bekerja dengan waktu lebih 
  pendek dan fleksibel, secara mandiri atau berkolaborasi, di lokasi 
  kerja yang juga fleksibel, dengan hasil-hasil yang berkualitas 
  tinggi. Untuk itu tidak saja diperlukan fisik yang sehat dan  
  disiplin, tetapi dipersyaratkan penggunaan potensi kecerdasan 
  lainnya yang telah dikembangkan secara memadai. 
  
  Dengan pemahaman seperti di atas, muncul pandangan bahwa kerja keras 
  adalah fondasi yang perlu, tetapi tidak akan membawa seseorang 
  kepada kehidupan yang berkualitas. Kerja keras merupakan persyaratan 
  yang diperlukan, tetapi tidak mencukupi (necessary but not 
  sufficient condition) untuk menikmati kehidupan yang berkualitas dan 
  penuh makna. Dan kerja keras hanya menarik jika kita masih dalam 
  rentang usia 20-40 tahun. Setelah lewat usia 40 tahun, kita 
  seharusnya telah mampu bekerja secara cerdas, menjadi pekerja 
  kreatif, yang memberi makna pada hidup yang fana. Demikiankah?[aha] 
  
  Tabik Mahardika!
  
  Sumber: Kerja Kreatif, Siapa Bisa? oleh Andrias Harefa, Penulis 28 Buku Laris.  
No comments:
Post a Comment