MENYOAL KEBERPIHAKAN MEDIA
Saya bukan seorang lulusan
komunikasi atau seorang jurnalis. Pada awal tulisan ini saya merasa perlu
menegaskan agar banyak masukan dan kritikan untuk memperbaiki tulisan ini dan
perspektif yang lebih kaya. Saya merasa banyak sekali mendapatkan informasi dan
pengetahuan baru akhir-akhir ini dengan membiarkan diri saya berfikir terbuka,
bijak dalam berfihak dan mencoba mengetengahkan ide seekstrim apapun. Ternyata,
dengan menggantungkan diri hanya kepada Tuhan, itu adalah satu-satunya
kemerdekaan yang hakiki menurut saya. Tidak bergantung pada apapun, sesulit
apapun kenyataan hidup yang kita hadapi.
Media akhir-akhir ini tampak
berfihak sesuai dengan era korporasi media yang dimulai oleh Prof. BJ. Habibie melalui
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Habibie, melakukan kebijakan dengan pencabutan
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sehingga mempermudah lahirnya media
massa baru. Semangat ini mempertegas tuntutan reformasi dalam memperbaiki
demokratisasi di negeri ini selepas era represif orde baru berakhir tahun 1998.
Keuntungan bangsa ini begitu banyak selepas beliau melakukan langkah besar
tersebut. Media baru tanpa izin kementrian penerangan terus bermunculan.
Media-media tumbuh bak kecambah seiring tingginya arus modal masuk dan
perubahan cara menikmati media massa dan pola-pola komunikasi digital.
Jika dulu kita terbiasa membaca
koran dan majalah di atas kertas, maka akhir-akhir ini rasa-rasanya media
tersebut dapat digantikan dengan mudah kita akses melalui perangkat elektronik
dengan beragam fiturnya yang memanjakan. Kita sendiri yang menentukan bagaimana
berita akan kita dapatkan, kita sendiri pula yang mengelola itu semua sesuai
kebutuhan tentunya. Celakanya, tidak semua pengguna media elektronik mampu
mengolah itu sesuai dengan kebutuhan. Sebagai pengguna, banyak orang
kebingungan bagaimana mengelola gadget
agar tidak mengganggu produktivitas dirinya. Terlebih lagi, beberapa orang
kurang dapat cover both side dalam membandingkan
satu media dengan media lainnya dikarenakan sudah mendikotomikan kelompok
media, menjadi pro ini atau pro itu. Sebenarnya hal ini “wajar” dan alamiah,
karena watak media yang hidup berdasarkan rating iklan dan jumlah readership akan dengan sendirinya
beradaptasi dengan itu semua. Jika ada banyak berita yang diakses oleh banyak
pula pembaca maka hitung-hitungan bisnis media tersebut bisalah kita sebut
bagus dan kredibel (menurut ukuran bisnis media). Jadi, mau tidak mau mengukur besar tidaknya media
sekarang bukan hanya pada kebenaran dari isi berita yang dikabarkan, tetapi seberapa
banyak pula media tersebut diakses oleh publik.
Ukuran semakin banyak orang yang
percaya maka sebanyak itulah satu berita dianggap benar, nampaknya menjadi satu
kenyataan dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Siapa yang berbeda dan genuine dengan gayanya akan menjadi
“santapan” pemberitaan, betapa pun tidak pentingnya atau tidak mendidiknya
sosok tersebut. Siapapun atau apapun yang tampak kontroversial, berbeda dari
kebanyakan orang, akan menjadi kata kunci dari mesin pencari. Menjadi berbeda
adalah satu tuntutan di kala ratusan juta mata membutuhkan informasi yang
berbeda di tengah kejenuhan informasi yang sama atau serupa. Kreatifitas pelaku
berita dan berita itu sendiri menjadi tuntutan masyarakat. Etno-branding, sebutannya adalah sebuah pendekatan marketing yang
semakin dibutuhkan.
ANTARA MELAWAN ARUS ATAU BERMAIN-MAIN DENGAN ARUS
Arus informasi yang sedemikian
banyaknya, berlalu-lalang dalam gadget para pembaca berita. Mulai dari berita
ekonomi sampai politik, dari isu perselingkuhan sampai kasus gugat cerai
selebritis, bahkan perang minyak di timur tengah mendominasi konsumsi anak
negeri. Satu sisi kita bisa memilah informasi yang masuk, di sisi lain berita
tersebut masuk lewat orang-orang yang kita kenal dalam media sosial semacam
facebook, twitter, whatsapp, lines bahkan mailing list yang tampak kuno sekarang.
