28 November 2006

"Being Recognized": Tidak Cukup Hanya Kerja Baik

Tidak sedikit saya bertemu karyawan yang curhat mengatakan bahwa
tidak ada bedanya jadi pekerja `biasa-biasa' saja dengan pekerja
yang banting tulang dan `luar biasa'.

"Tetap saja saya harus melalui jalur standar. Menunggu kenaikan
pangkat dan gaji massal. Lama kelamaan saya berkesimpulan orang yang
menonjol atau tidak, tidak terlihat di perusahaan"

Barangkali ini seperti cerita klise. Anda sudah melakukan
outstanding job, namun tetap tidak ada yang peduli? Jangankan
mendapat reward, justru orang lain yang diprornosikan. Jengkel tentu
saja. Mau protes? Nanti dulu. Coba pikir lagi, kapan Anda pernah
berupaya secara khusus agar atasan melirik prestasi Anda? Sudahkah
Anda `menjual' diri agar orang tahu kemampuan Anda? Jangan-jangan
selama ini hanya duduk manis di balik meja, merespons semua
instruksi, bekerja cepat, atau menyelesaikan setiap masalah dan
keluhan. Anda tidak pernah tahu kapan orang-orang menyadari
kesuksesan Anda selama ini.

Sadari beberapa poin krusial ini, jika Anda benar-benar
ingin `dilirik' dan diakui keberadaan dan kontribusinya dalam
organisasi.

1. Ingat: Kerja Keras Itu "Biasa"

Sudah sewajarnya seorang profesional yang bekerja di sebuah
organisasi bekerja keras. Rekan-rekan sejawat Anda juga dituntut
untuk menampilkan semangat yang sama. Jangan pernah bandingkan diri
kita dengan orang yang tidak bekerja keras. Masalahnya sekarang
adalah selain bekerja keras, kita perlu dikenal dan
terlihat "kinclong".

Ketidaksadaran individu untuk menjual hasil karyanya inilah yang
sering membuatnya tenggelam. Kerap kita mendengar ungkapan, "Saya
hanya seorang administrator. Apakah seorang administrator tidak bisa
menonjol dan meraih puncak karier
daiam organisasi?

2. Ciptakan Nilai Tambah

Keahlian tidak bersifat instan dan tidak terikat gelar pendidikan.
Keahlian justru dimatangkan oleh pengalaman di lapangan, dan proyek
yang ditangani, dan persoalan yang muncul, atau dan kesalahan yang
dibuat. Anda perlu membungkusnya agar keahlian ini bisa mengendap,
muncul, dan membawa perubahan dan gaya dalam pemecahan masalah khas
Anda. Prinsipnya, jangan hanya bisa mengerjakan sesuatu, tetapi
jadilah ahli solusi yang memiliki gaya khas! Hanya dengan niiai
tambah yang signifikan, profesionalitas Anda menjadi "luar biasa".

3. Bersahabat dengan ide dan Rangkul Peluang

Seringkali saya sedih bila individu melihat sukses dikaitkan dengan
jenis pekerjaannya. Seolah ada pekerjaan kelas satu dan keias
kambing. Suami saya yang hafal sejarah luar kepala, mendapatkan
pelajaran dari seorang guru yang selalu melakukan "roleplay" dengan
penggaris, kursi, dan alat bantu sederhana lain yang ada di dalam
kelas untuk mengajarkan sejarah. Bukankah ini suatu cara kreatif?
Tidak selamanya ide kreatif harus datang dari eksekutif top atau
bagian kreatif perusahaan. ide sekecil apapun, bila digarap sungguh-
sungguh bisa mengubah sesuatu yang penting dan bermanfaat bagi
perusahaan.

Apapun peran yang Anda emban di organisasi, ingatlah untuk selalu
mencari peluang yang bahkan tidak terpikirkan oleh orang lain. Anda
bekerja di bagian back office? Ciptakan alur kerja yang lebih
efisien untuk kemudahan kerja unit Anda, dan hitung dampaknya
terhadap cost. Cari sebanyak mungkin kesempatan, dan lakukan
eksekusi secara cermat. Cari dukungan dari orang-orang yang mau
mendengarkan dan membantu menjual ide Anda. Sekali Anda berpikir
tentang ide, Anda akan terus kritis mencari celah untuk kemajuan
kerja dalam skala yang lebih luas, bahkan hingga ke tahap organisasi.

4. Sekali Luar Biasa Tidak Selamanya Luar Biasa

Seorang manajer pemasaran yang berhasil meluncurkan produk dan
bahkan mendongkrak angka penjualan produknya dengan 100 persen tidak
bisa berada di dalam "comfort zone". Ia tidak bisa mengklaim sejarah
kesuksesannya untuk waktu yang lama. Bila ia tidak menciptakan
kesuksesannya kembali, apakah melalui kegiatan yang sama dengan
target lebih atau kegiatan lain dengan hasil yang lagi-lagi
menonjol, maka keterlihatannya pun akan berangsur pudar.

5. Jual dan Tonjolkan Keberhasilan

Saat Anda dan tim mencapai kesuksesan dalam proyek atau menemukan
solusi yang hasilnya luar biasa, jangan lalu berhenti, Bagilah
pengalaman Anda kepada orang lain. Manfaatkan media komunikasi di
perusahaan, apakah bulletin, intranet atau website yang paling
mungkin dibaca oleh orang orang penting di perusahaan Anda. Gali
masukan dan diskusikan lebih lanjut dengan orang-orang yang
berkepentingan. Cari orang-orang yang bisa membantu Anda menuangkan
kisah sukses Anda secara cerdas.

