22 July 2011

Bagaimana mendapatkan Pria Kaya dengan penghasilan lebih dari US$ 500.000,- per tahun

Seorang gadis mengirim surat ke sebuah majalah terkenal. Gadis tersebut
sangat cantik dan sangat populer di lingkungan sekitarnya. Karena dianggap
unik, majalah terkenal tersebut lalu memuat tulisan itu dengan judul "Apa
yang harus saya lakukan untuk mendapatkan pria kaya?". Demikian isi surat
gadis cantik tersebut:

Maaf jika sedikit menyindir, tetapi saya hanya mencoba jujur dengan apa yang
saya pikirkan selama ini. Saya berumur 25 tahun, sangat cantik, dan punya
selera fashion yang sangat bagus. Saya ingin menikah dengan seorang pria
yang berpenghasilan minimal 500 ribu dollar per tahun.

Anda mungkin berpikir saya matre, tetapi persyaratan yang saya ajukan
tersebut sebenarnya sangat wajar. Tahukah Anda jika penghasilan 1 juta
dollar per tahun hanya dianggap sebagai kelas menengah di New York? Saya
hanya mengajukan syarat separuhnya sehingga saya kira cukup masuk akal.

Adakah diantara pembaca majalah ini yang punya penghasilan minimum 500 ribu
dollar per tahun? Apa kalian mau menikah denganku? Yang ingin saya tanyakan
ialah apa yang harus saya lakukan untuk menikahi orang kaya seperti Anda?

Pria terkaya yang pernah kencan dengan saya hanya berpenghasilan 250 ribu
dollar per tahun. Saya yakin Anda tahu, penghasilan segitu tidaklah cukup
untuk hidup di pemukiman elit City Garden, NewYork.

Dengan kerendahan hati, saya ingin menanyakan di mana saya bisa bertemu pria
lajang kaya? Pria umur berapa yang harus saya cari? Kenapa kebanyakan istri
orang-orang kaya hanya berpenampilan 'standar'? Saya pernah bertemu dengan
beberapa wanita yang memiliki penampilan 'tidak menarik', tetapi mereka
justru mendapatkan pria kaya.

Bagaimana cara Anda, para pria kaya, mengambil keputusan siapa yang kelak
menjadi istri dan siapa yang hanya pantas menjadi pacar?

(Si Cantik)

Tidak disangka, tulisan yang berisi banyak tantangan tersebut ditanggapi
oleh banyak pria kaya dengan serius. Di bawah ini adalah balasan dari
seorang pria kaya yang bekerja di Finansial Wall Street:

Saya sangat bersemangat saat membaca surat Anda. Saya rasa banyak gadis di
luar sana yang punya pertanyaan sama dengan Anda. Ijinkan saya untuk
menganalisa situasi yang Anda alami, tentunya dari sudut pandang seorang
profesional. Penghasilan saya per tahun lebih dari 500 ribu dollar, sesuai
dengan syaratmu, jadi saya tidak main-main dengan balasan saya ini.

Menurut saya, jika dipandang dari sisi bisnis, menikahi Anda adalah sebuah
keputusan yang salah. Jawabannya mudah, Saya akan coba menjelaskannya.

Saya menarik kesimpulan bahwa Anda telah menempatkan "kecantikan" dan "uang"
adalah dua hal yang sederajat, di mana Anda mencoba menukar kecantikan
dengan uang. Pihak A menyediakan kecantikan dan Pihak B membayar untuk itu,
hal yang masuk akal. Tetapi, ada masalah besar di sini, yaitu kelak
kecantikan Anda akan hilang. Faktanya, penghasilan saya mungkin akan
meningkat dari tahun ke tahun, tetapi Anda tidak akan bertambah cantik tahun
demi tahun. Dan sebagai seorang pebisnis saya tidak akan merelakan uang saya
hilang tanpa alasan yang jelas.

Jika dipandang dari sudut ekonomi, saya adalah aset positif yang selalu
meningkat dan Anda adalah aset negatif yang selalu menyusut atau liabilitas.
Bahkan, saya bisa berkata bahwa penyusutan aset yang Anda miliki bukan hanya
penyusutan normal, tetapi penyusutan eksponensial. Jika Anda menganggap
kecantikan sebagai aset, tentunya nilai Anda akan sangat mengkhawatirkan 10
tahun mendatang.

Setiap aset selalu memiliki nilai tukar. Kecantikan Anda juga memiliki nilai
tukar. Berdasarkan aturan yang kita gunakan di Wall Street, jika nilai tukar
sebuah aset selalu turun maka aset tersebut harus segera dilepaskan.
Menyimpan aset menurun dalam jangka waktu lama adalah ide yang sangat buruk.
Maaf jika terdengar kasar, tetapi semua pria kaya tahu bahwa setiap aset
dengan nilai depresiasi besar harus segera dijual atau setidaknya
"disewakan".