Justifikasi para pembaca dan
pemirsa seringkali menyeret kelompok masyarakat lain untuk ikut-ikutan percaya
pada ide dan pemahaman kebanyakan orang. Hal ini terkadang dianggap sebagai
kebenaran kolektif yang dianggap permanen oleh pers kita. Industri media yang
sebenarnya tidak pernah netral itu ikut membentuk pola pikir masyarakat kita.
Struktur organisasi wartawan yang tak ubahnya hierarki korporasi biasa kemudian
menentukan persepsi publik. Siapa yang menguasai persepsi, dia lah penguasa
sekarang, dan pertarungan politik dan ekonomi pun tergantung kemenangan dari
persepsi publik. Sebuah peperangan soft-power di era informasi web 2.0
sekarang.
Kita boleh saja menentang arus
informasi dengan mencoba menayangkan berita dan informasi alternatif untuk satu
keadaan. Tapi seperti kata filsuf jerman terkenal Frederic Nietszhe : “Sometimes people don’t want to hear the
truth because they don’t want their illusions destroyed”. Kita sendiri
sebenarnya secara tak sadar memaksa fikiran terbuka kita untuk mengkondisikan
opini dan kesadaran kita untuk mempercayai apa-apa yang kita yakini sebelumnya.
Judgment ini akan terus dipelihara
sepanjang kita sendiri membiarkan pemikiran kita menolak hal-hal yang tidak
kita sukai.
SOAL SALAH BENAR
Lalu di mana letak kebenaran?
Kita seringkali tertukar mana informasi yang benar karena terkonfirmasi atau
mana informasi yang merupakan “permainan data atau statistik” atau pemilahan
informasi atau barangkali sebuah framing
dalam pemberitaan. Saking banyaknya informasi yang beredar, kita bahkan
seringkali percaya saja informasi yang disebar oleh kelompok kita sendiri.
Sedikit sekali saya temukan orang-orang yang mau mencoba meresapi informasi
atau kabar berita yang dia tidak suka. Justifikasi fikiran pembaca biasanya
mendahului akal sehat. Bahkan berkali-kali dalam diskusi di media sosial,
sering saya temukan sikap pembaca yang defensif dikarenakan “cinta buta” pada
seorang tokoh, sebagaimana ia mencintai seorang artis karena ketampanan atau
mahirnya artis tersebut membawakan sebuah lagu. Tokoh berita yang kebetulan
misalnya seorang pemimpin politik, dipuja-puja habis-habisan layaknya nabi baru
yang tanpa cela dan noda. Begitu ada informasi yang mengkritisi kebijakan dalam
perspektif berbeda, seakan-akan dianggap menyerang dan menghambat. Kata-kata
dari kasar sampai halus seperti “biarkan beliau bekerja”, “jangan diganggu”
mengalir lancar seolah-olah kata-kata bijak bestari dari orang-orang yang netral.
Padahal sejatinya sifat defensif yang berlebihan dari orang-orang lemah anti
kritik yang dulu tumbuh subur di masa-masa orde lama dan orde baru.
Jika dulu media hanya satu arah
dan pemerintah dengan cara represif memaksa arus informasi kepada masyarakat dengan
kekuatan efektif departemen penerangan. Maka sekarang, dengan kekuatan jejaring
kapitalisme pers, tangan-tangan kekuasaan memainkan peranan “pemaksaan”
persepsi publik dengan serangkaian teknik manipulasi media. Contoh-contoh
manipulasi media menurut sumber di wikipedia.org adalah: Kambing hitam – teknik
ini caranya mengarahkan mata dan perhatian publik pada kesalahan satu orang,
sehingga melupakan kesalahan sistem secara keseluruhan; Fenomena – yaitu
memunculkan tokoh atau kejadian yang fenomenal yang menyentuh khalayak ramai
yang tujuannya menaikkan pamor satu peristiwa atau orang dan menutupi informasi
lengkap dan fakta; Semantics – memunculkan istilah bahasa yang kesannya akan
mendapatkan reaksi publik yang dikehendaki. Misalnya “kenaikan harga” disebut
“penyesuaian harga”. Sejumlah aktivis diamankan ditulis menjadi “penculikan
aktivis”. Atau misalnya “menaikkan harga bahan bakar minyak (bbm) dengan menyebut istilah “tidak mencabut
subsidi bbm”; Pemulihan / Regression – misalnya mengubah persepsi publik
terhadap seseorang yang dianggap tidak relijius dengan menampilkan orang
tersebut saat sedang beribadah; Penyesatan informasi (misleading) – misalnya menulis kisah sulit semasa kecil seorang
pengusaha di media-media bisnis, untuk mendapatkan kesan bahwa si pengusaha
tersebut sukses dan pekerja keras. Padahal, pengusaha tersebut memang keturunan
pengusaha yang memang sudah kaya sebelumnya; ketakutan / horror – menyebarkan
informasi bahwa seseorang adalah biang kekacauan dan pelanggar HAM, sehingga didapat
kesan publik bahwa orang tersebut sangat tidak layak mendapatkan jabatan publik
apapun.