Sukses Anda, sekecil apapun, bila dikemas dengan cantik, bisa
memberi inspirasi kepada orang banyak. Hal yang lebih penting
lagi, "sense of success" akan berdampak luar biasa bagi kemajuan
Anda pribadi. Jangan pernah takut untuk menampilkan keberhasilan
Anda kepada orang lain. Katakan "saya berupaya keras dan telah
berhasil' dengan penuh percaya diri, dan suarakan secara positif dan
tepat. ****
  
Sumber: "Being Recognized": Tidak Cukup Hanya Kerja Baik oleh Eileen Rahman & Ninik Wulandari, EXPERD

24 November 2006

Loyalitas dalam bekerja

1
Seorang pimpinan perusahaan berpidato pada suatu perayaan, "Atas loyalitas
yang ditunjukkan oleh pak Budi selama 25 tahun ini, perusahaan berkenan
menganugerahkan penghargaan tanda jasa pengabdian berupa .. bla-bla-bla."
Kemudian beliau menyematkan sebuah pin dan menyerahkan sejumlah hadiah
pada pak Budi yang tentu menerimanya dengan penuh suka cita. Para
penonton
bertepuk tangan. Sebagian berdecak kagum, "Pak Budi betul-betul loyal.
Bayangkan, 25 tahun! Berarti ia telah menghabiskan hampir separuh hidupnya
dengan bekerja di perusahaan ini." Sebagian lain, menghitung-hitung berapa
lama waktu yang diperlukan agar seperti pak Budi, 20 tahun? 10 tahun? 5
tahun atau mungkin tahun depan? Barangkali, ada sebagian kecil yang
mencibir, "Ah tak rela aku bekerja di sini sampai sekian lama."

Memang, tak sedikit perusahaan menganggap bahwa loyalitas adalah hal kedua
yang diharapkan dari seorang karyawan setelah profesionalisme. Dan, biasanya
kita menggunakan lama masa kerja untuk mengukur loyalitas seorang karyawan.
Semakin lama masa kerja maka semakin loyallah karyawan tersebut pada
perusahaan. Begitu pentingnya loyalitas sehingga banyak perusahaan merasa
perlu menyusun berbagai kebijakan "rewarding" dengan memasukkan faktor ini.
Misal, penganugerahan penghargaan pada karyawan yang telah bekerja sekian
tahun. Atau, pemberian pinjaman lunak hanya bagi karyawan yang telah
melewati masa kerja sekian lama. Tujuannya, untuk menjaga karyawan-karyawan
terbaik mereka tetap bekerja dan menunjukkan loyalitasnya pada perusahaan.

Mengapa menggunakan ukuran waktu? Pertama, karena mudah. Kedua, loyalitas
hanya tumbuh bersama kebersamaan. Dan kebersamaan itu memerlukan waktu.
Loyalitas adalah kesetiaan. Dan kesetiaan adalah kualitas yang menyebabkan
kita tidak menggemingkan dukungan dan pembelaan kita pada sesuatu.
Loyalitaslah yang menyebabkan kita tetap membela seorang sahabat meski ia
harus terancam masuk penjara. Loyalitaslah yang membuat kita
bernyanyi-nyanyi penuh semangat memberikan dukungan pada kesebelasan
kesayangan, meski mereka sedang tertinggal beberapa goal dari tim lawan.
Memang, loyalitas lebih banyak bersifat emosional. Loyalitas adalah kualitas
perasaan, dan perasaan tak selalu membutuhkan penjelasan rasional.
Hampir-hampir saja, loyalitas tak ubahnya dukungan buta, bahkan semacam
sumpah setia. Di beberapa institusi tertentu, seperti negara, militer dan
partai politik, loyalitas adalah hal terutama dan pertama yang dituntut.
Itulah mengapa, seseorang harus bersedia membaca sumpah setia
lantang-lantang sebelum mereka bergabung ke sana.

2
Mengapa loyalitas? Mengapa loyalitas menjadi salah satu kualitas penentu
hubungan antara perusahaan dengan karyawan? Meski hampir tak ada perusahaan
atau pimpinan yang berterus-terang meminta loyalitas dari karyawannya, namun
diam-diam banyak dari mereka yang mengharapkannya. Dengan mendapatkan
loyalitas dari karyawannya, sebuah perusahaan merasa benar-benar "memiliki"
karyawan yang siap bertempur demi kepentingan usahanya, atau seorang
pimpinan tak ragu lagi perintahnya tak terlaksanakan. Demikian pula, bila
seorang karyawan yakin telah memberikan loyalitasnya, ia tak perlu khawatir
kehilangan pekerjaannya; lebih dari itu kebutuhan-kebutuhannya akan mudah
terpenuhi.

Meski demikian, tak sedikit orang meragukan kekuatan loyalitas. Beberapa
pakar manajemen sumber daya manusia malah skeptis untuk memasukkan
loyalitas sebagai bagian dari pekerjaan mereka. Kata mereka,
"Loyalitas sudah mati." Atau, yang lebih halus mengatakan, "Loyalitas
telah menyusut". Terlepas dari
apa pun alasan mereka, hubungan kerja adalah hubungan rasional. Pertimbangan
masak-masak, perhitungan untung rugi, pemikiran rasional mengenai kebutuhan
dan imbalan adalah hal yang mendasari hubungan kerja, ketimbang spontanitas
emosional belaka. Hubungan kerja bukanlah hubungan antara sebuah klub sepak
bola dengan fansnya. Seseorang yang telah bekerja 25 tahun mungkin dianggap
loyal, namun mungkin itu tak lebih berarti dibanding seseorang yang baru
masuk kerja namun menunjukkan pretasi yang mengagumkan. Sebaliknya,
seseorang yang keluar dari pekerjaan yang telah digelutinya selama 25 tahun
tidak harus dikatakan tidak loyal hanya karena tertarik pada tawaran yang
lebih menggiurkan dari perusahaan lain.