Anda seharusnya tahu bahwa pria dengan penghasilan lebih dari 500 ribu
dollar per tahun pasti bukanlah pria bodoh. Kami mungkin mau berkencan
dengan Anda, tetapi tidak untuk menikahi Anda. Saya menyarankan agar Anda
melupakan saja ide untuk mencari cara menikahi pria kaya. Lebih baik Anda
menjadikan diri Anda orang kaya dengan pendapatan lebih dari 500 ribu dollar
per tahun. Hal ini lebih bagus daripada mencari pria kaya bodoh yang mau
menikahi Anda.

Mudah2an balasan ini dapat membantu. Jika Anda tertarik dengan servis "sewa
pinjam", silahkan hubungi saya.

(J.P. Morgan)** via Akbar, Fateta43

--
"Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Ikhlas, Kerja Tuntas" ~ Unknown

21 July 2011

Tidak Apa-apa, Kan Masih Ada Hari Esok...

Sebagai permintaan maaf kepada sahabat yang lama tidak pernah gue sapa, seorang sahabat yang lama sekali tidak gue dengar suara dan kabarnya, sahabat yang dimasa lalu yang mungkin gw pernah berbuat salah, maka gue kirim tulisan ini : "Tidak apa-apa, kan masih ada hari esok"

Pada suatu tempat, hiduplah seorang anak. Dia hidup dalam keluarga yang bahagia, dengan orang tua dan sanak keluarganya. Tetapi, dia selalu mengangap itu sesuatu yang wajar saja. Dia terus bermain, menggangu adik dan kakaknya, membuat masalah bagi orang lain adalah kesukaannya. Ketika ia menyadari kesalahannya dan mau minta maaf, dia selalu berkata, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."

Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Tetapi, dia anggap itu wajar-wajar aja. Semua begitu saja dijalaninya sehingga dia anggap semua sudah sewajarnya. Suatu hari, dia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak pernah mengambil inisiatif untuk minta Maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."

Ketika dia agak besar, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu, tapi mereka tidak pernah saling tegur. Tapi itu bukanlah masalah, karena dia masih punya banyak teman baik yang lain. Dia dan teman-temannya melakukan segala sesuatu bersama-sama, main, kerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-temannya yang paling baik.

Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia ketemu seorang cewek yang sangat cantik dan baik. Cewek ini kemudian menjadi pacarnya. Dia begitu sibuk dengan kerjanya, karena dia ingin dipromosikan ke posisi Paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Tentu, dia rindu untuk bertemu teman-temannya. Tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka, bahkan lewat telepon. Dia selalu berkata, "Ah, aku capek, besok saja aku hubungin mereka." Ini tidak terlalu mengganggu dia karena dia punya teman-teman sekerja selalu mau diajak keluar.

Jadi, waktu pun berlalu, dia lupa sama sekali untuk menelepon teman-temannya. Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras agar dalam membahagiakan keluarganya. Dia tidak pernah lagi membeli bunga untuk istrinya, atau pun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari pernikahan mereka. Itu tidak masalah baginya, karena istrinya selalu mengerti dia, dan tidak pernah menyalahkannya.

Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan untuk mengatakan pada istrinya "Aku cinta kamu", tapi dia tidak pernah melakukannya. Alasannya, "Tidak apa-apa, saya pasti besok akan mengatakannya." Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, tapi dia tidak tahu ini akan perpengaruh pada anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya, dan tidak pernah benar-benar menghabiskan Waktu mereka dengan ayahnya.

Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan, istrinya ditabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, dia sedang ada rapat. Dia tidak sadar bahwa itu kecelakaan yang fatal, dia baru datang saat istrinya akan dijemput maut. Sebelum sempat berkata "Aku cinta kamu", istrinya telah meninggal dunia. Laki-laki itu remuk hatinya Dan mencoba menghibur diri melalui anak-anaknya setelah kematian istrinya.

Tapi, dia baru sadar bahwa anak-anaknya tidak pernah mau berkomunikasi dengannya. Segera, anak-anaknya dewasa dan membangun keluarganya masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orang tua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktunya untuk mereka.

Saat mulai renta, Dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Dia menggunakan uang yang semula disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60, dan 70.

Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi ke Hawaii, New Zealand, dan negara-negara lain bersama istrinya, tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut. Sejak itu sampai dia meninggal, hanya ada orang-orang tua dan suster yang merawatnya. Dia kini merasa Sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Saat dia mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, "Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu…." Kemudian perlahan ia menghembuskan napas terakhir, Dia meninggal dunia dengan airmata dipipinya.