Wartawan senior Kompas, Budiarto Shambazy
mengatakan dalam satu wawancara di MetroTV bahwa media amerika sekelas
Washington Post atau Times dianggap itu menyatakan tidak netral, tapi
independen. Istilah yang menurut saya terlalu memaksakan diri. Netral adalah
benar-benar tidak berpihak, sementara independen adalah memutuskan dirinya
bebas berpihak pada siapapun. Satu eufimisme
terhadap kalangan sendiri. Entah darimana wartawan senior yang sering
memuji-muji presiden Megawati saat berkuasa dulu ini mendapatkan definisi
istilah yang agak aneh tersebut. Kita mengatakan independensi artinya kekuatan
untuk tidak memihak atau berat sebelah, beliau malah menukar arti tersebut.
Anggapan masyarakat terhadap
korporasi media yang berpihak disangkutkan dengan ideologi satu kelompok pers
agaknya perlu disuarakan terus pada setiap orang. Dengan era keterbukaan
sekarang, kita rasa-rasanya perlu memberi label kelompok NASIONALIS, SEKULER,
RELIGIUS berikut sumber-sumber dana pada masing-masing kelompok media yang ada
di negeri ini. Perlu adanya sekelompok orang yang berbasis komunitas untuk
menyoroti semua media-media yang ada dan mulai meraksasa di negeri ini. Bukan
untuk memusuhi dan menghalangi langkah-langkah bisnis mereka, tetapi melindungi
kepentingan negeri ini dari mogul-mogul baru yang akan bermunculan mencaplok
apa saja yang dianggap harus mereka kuasai. Bisnis apapun jika sudah meraksasa
tidak boleh menguasai pemikiran setiap orang. Bisnis hendaknya tetap dalam
suasana yang egaliter dan kesetaraan antara penjual dan pembeli. Dalam dunia
bisnis media, semakin tinggi kebebasan kita memilih, semakin mahal dan bermutu
yang kita dapat. Layaknya media TV nasional melawan TV berbayar, semakin banyak
pilihan maka semakin tinggi biaya yang kita harus keluarkan. Dalam bisnis media
hiburan juga berlaku, semakin tinggi rating, maka semakin baik acara tersebut
dari sisi pendapatan. Persetan dengan edukasi dan pengetahuan yang mencerahkan,
yang penting disukai oleh sebanyak mungkin orang. Maka pada ujungnya, karakter
rakyat yang dijejali dengan informasi-informasi inilah yang menentukan kualitas
pemerintahan dan negara yang kita tinggali ini. Bukan kualitas dari buah fikir
orang-orang yang berdedikasi tinggi, tapi buah persepsi kebanyakan orang.
Kebenaran yang dimasksud adalah benar karena umumnya orang menganggap benar.
ANTARA SEKULER – LIBERAL DAN KONSERVATIF
Sumber: informationisbeautiful.net
Gambar di atas menjelaskan
keadaan masyarakat di barat (Amerika dan Eropa) terhadap kecenderungan
keberpihakan dalam isu-isu politik. Artinya, umumnya manusia jika dikaitkan
dengan latar belakang, pola hidup dan pandangan hidupnya, akan mempercayai
nilai-nilai dan keyakinan yang cenderung ke kiri atau ke kanan. Yang berada di
tengah-tengah disebut sebagai kaum moderat, yang bisa saja belum menentukan
pilihan, belum bersikap atau bahkan mereka adalah oportunis yang memanfaatkan
konflik di antara dua kelompok yang berbeda tadi. Apakah sikap oportunis itu
salah? Dalam dunia demokrasi, jawabannya sangat tergantung dari persepsi publik
lagi.
Legalisasi pernikahan sejenis,
aborsi dan keberpihakan pada kaum pendatang adalah isu-isu yang diangkat oleh
partai Demokrat di Amerika Serikat. Partai ini sering mengusung ide-ide dari
kaum sekuler liberal. Hampir semua presiden dari katolik (minoritas) di AS berasal dari partai ini. Kristen protestan yang
banyak dianut oleh warga AS (sensus tahun 2007 sekitar 51%) biasanya pendukung
republik. Sebagai anak muda yang sedikit terlibat di era Mei 98, saya mengamati
bahwa perubahan pola kepartaian di negeri ini mirip yang terjadi di negeri
Paman Sam tersebut, kemudian ini menjadi hal yang mudah jika kita mencoba
memahami persepsi publik dikaitkan dengan pola kiri-kanan dalam ideologi
politik. Pengelompokan masyarakat kepada bagan atau gambar di atas tadi akan
mempermudah kita menebak dan memprediksi sikap seseorang terhadap isu-isu
lainnya.