Sebenarnya, tidak terlalu sulit untuk mengiyakan keraguan atas loyalitas
dalam hubungan kerja. Namun, seringkali banyak perusahaan dan karyawan
menyalahgunakan kata "loyalitas" untuk membenarkan tindakannya. Perusahaan
bilang bahwa mereka menghargai loyalitas, padahal yang dimaksudkan adalah
perilaku "yes man", taat, tidak membantah, dan bersedia melakukan apa saja
tanpa banyak tuntutan. Sebaliknya, karyawan membanggakan loyalitas pada
atasannya hanya karena ingin mendapatkan penghasilan yang lebih baik,
padahal bila sebuah tawaran menarik datang, tanpa banyak ragu ia akan
menanggalkan semua "loyalitas"nya dan berpindah ke lain perusahaan. Terlebih
lagi, ada kecenderungan untuk menyederhanakan loyalitas sama dengan lama
masa kerja. Sehingga, hak atas imbalan yang lebih baik dituntut oleh
karyawan yang telah lebih lama bekerja, bukan oleh yang lebih berprestasi.
Sedangkan bagi perusahaan, karyawan yang tak banyak mulut dan patuh, berhak
mendapatkan imbalan terbaik daripada mereka yang suka mengajukan pemikiran
alternatif dan kritis. Jadi, pantas bila loyalitas semakin hari semakin
dipandang sebelah mata.

3
Kita bisa memberikan kesetiaan atau loyalitas kita pada siapa saja dan apa
saja. Karena kita memiliki kebutuhan untuk mendarmabaktikan diri kita pada
sesuatu. Adalah dorongan manusiawi kita untuk setia. Kesetiaan itu sesuatu
yang indah. Seorang suami tak pernah merasa lelah bekerja keras atas nama
kesetiaan pada keluarganya. Seorang istri rela hidup sulit menjanda untuk
kesetiaan pada almarhum suaminya. Kesetiaan adalah keteguhan, kekokohan,
ketegasan, kekuatan. Pada tataran yang lebih abstrak, kesetiaan merupakan
perwujudan dari kerendahan diri, penghormatan, bahkan penyembahan. Kita
mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan karena kesetiaan kita pada
sesuatu. Tanpa kesetiaan, kita seolah hidup sendiri, kesepian, dan merasa
tak bermanfaat. Dan, pada hakikatnya kesetiaan terlahir dari rasa cinta.

Sebuah pepatah mengatakan, "Dengan uang kita bisa membeli anjing yang bagus,
tetapi belum tentu bisa mendapatkan goyangan ekornya." Bukankah goyangan
ekor pertanda kesetiaan seekor anjing pada majikannya? Seseorang boleh saja
setiap hari mentraktir temannya agar mau mengikuti kemana ia pergi, namun
itu belum cukup untuk suatu kesetiaan. Dalam kesetiaan selalu ada
persahabatan. Seorang majikan bisa saja mengeluarkan banyak uang untuk
membayar karyawannya agar bekerja tanpa banyak cincong namun belum tentu
bisa mendapatkan kesetiaannya. Karena kepatuhan melaksanakan pekerjaan bukan
berarti kesetiaan yang muncul dari dalam hati, dari rasa cinta. Kesetiaan
senantiasa memberikan kesediaan untuk memperjuangkan sesuatu. Kesetiaan
adalah pembelaan. Maka tak heran bila beberapa orang berpendapat terlalu
naif untuk mengharapkan kesetiaan dari karyawan bila hanya mempertimbangkan
imbalan belaka. Karena yang didapat mungkin hanya kesetiaan semu, atau malah
cuma kemunafikan belaka.

4
Kesepakatan terwujud bila kita mampu memenangkan pikiran orang lain
("winning the mind"). Sedangkan rasa cinta yang membuahkan loyalitas, dapat
muncul bila kita mampu memenangkan hati orang lain ("winning the heart").
Pertimbangan ekonomis tidak harus menjadi satu-satunya hal dalam suatu
hubungan kerja. Masih banyak karyawan bahkan kita sendiri yang menunjukkan
loyalitas tinggi pada perusahaan atau atasan. Itu karena hati kita telah
dimenangkan. Dan memenangkan hati adalah memenangkan nilai-nilai,
prinsip-prinsip, tujuan-tujuan dan harapan-harapan. Secara lahir kita tampak
loyal pada perusahaan, atasan atau rekan-rekan sekerja, namun pada intinya,
kita loyal pada nilai-nilai, prinsip-prinsip, tujuan-tujuan, dan
harapan-harapan.

Karena nilai dan prinsip adalah sesuatu yang takkan pudar begitu saja, maka
kita loyal pada nilai dan prinsip. Kita menjunjung tinggi, membela dan
mempertahankan sebuah nilai dan prinsip, meski situasi tak selalu mudah.
Karena tujuan dan harapan adalah sesuatu yang memberikan makna bagi
perjalanan hidup kita, maka kita loyal pada tujuan dan harapan. Kita
memperjuangkan dan meneguhkan diri untuk sebuah tujuan dan harapan, meski
butuh pengorbanan yang berat. Mungkin ada baiknya mencermati loyalitas yang
selama ini dimaksud dalam hubungan kerja kita. Karena mungkin saja ia
berdiri pada pijakan yang rapuh, seperti mendirikan bangunan di atas tanah
lumpur. Tanpa nilai, prinsip, tujuan dan harapan, loyalitas akan tenggelam
perlahan-lahan tanpa sempat berteriak meminta tolong. Dan barangkali memang
tak perlu bersusah payah mencari loyalitas, karena loyalitas seringkali
datang tanpa diduga dan pergi tanpa permisi. Cukuplah melakukan sesuatu
dengan nilai, prinsip, tujuan dan harapan.

(artikel diadaptasi dari REKAN-KANTOR eNEWSLETTER)

22 November 2006

Aku tidak ingin menjadi Pemenang yang mengalahkan orang lain...

Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil
balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab ini adalah babak
final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap
mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri,sebab memang begitulah
peraturannya.

Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk
dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark-lah yang
paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk
berpacu melawan mobil lainnya. Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik.
Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip di atasnya, tentu tak
sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun,
Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya
sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan.
Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka
kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4
pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah
di antaranya. Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum
lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa.

Matanya terpejam, dengan tangan bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit
kemudian, ia berkata, "Ya, aku siap!". Dor!!! Tanda telah dimulai.
Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua
mobil tu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai,
bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.