Apa yang saya ingin coba katakan pada anda, waktu itu nggak pernah berhenti. Anda terus maju dan maju, sebelum benar-benar menyadari, anda ternyata telah maju terlalu jauh. Jika kamu pernah bertengkar, segera berbaikanlah!

Jika kamu merasa ingin mendengar suara teman kamu, jangan ragu-ragu untuk meneleponnya segera. Terakhir, tapi ini yang paling penting, jika kamu merasa kamu ingin bilang sama seseorang bahwa kamu sayang dia, jangan tunggu sampai terlambat. Jika kamu terus pikir bahwa kamu lain hari baru akan memberitahu dia, hari ini tidak pernah akan datang.

Jika kamu selalu pikir bahwa besok akan datang, maka "besok" akan pergi begitu cepatnya hingga kamu baru sadar bahwa waktu telah meninggalkanmu. Jangan tunda Atau…. masih Ada hari esok…….

Sumber: Unknown

13 July 2011

Rhenald Kasali: Sekolah Untuk Apa?

Sekolah Untuk Apa?
Oleh: Rhenald Kasali

Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak kita mencari sekolah. Masuk universitas pilihan, susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk, ternyata banyak yang "salah kamar". Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah.

Demikianlah, diterima di PTN masalah, tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja. Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S2. Jadi birokrat atau jendral pun, sekarang banyak yang ingin punya gelar S3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA tiga puluh tahun yang lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini. Bahkan sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya.

Mengapa hanya soal memindahkan anak karena pindah rumah ke sekolah negeri lain saja biayanya begitu besar? Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong. Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun. Lengkap sudah masalah kita.

Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat sulit? Lantas apa yang harus dilakukan orang tua? Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serba sulit ini?

Kesadaran Membangun SDM

Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, PM Malaysia Mahathir Mohammad sadar betul pentingnya pembangunan SDM. Ia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S2 dan S3 ke berbagai negara maju. hal serupa juga dilakukan China. Tidak sampai sepuluh tahun, lulusan terbaik itu sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya anda bisa lihat sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan birokrasinya.

Perubahan bukan hanya sampai di situ. Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan. Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya. Tak mengherankan kalau sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia pun mulai berubah.

Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa. "Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima," ujar seorang dekan di Erasmus. Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik. Seleksinya sangat ketat.

Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini? "Mudah saja," ujar dekan itu. "Kita potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita baru bicara kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,"ujarnya.

Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di New Zealand. Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi. Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah.

Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di New Zealand. Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam sepuluh besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewancarai lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan. Di luar dugaan saya, pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah.

Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya mereka) dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif namun tak menguasai semua subjek. Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengkopi isi buku dan cacatan. Entah dimana keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.

Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negri, mungkin guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf, ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri. Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian? "undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar," ujar seorang guru di New Zealand.

Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan inputnya? "itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya," ujar putera sulung saya yang kuliah di Auckland University tahun ketiga. Maksudnya, test masuk tetap ada, tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi.

Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory) yaitu matematika dan bahasa Inggris. Pada dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan. Sekolah dilarang hanya menerima anak-anak bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak, khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya super dikedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur. Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan secara kognitif semata.

Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masing-masing. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi dokter maka biologi dan ilmu kimia wajib dikuasai. Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting, statistik dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super. Seorang lulusan SLTA, tahun pertama harus menguasai 4 bidang science (biologi, ilmu kimia, fisika dan Matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga dan komputer. Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan, stressful, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Sama seperti kurikulum program S1 dua puluh tahun yang lalu yang sejajar dengan program S1 yang digabung hingga S3 di Amerika. Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, makanya hampir tak ada yang lulus. Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun.

Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian tapi tak ada masalah kok! Di mana masalahnya? Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah. Teknologi telah merubah banyak hal, anak-anak kita dikepung informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, namun datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, tapi dari segala resources. Ilmu belajar menjari lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri, karena itu diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, Lifelong learning.

Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah. Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan, "Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak sepuluh tahun yang lalu. Makanya sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah, metode diperbaharui, fasilitas baru dibangun," ujar seorang guru.

Masih banyak yang ingin saya diskusikan, namun sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah, dan untuk apa kita bersekolah? Mudah-mudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depannya yang lebih baik.