Penghilangan kolom agama dalam
KTP, pengurangan jumlah pegawai negeri dan
citra pemimpin yang dekat dengan rakyat adalah topik-topik yang diusung
kelompok sekuler liberal di Indonesia. Menyakitkan memang, ketika kelompok
agama dan religius sedikit alfa terhadap isu ini. Kelompok agamawan sepertinya
lupa hidup sederhana, memposisikan dirinya suci lalu bersosialita dalam
kemewahan bak pengusaha atau elit masyarakat. Masyarakat rindu hal-hal
substantif di negeri ini, masyarakat tahu bahwa kaum yang beragama dan
ber-Tuhan pada hakekatnya adalah mereka yang menguasai kesejatian hidup dan
kesederhanaan. Masyarakat pun mulai menyadari bahwa menjadi pegawai negeri
sipil dengan sogokan uang, kemudian kaya raya dari “ucapan terima kasih” para
rekanan proyek menjadi musuh bersama kalangan rakyat yang sulit dan
terpinggirkan dalam piramida demokrasi kita. Kesulitan hidup yang terus
menerus, kemiskinan, ketertinggalan dari kelompok lain dan kecemburuan agaknya
menjadikan masyarakat kita menjadi mudah dipermainkan harapannya. Keadaan ini
kemudian direspon oleh media dengan menampilkan tokoh-tokoh alternatif yang
sama sekali berbeda dengan tokoh-tokoh agama tersebut. Tokoh-tokoh tanpa cela
dan noda tersebut lahir dengan serentetan bukti-bukti mahakarya ajaib plus citra
merakyatnya. Bila perlu mengumbar sisi relijius-nya, misalnya pemberitaan
massif dan terstruktur saat si idola memimpin shalat berjamaah. Sampai-sampai,
beberapa media lupa menuliskan betapa indahnya bacaan si Imam tersebut padahal
dilakukan pada shalat dzuhur yang siapapun akan men-shir-kan (memelankan)
bacaannya. Bahkan sisi relijius di mata media korporat adalah sesuatu yang
tidak tabu diumbar, demi kepentingan politik jangka pendek.
MEDIA ALTERNATIF
Saya dan banyak orang masih
percaya bahwa demokrasi adalah salah satu jalan untuk mencapai peradaban
manusia yang lebih baik. Demokrasi yang dibentuk sesuai nilai-nilai pancasila
dipandang sebagai cara paling cocok dikelola di negeri ini oleh para founding fathers kita. Demokrasi
Pancasila menghendaki sopan santun dalam mengungkap fakta dan data untuk
disalurkan ke masyarakat. Yang menjadi persoalan adalah persepsi tentang
demokrasi pancasila itu tidak sama dan bahkan tidak seragam antara satu orang
dan lainnya. Pancasila sebagai jalan tengah dari beragam ideologi kebangsaan
yang membentuk negeri ini, seringkali ditarik ke kiri dan ke kanan sesuai
dengan ideologi masing-masing kelompoknya, apalagi kalau bukan dengan tujuan
mencapai kekuasaan dan isme-nya yang memimpin negeri ini. Semakin banyak orang
“tercerahkan” maka semakin baik untuk ideologi kelompok tersebut eksis.
sumber: thesleuthjournal.com
Maka tidak heranlah sekarang ini
bermunculan media-media alternatif yang menawarkan “rasa baru” pemberitaan.
Media-media ini seperti tak mau kalah menyemarakkan hiruk pikuk negeri muslim
demokrasi terbesar di dunia ini. Bisnis dotcom yang lesu darah di penghujung
tahun 2000, kini mulai menggeliat lagi karena akses internet lebih cepat karena
perkembangan industri telepon selular yang didukung oleh perkembangan cepat
industri social media dan sistem
operasi pendukungnya. Tak ayal, kini bermunculan istilah “generasi menunduk” ,
sebutan kalangan anak muda yang tak lepas dari perangkat elektronik yang
menghubungkan mereka satu sama lainnya. Perubahan teknologi perangkat ini pun
mengubah industri pendukungnya dan seakan-akan selalu ada saja penemuan dan
kreasi baru industri ini untuk memanjakan para penggunanya.
Jika demikian adanya, maka semua
elemen masyarakat baik Academics Business
Government atau Community sudah
sepatutnya menjadi alat kontrol dari era korporasi media seperti sekarang. Era
demokrasi telah melahirkan konglomerat-konglomerat yang menguasai arus
informasi, tak ada jalan lain, kita harus membangun kesadaran masyarakat untuk
tetap kritis, independen dan melek informasi.
Sirod M. Rasoma
Penggiat sosial media