"Ayo..ayo... cepat..cepat, maju..maju", begitu teriak mereka.
Ahha...sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah
terlambai.
Dan...
Mark-lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap, dan
berkomat-kamit lagi dalam hati. "Terima kasih."

Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala
itu diserahkan, ketua panitia bertanya.
"Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?"
Mark terdiam. "Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan" kata Mark.
Ia lalu melanjutkan, "Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk
menolongku mengalahkan orang lain, aku, hanya bermohon pada Tuhan, supaya
aku tak menangis, jika aku kalah."

Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah
gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.

Teman, anak-anak, tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua.
Mark, tidaklah bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian.
Mark, tak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang
ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua
harapannya.
Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya.

Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi
itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan
dengan rasa bangga. Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan untuk
berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering
juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang
terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa
pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan
mata.

Padahal, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya, dan
panduan-Nya? Kita, sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat.
Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak
adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan
kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah
menyerah.

Jadi, teman, berdoalah agar kita selalu tegar dalam setiap ujian.
Berdoalah agar kita selalu dalam lindungan-Nya saat menghadapi itu ujian
tersebut.

Amin....

16 November 2006

Singapore Paradox ?

Anda adalah seorang pengusaha Indonesia. Anda telah menyuap pejabat bank negara untuk mendapatkan 200 juta dollar Amerika Serikat tanpa jaminan memadai, atau analisa risiko, untuk sebuah bisnis yang Anda tahu tak akan bisa berjalan. Aparat penegak hukum mengetahui hal ini dan Anda dihadapkan kepada ancaman penahanan. Anda harus lari ke tempat di mana aparat hukum tak akan bisa menyentuh Anda. Ke mana? Singapura. Mengapa? Karena Singapura hanya setengah jam terbang (seharusnya satu jam lebih sedikit) dari Jakarta, atau 45 menit dengan ferry dari Batam, dan yang terpenting Singapura tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia".

Itulah awal tulisan Michael Backman di harian The Age (Melbourne, 26/7/2006) yang terkesan amat ironis dan penuh sinisme. Bayangkan Singapura, sebuah negara pulau yang amat maju, serba teratur, dan diperintah oleh supremasi hukum, tiba-tiba digambarkan sebagai tempat parkir uang-uang haram dari Indonesia.

Tulisan ini tak enak dibaca, dan muka mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew merah padam menahan marah. Pertanyaannya, sejauh mana Michael Backman benar?

Bersih dari korupsi

Jika melihat data dari Corruption Perception Index (CPI) yang diterbitkan Transparency International setiap tahun, terlihat, Singapura termasuk negara paling bersih dari korupsi bersama sejumlah negara Skandinavia. Tahun 2005, misalnya, survei Transparency International menempatkan Singapura sebagai negara nomor lima paling bersih dengan score 9,4.

Rentang score yang digunakan survei Transparency International adalah 0-10, angka 10 untuk negara zero corruption dan angka 0 untuk negara paling korup. Score 9,4 adalah yang amat bagus mendekati sempurna, dan menjadi daya tarik bagi pengusaha dan mereka yang ingin menabungkan uangnya di bank-bank Singapura. Kerahasiaan bank terjamin dan aman. Tidak heran jika Singapura, negara berpenduduk sekitar 4,5 juta jiwa dengan produk domestik bruto (GDP) sekitar 132 miliar dollar AS, menjadi pusat keuangan dan bisnis regional yang maju pesat, hadir sebagai saingan baru bagi pusat keuangan mapan seperti Hongkong dan Swiss.

Jika meneliti konglomerasi Indonesia dan dunia, terlihat banyak sekali regional headquarters berdomisili di Singapura, dan uang pun mengalir ke sana. Proses pengambilan keputusan pun akhirnya banyak dilakukan di Singapura, menyebabkan lalu lintas ke dan dari Singapura menjadi amat padat. Lihat, pesawat Jakarta-Singapura setiap hari padat penumpang.

Maka, bagi publik, terutama pengusaha, Singapura adalah negara yang amat maju, teratur, bersih dari korupsi, dan dituntun oleh Rule of Law. Lembaga pengadilan amat mandiri, independen, dan tanpa korupsi. Putusan pengadilan selalu berdasar ketentuan hukum yang berlaku (strict law).

Belakangan, penyelesaian arbitrase di Singapura juga mulai populer karena dianggap memiliki kredibilitas tinggi. Akhirnya Singapura menjadi bukan saja tempat bisnis, tetapi juga tempat rujukan penyelesaian sengketa bisnis. Tidak heran jika kita melihat banyak kontrak bisnis internasional yang mencantumkan penyelesaian sengketa bisnis di lembaga pengadilan atau arbitrase di Singapura.

Dalam kondisi seperti inilah kita selalu mendengarkan kotbah tentang integritas, good governance, good corporate governance, dan Rule of Law dari Singapura, baik yang berasal dari pemerintahan maupun pengusaha swasta. Indonesia sering dikritik sebagai negara yang tak aman untuk berinvestasi karena ketidakpastian hukum dan merajalelanya korupsi.

Perlu dicatat, pada tahun 2005, menurut survei Transparency International, Indonesia termasuk negara paling korup di dunia, pada urutan 132 dengan score 2,2. Bandingkan dengan Singapura yang mendapat score 9,4.

Uang haram

Indonesia adalah negara yang tak akan maju jika tidak memperbaiki kondisi penegakan hukum. Dengan kata lain, Indonesia akan terus terpuruk sebagai "paria" di antara negara-negara Asia yang sedang berlomba maju seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam serta Korea Selatan, Taiwan, Cina, dan India.

Indonesia yang kaya sumber alam dan penduduk hanya menjadi penonton kemajuan ekonomi karena sistem pemerintahan yang korup dan tak berkepastian hukum? Indonesia tak lagi memiliki modal, dan daya beli kian merosot.