Rhenald Kasali
Ketua Program MMUI

--
"Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Ikhlas, Kerja Tuntas" ~ Unknown

05 July 2011

Selalu Kritiklah Diri Sendiri


Sukses Michael Dell membesarkan perusahaan dari nol sudah jadi pengetahuan umum. Tetapi, apa kiat jebolan University of Texas ini memacu Dell Computer yang telah meraksasa selama dua dasawarsa lebih untuk terus tumbuh cepat.

Pada musim gugur 2001, Michael Dell mengadakan pertemuan empat mata dengan Kevin B. Rollins, President dan CEO Dell Inc. Kedua eksekutif puncak ini yakin bahwa kinerja perusahaan tak bakal terguncang oleh resesi yang menumbangkan banyak kampiun industri teknologi. Tetapi, mereka mafhum, ada sesuatu yang salah dan itu justru menyangkut diri mereka sebagai bos tertinggi.

Bagaimana tidak. Hasil survei pada musim panas sebelumnya, sesaat setelah pemangkasan pegawai yang PHK pertama dalam sejarah perusahaan, menunjukkan bahwa separuh SDM yang ada akan hengkang begitu dapat kesempatan. Wawancara internal yang dilakukan mendapati bahwa para bawahan di Dell memandang Michael sang pendiri sebagai orang yang impersonal, tak punya kedekatan emosional. Sementara itu, Rollins dinilai kelewat otokratik dan antagonistik. Pendek kata, cuma sedikit yang merasa punya loyalitas kuat kepada pemimpin perusahaan tersebut.

Di perusahaan besar lain, para bos besar mungkin cuma angkat bahu lalu cuek. Tetapi, di Dell tidak begitu. Dan inilah yang mengibarkan Dell Inc.

Tak mau orang terbaiknya melakukan eksodus, dalam bilangan minggu Dell mengumpulkan 20 manajer puncak. Di depan mereka, dengan arif bos berusia 39 tahun ini menyampaikan kritik terhadap dirinya sendiri. Dell mengaku terus terang bahwa ia itu sangat pemalu sehingga kadang terkesan sombong dan tak bisa didekati. Ia berjanji akan berupaya membangun hubungan yang lebih erat dengan tim manajemen.

Beberapa orang yang berada di ruang rapat itu terkejut. Memang, mereka tahu dari hasil tes kepribadian terhadap beberapa eksekutif kunci bahwa Dell sosok yang introvert. Yang menjadi kejutan adalah Dell yang juga sebagai pemilik saham mayoritas dan punya kekuasaan besar itu tak segan mengakui keadaannya.

Hebatnya lagi, Dell tak berhenti dengan pengakuan di ruang tertutup itu. Dalam bilangan hari, video tape berisi pengakuan tadi diedarkan setiap manajer di seluruh bagian perusahaan yang jumlahnya mencapai ribuan. Lalu Dell dan Rollins menaruh semacam penanda di meja kerjanya untuk membantu mengingatkan mereka agar melakukan sesuatu yang tak biasa dilakukan secara alami.

Di meja Dell, misalnya, ditaruh buldoser kecil dari plastik buat mengingatkan agar ia tak meluncurkan ide tanpa melibatkan orang lain. Rollins meletakkan boneka Curious George agar ia tak lupa mendengar dulu pendapat timnya sebelum menetapkan sesuatu.

Buat orang lain, cara Dell menangani semangat anak buahnya yang merosot itu mungkin cuma semacam manajemen untuk membuat semua merasa bahagia. Tetapi, bagi orang dalam, itu adalah puncak dari rangkaian panjang upaya keras yang membawa Dell Inc. dari perusahaan tanpa nama menjadi pemilik merek yang perkasa.

Memang, Dell jago dalam penjualan langsung. Telah mempraktikkan sistem yang tak memerlukan pedagang perantara sejak masih di asrama University of Texas pada usia 19. Tak ada pula yang bisa membantah Dell muda mampu mengembangkan model bisnisnya menjadi mesin bisnis superefisien.

Kendati demikian, pasti ada rahasia selain yang bersifat teknis yang membuat Dell demikian sukses. Dalam dirinya yang pemalu itu, Dell punya kredo yang ia pegang teguh: Status quo is never good enough, bahkan kalau itu berarti perubahan yang menyakitkan buat dirinya sendiri, yang namanya terabadikan dalam nama perusahaan. Di Dell Inc., sukses hanya mendapatkan pujian lima detik dan disusul otopsi selama lima jam untuk mencari apa yang harusnya bisa dilakukan buat memberikan hasil yang lebih bagus.

Ujar Dell selalu, "Celebrate for nanoseconds. Then move on." Dalam kenyataan sehari-hari, kebiasaan seperti ini ditanamkan betul. Ambil contoh ketika membuka pabrik pertama Dell di Asia. (*/ dari situs ciputraway)