Ke mana uang Indonesia mengalir? Ke mana modal Indonesia menghilang? Dalam kaitan itu, menarik membaca tulisan Netty Ismail, Morgan Stanley's Quit After Singapore E-Mail (Bloomberg, edisi 5 Oktober 2006). Dalam artikel itu dijelaskan, Chief Economist Andy Xie yang telah bekerja sekitar sembilan tahun pada Morgan Stanley terpaksa atau dipaksa mundur karena sebuah e-mail internal yang amat kritis terhadap keberhasilan Singapura yang menurut Andy Xie berasal dari uang haram para pejabat dan pengusaha Indonesia yang dicuci di Singapura. "Indonesia has no money. So Singapore isn't doing well", kata Andy Xie dalam salah satu e-mail-nya.

Maka, Singapura sebetulnya mendulang sukses dari uang-uang haram hasil penjarahan uang negara Indonesia yang dilakukan pejabat dan pengusaha tak bertanggung jawab. Tidak heran melihat banyak gedung, apartemen, dan kantor yang merupakan investasi orang-orang Indonesia yang oleh pemerintah Singapura diberikan banyak kemudahan, termasuk pajak dan izin tinggal (permanent residence), bahkan dalam beberapa kasus diberi kewarganegaraan Singapura. Beberapa pengusaha Indonesia diketahui memiliki status warga negara Singapura. Mereka lalu menjadi untouchables karena bukan lagi warga negara Indonesia.

Standar ganda

Apa yang dikatakan Andy Xie bukan barang baru. Banyak orang Indonesia mengeluhkan hal ini karena melihat Singapura memainkan standar ganda. Di satu sisi kita sering diberi kuliah tentang good governance, good corporate governance, dan Rule of Law, tetapi di sisi lain kita melihat Singapura tidak membantu Indonesia memerangi korupsi dalam arti membawa koruptor dan asetnya ke Indonesia.

Assets tracing tampaknya tidak jalan. Padahal banyak ikhtiar politik dilakukan, tetapi hingga kini tetap mandek. Artinya, biarlah korupsi terjadi di negara lain, yang penting bukan di Singapura. Dan Singapura pun menampung uang-uang korupsi. Lebih dari itu, jika melihat hasil Bribe Payers Index 2006 yang diterbitkan Transparency International terlihat para pengusaha Singapura juga melakukan penyiapan dalam bisnisnya di luar negeri meski tidak separah pengusaha China, India, Rusia, dan Brasil, misalnya.

Akan tetapi intinya adalah, di negeri lain boleh kotor, tetapi kebersihan di negeri sendiri harus dipelihara.

Bagi saya, ini amat memilukan karena tidak menggambarkan komitmen kolektif untuk bersama-sama membersihkan dunia dari korupsi yang diyakini sebagai persoalan global: karena merupakan kejahatan global. Bagi saya, sikap Singapura ini saya sebut Singapore Paradox, sikap hipokrit yang tak membantu kita keluar dari lingkaran setan korupsi dan pencucian uang yang dahsyat ini.

Artikel ini tak bermaksud melarang orang berbisnis atau menyimpan uangnya di Singapura. Kini, dalam bisnis global, semua itu sah dan tak boleh dilarang. Namun, adalah mutlak adil jika Pemerintah Singapura tidak menyediakan dirinya untuk menjadi tempat "parkir" bagi uang-uang haram dari mana pun meski keadaan ekonomi akan kian sulit.

Kehendak Pemerintah Singapura untuk membangun kasino juga akan dilihat banyak orang sebagai kesempatan mencuci uang haram. Pandangan ini tidak salah karena pasti akan banyak uang haram yang terdampar di meja-meja judi. Kita tak akan bisa menutup karena judi akan terus ada dalam berbagai bentuk, termasuk judi gelap yang pasti lebih merugikan.

Namun, Singapura bisa berbuat banyak untuk perang melawan korupsi dan pencucian uang jika pemerintahnya membantu membawa kembali koruptor dan uang haram mereka ke negeri ini. Dalam konteks ini, penandatanganan Perjanjian Ekstradiksi adalah satu langkah awal yang penting. Sayang, Pemerintah Singapura selalu berdalih, sistem hukum berbeda, maka Perjanjian Ekstradiksi sulit diwujudkan. Perlu diketahui, Indonesia sudah menandatangani Perjanjian Ekstradiksi dengan Australia yang sistem hukumnya juga berbeda. Agaknya, perbedaan sistem hukum bukan alasan sebenarnya.

Singapore Paradox sudah waktunya diakhiri jika Singapura bersikap tulus membantu negara seperti Indonesia untuk menjadi mitra jangka panjang yang akan saling membantu. Indonesia dan Singapura memiliki masa depan cerah jika bisa berjalan bersama. Perjalanan bersama tak akan terhambat karena berhentinya arus uang haram dari negeri ini.

Bagaimanapun Singapura adalah tempat Indonesia berpaling dalam bisnis di masa datang. Banyak hal yang dimiliki Singapura, belum dimiliki Indonesia.

Mengapa kita tak melihat masa depan dalam perspektif seperti ini?

 
Penulis : Todung Mulya Lubis, Ketua Transparency International- Indonesia. Dimuat di Harian Kompas, 02 November 2006.

15 November 2006

Lowongan di AC-Nielsen



Dear All,

ada lowongan dari teman saya di AC Nielsen, mungkin bermanfaat buat adik, anak atau kenalannya.

regards,
Sirod

-----------


VACANT POSITION


Job Title :Client Service Executive Trainee (Code : CST – Quant)

Department :Customised Quantitative – Client Service

______________________________________________________________________


Job Description


  • To be responsible to handle research projects with support from Senior Client Executive

  • To perform quality checks on accuracy and correctness on each project stages

  • To assist the senior staff in preparing reports and presentation for clients

  • To maintain good relationship with clients under guidance of his/ her supervisor


Job Requirement

  • Min. S1 graduated from good reputable university

  • Fresh graduate or less than 1 year experience

  • Have strong analytical skills

  • Fluent in English both command and written

  • Good presentation skills

  • Enjoy meeting people, has good interpersonal skill and teamwork

  • Familiarity with MS Office is a must



Please send your resume to:

HRD Department – ACNielsen

Attn: Anindya Aryani

anindya.aryani@acnielsen.com


Put the position code CST – Quant in the E-mail Subject (email size not more than 100 kb)

Applications will be closed on November 30, 2006




Kiamat Tidak Ada Tanda-Tandanya

Kiamat Tidak Ada Tanda-Tandanya
Oleh: Aam Amiruddin

Bagaimana memahami hadits yang menjelaskan "tanda-tanda kiamat"
dengan ungkapan Al-Qur'an yang menyatakan bahwa kiamat itu akan
terjadi dengan tiba-tiba? Bukankah kata "tiba-tiba" mengandung makna
tidak ada tanda-tanda? Bagaimana menyikapi keterangan yang terkesan
kontradiktif? ----dari Fitri@e-mail----

Apa yang Anda katakan benar. Memang ada sejumlah ayat yang
menegaskan bahwa kiamat itu akan terjadi secara mendadak atau tiba-
tiba. Paling tidak ada empat ayat yang menjelaskannya. Yaitu,

"Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?"
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada
sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu
kedatangannya selain Dia. kiamat itu Amat berat (huru haranya bagi
makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang
kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu
seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya.
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah
di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui". (QS. Al-
A'raf: 187)

"Sungguh telah rugilah orang-orang yang mendustakan Pertemuan mereka
dengan Tuhan; sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan
tiba-tiba, mereka berkata: "Alangkah besarnya penyesalan Kami,
terhadap kelalaian Kami tentang kiamat itu!", sambil mereka memikul
dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, Amat buruklah apa yang
mereka pikul itu." (QS. Al-An'am: 31)

"Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi
mereka, atau kedatangan kiamat kepada mereka secara mendadak, sedang
mereka tidak menyadarinya?" (QS. Yusuf: 107)

"Mereka tidak menunggu kecuali kedatangan hari kiamat kepada mereka
dengan tiba-tiba sedang mereka tidak menyadarinya." (QS. Az-Zukhruf:
66)

Keempat ayat diatas menjelaskan bahwa kiamat akan terjadi secara
mendadak atau tiba-tiba. Namun, diakui pula bahwa ada sejumlah
hadits shahih yang menjelaskan tanda-tanda kiamat, diantaranya:

Tatkala ditanya oleh Malaikat Jibril tentang tanda-tanda kiamat,
Rasulullah SAW menjawab, "Apabila budak wanita melahirkan tuannya
dan apabila engkau lihat orang-orang yang bertelanjang kaki,
berpakaian compang-camping, miskin, dan pengembala kambing berlomba-
lomba dalam kemegahan bangunan." (Mutafaq'alaih)

Maksud apabila budak wanita melahirkan tuannya… adalah banyak anak
yang memperlakukan orang tuanya seperti budak atau pembantu. Banyak
anak yang berani menghardik, membentak, bahkan menganiaya orang
tuanya. Na'udzubillah!

Sedangkan yang dimaksud, …Engkau lihat orang-orang yang bertelanjang
kaki, berpakaian compang-camping, miskin, dan pengembala kambing
berlomba-lomba dalam kemegahan bangunan… adalah banyak manusia yang
materialistis. Orang yang berpenghasilan rendah memiliki nafsu
terhadap materi melebihi penghasilannya. Dia menginginkan bangunan
megah.

Kalau kita fokuskan pada konteks zaman sekarang, banyak orang yang
berpenghasilan biasa-biasa saja, tapi gaya hidupnya seperti orang
yang berpenghasilan luar biasa. Gaji Cuma 2 juta sebulan tapi
bergaya hidup seperti yang berpenghasilan 10 juta per bulan.

Rasulullah SAW bersabda, "Diantara tanda-tanda kiamat adalah
lenyapnya ilmu pengetahuan (agama), meluaskan kebodohan, banyaknya
minum khamr, dan perzinaan terjadi secara terang-terangan." (HR.
Bukhari)

Hadits ini menegaskan bahwa diantara tanda kiamat, apabila manusia
sudah tidak merasa tertarik lagi untuk mempelajari ajaran-ajaran
agama. Khamr atau minuman yang memabukan sudah menjadi minuman
kesehariaan, dan perzinaan semakin menjamur, terbuka, dan terang-
terangan.

Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan datang kiamat hingga waktu
terasa amat pendek, satu tahun serasa sebulan, satu bulan serasa
seminggu, satu minggu serasa sehari, satu hari serasa sejam, satu
jam hanya selama membakar pelepah kurma." (HR. Ahmad)

Hadits ini menegaskan bahwa diantara tanda kiamat adalah pada saat
manusia merasa sangat bertah didunia, hingga setahun serasa sebulan,
sebulan serasa seminggu, seminggu serasa sehari. Ini menunjukkan
bahwa manusia merasa sangat betah hingga waktu terasa menjadi sangat
singkat.

Itulah hadits-hadits sahih yang menjelaskan tanda-tanda kiamat.
Pertanyaannya, apakah hadits-hadits yang menjelaskan tanda-tanda
kiamat itu kontradiktif dengan ayat-ayat yang menjelaskan bahwa
kiamat itu akan terjadi secara tiba-tiba?

Ada yang beranggapan bahwa sesuatu yang tiba-tiba berarti tidak ada
tanda-tanda. Padahal logikanya tidaklah demikian. Maksud bahwa
kiamat itu mendadak atau tiba-tiba adalah kiamat itu tidak bisa
diketahui secara pasti dan diidentifikasi kapan terjadinya, bukan
berarti tidak ada tanda-tandanya. Jadi sesuangguhnya tidak ada
kontradiktif antara ayat yang menjelaskan bahwa kiamat itu akan
terjadi mendadak dengan hadits yang menjelaskan tanda-tanda kiamat,
bahkan justru bisa saling melengkapi. Wallahu A'lam. [*]

die *Percikan Iman*
No.11 Th.VII November 2006 M/Syawal 1427 H
Dari: http://www.jkmhal.com/main.php?sec=content&cat=2&id=4122

10 November 2006

Tidak Ada Jalan Yang Rata Untuk Sukses

Saya dapat cerita ini dari sebuah milis motivasi,
hanya pertanyaannya, kenapa gak coba dulu jalan tengah ya?

:)

------------

Di pagi hari buta, terlihat seorang pemuda dengan bungkusan kain
berisi bekal di punggungnya tengah berjalan dengan tujuan mendaki ke
puncak gunung yang terkenal.

Konon kabarnya, di puncak gunung itu terdapat pemandangan indah
layaknya berada di surga. Sesampai di lereng gunung, terlihat sebuah
rumah kecil yang dihuni oleh seorang kakek tua.

Setelah menyapa pemilik rumah, pemuda mengutarakan maksudnya "Kek,
saya ingin mendaki gunung ini. Tolong kek, tunjukkan jalan yang
paling mudah untuk mencapai ke puncak gunung".

Si kakek dengan enggan mengangkat tangan dan menunjukkan tiga jari
ke hadapan pemuda.

"Ada 3 jalan menuju puncak, kamu bisa memilih sebelah kiri, tengah
atau sebelah kanan?"

"Kalau saya memilih sebelah kiri?"

"Sebelah kiri melewati banyak bebatuan." Setelah berpamitan dan
mengucap terima kasih, si pemuda bergegas melanjutkan perjalanannya.
Beberapa jam kemudian dengan peluh bercucuran, si pemuda terlihat
kembali di depan pintu rumah si kakek.

"Kek, saya tidak sanggup melewati terjalnya batu-batuan. Jalan
sebelah mana lagi yang harus aku lewati kek?"

Si kakek dengan tersenyum mengangkat lagi 3 jari tangannya
menjawab, "Pilihlah sendiri, kiri, tengah atau sebelah kanan?"

"Jika aku memilih jalan sebelah kanan?"

"Sebelah kanan banyak semak berduri." Setelah beristirahat sejenak,
si pemuda berangkat kembali mendaki. Selang beberapa jam kemudian,
dia kembali lagi ke rumah si kakek.

Dengan kelelahan si pemuda berkata, "Kek, aku sungguh-sungguh ingin
mencapai puncak gunung. Jalan sebelah kanan dan kiri telah aku
tempuh, rasanya aku tetap berputar-putar di tempat yang sama
sehingga aku tidak berhasil mendaki ke tempat yang lebih tinggi dan
harus kembali kemari tanpa hasil yang kuinginkan, tolong kek
tunjukkan jalan lain yang rata dan lebih mudah agar aku berhasil
mendaki hingga ke puncak gunung."

Si kakek serius mendengarkan keluhan si pemuda, sambil menatap tajam
dia berkata tegas "Anak muda! Jika kamu ingin sampai ke puncak
gunung, tidak ada jalan yang rata dan mudah! Rintangan berupa
bebatuan dan semak berduri, harus kamu lewati, bahkan kadang jalan
buntu pun harus kamu hadapi. Selama keinginanmu untuk mencapai
puncak itu tetap tidak goyah, hadapi semua rintangan! Hadapi semua
tantangan yang ada! Jalani langkahmu setapak demi setapak, kamu
pasti akan berhasil mencapai puncak gunung itu seperti yang kamu
inginkan! dan nikmatilah pemandangan yang luar biasa !!! Apakah kamu
mengerti?"

Dengan takjub si pemuda mendengar semua ucapan kakek, sambil
tersenyum gembira dia menjawab "Saya mengerti kek, saya mengerti!
Terima kasih kek! Saya siap menghadapi selangkah demi selangkah
setiap rintangan dan tantangan yang ada! Tekad saya makin mantap
untuk mendaki lagi sampai mencapai puncak gunung ini.

Dengan senyum puas si kakek berkata, "Anak muda, Aku percaya kamu
pasti bisa mencapai puncak gunung itu! Selamat berjuang!!!

Tidak ada jalan yang rata untuk sukses!

Sama seperti analogi Proses pencapaian mendaki gunung tadi. Untuk
meraih sukses seperti yang kita inginkan, Tidak ada jalan rata!
tidak ada jalan pintas! Sewaktu-waktu, rintangan, kesulitan dan
kegagalan selalu datang menghadang. Kalau mental kita lemah, takut
tantangan , tidak yakin pada diri sendiri, maka apa yang kita
inginkan pasti akan kandas ditengah jalan.

Hanya dengan mental dan tekad yang kuat, mempunyai komitmen untuk
tetap berjuang, barulah kita bisa menapak di puncak kesuksesan.

Salam sukses luar biasa!

Sumber: Tidak Ada Jalan Yang Rata Untuk Sukses oleh Andrie Wongso

08 November 2006

Artikel Manajemen > Rhenald Kasali, Kepemimpinan

Yang kita bicarakan adalah soal kepemimpinan. Maklum, ada demikian banyak orang yang sudah merasa menjadi pemimpin kala sebuah tanda jabatan disematkan di dadanya, dan ia dilantik oleh pejabat di atasnya. Sementara itu sehari-hari, ia hanya memimpin dengan sebuah buku, yaitu buku peraturan. Ia hanya mau tanda tangan dan menyetujui kegiatan kalau "rule" nya ada di buku. Kata orang ia adalah orang yang jujur dan taat perintah. Praktis hampir tak pernah ada kesalahan yang ditimpakan kepadanya, karena ia adalah orang yang benar-benar taat aturan.

Mereka jumlahnya cukup banyak, dan tentu saja benar bahwa mereka adalah pemimpin, namun yang membedakan mereka dengan yang lain tentu adalah tipenya, sebab untuk menjadi pemimpin dibutuhkan lebih dari sekedar aturan, melainkan juga terobosan dan respek. Sebuah organisasi bisa saja tertib dan teratur, tetapi bisa saja ia mati karena peraturan terlambat merespons perubahan, dan peraturan yang ada bukan lagi diadakan untuk manusia, melainkan manusia untuk peraturan. Lama-lama pemimpin ini akan menjadi tampak seperti orang-orang parisi yang membuat seakan-akan agama diadakan untuk Tuhan, bukan untuk manusia.

Supaya tidak membingungkan, John Maxwell membuat peringkat yang disebut pemimpin. Orang yang dibicarakan di atas benar adalah pemimpin, tetapi baru sekedar pemimpin di atas kertas, yaitu pemimpin level satu. Pemimpin yang sempurna adalah pemimpin level 5, yang disebut Kang Jalal dan Robby Djohan sebagai Spiritual Leader, yaitu pemimpin yang dituruti, karena direspeki. Dengan demikian ada 5P-nya pemimpin yang akan Saya bahas di sini, yaitu Position, Permission, Production, People Development, dan Personhood. Masing-masing "P" tersebut akan berpasangan dengan produknya, yang disebut Maxwell sebagai 5R, yaitu Rights, Relationships, Results, Reproduction dan Respect.

Pada pemimpin level 1, seseorang dituruti semata-mata karena posisinya. Ia duduk di sana karena ia memegang hak tertulis (rights). Orang-orang mengikutinya, karena suatu keharusan. Celakanya, semakin lama ia berada di posisi itu akan semakin mundur organisasi. Organisasi akan ditinggalkan oleh karyawan-karyawan kelas satunya yang menyukai terobosan dan laku di pasar. Sementara itu morale kerja merosot drastis dan image sebagai organisasi yang disegani tak lagi terdengar, malah sebaliknya.

Pemimpin ini sebaiknya segera memperbaiki diri. Ia bisa menapak naik ke level dua, yang disebut permission (sedikit di atas otoritas). Ia tidak melulu mengacu pada peraturan tertulis, melainkan mulai menghargai orang-orang yang melakukan terobosan sebagai warna yang harus diterima. Orang-orang pun senang dan menerima kepemimpinannya bukan lagi semata-mata karena rights, melainkan relationship. Mereka mengikuti karena mereka menghendakinya. Tetapi kalau cuma sekedar relationship saja, dan orang-orang merasa senang maka ia bisa menjadi pemimpin yang populis, yang anak-anak buahnya tidak terpacu untuk maju.

Oleh karena itu, idealnya seorang pemimpin naik lagi ke level tiga, yaitu maju dengan kompetensi dan memberi hasil yang dapat dilihat secara kasat mata. "P" ketiga ini disebut Production, dan orang-orang di bawahnya mau mengikuti kepemimpinannya karena Results, yaitu hasil nyata yang tampak pada kesejahteraan mereka dan kemajuan organisasi. Pemimpin pun senang karena pekerjaannya dengan mudah diselesaikan oleh orang-orang yang dedikatif, bekerja karena momentum. Biasanya level tiga ini berdampingan atau tipis sekali batasnya untuk melompat ke level empat. Ini hanya soal kemauan berbagi saja dan relatif tidak sulit karena hasilnya ada dan bukti-buktinya jelas. "P" ke 4 ini disebut People Development dan hasilnya diberi nama Reproduction. Pemimpin level 4 adalah pemimpin langka yang bukan cuma sekedar memikirkan nasibnya sendiri, melainkan juga nasib organisas! i. Ia tidak rela sepeninggalnya ia dari organisasi, lembaga itu mengalami kemunduran, maka kalau ia tak bisa memilih sendiri pengganti-penggantinya, ia akan memperkuat manajer-manajer di bawahnya agar siapapun yang menjadi pemimpin organisasi akan terus bergerak maju ke depan. Tentu saja tidak mudah mendeteksi pemimpin tipe ini selain dari apa yang ia lakukan untuk mengembangkan calon-calon pemimpin. Biasanya kita baru bisa menyebut Anda berada pada level empat kalau Anda sudah pensiun, sudah tidak duduk di sana lagi. Pada waktu Anda meninggalkan kursi Anda, maka baru bisa kita lihat apakah orang-orang yang dihasilkan benar-benar mampu meneruskan kemajuan atau malah mundur. Tentu saja maju-mundurnya organisasi paska kepemimpinan Anda sangat ditentukan oleh pemimpin berikutnya, tetapi kita dapat membedakan dengan jelas siapa yang membuat ia maju atau mundur.

Kepemimpinan level 5 ini oleh Jim Collins disebut sebagai pemimpin dengan professional will dan strategic humility. Jalaludin Rakhmat menyebutnya sebagai Spiritual Leader yang tampak dari perilaku-perilakunya yang merupakan cerminan dari pergulatan batin dalam jiwanya (inner voice). Orang-orang seperti ini tidak mencerminkan kebengisan, melainkan ketulusan hati. Ia bisa saja mengalami benturan-benturan, tetapi semua itu bukanlah kehendaknya pribadi. Orang yang baik hati seperti Gandhi saja toh ternyata juga dicaci maki dan dibunuh, tetapi satu hal yang jelas, ia diikuti oleh banyak orang karena dirinya dan apa yang ia suarakan. Mereka patuh karena respek. Mereka tahu persis bahwa bahaya terbesar akan terjadi kala mereka mulai populis, yaitu ingin disukai semua orang ketimbang direspeki. Selamat memimpin!

03 November 2006

Kerja Kreatif, Siapa Bisa?

Kerja Kreatif, Siapa Bisa?

"Siapakah yang perlu bekerja secara kreatif?" tanya saya kepada
sejumlah kawan.

"Pekerja di bidang periklanan dan kesenian tentunya," jawab Didi
yang pengusaha.

"Entreperneur justru yang harus kreatif karena mampu melihat peluang
dalam masalah-masalah yang muncul di masyarakat, dan kemudian mampu
menciptakan nekaragam produk dan jasa untuk mengatasi masalah dan
meraih keuntungan," ujar Elly yang dosen perguruan tinggi.

"Semua orang yang bekerja dilapangan," jawab Wawan yang tentara.

"Kerja keras pasti ada batasnya, tapi kerja kreatif justru menembus
batas-batas yang sudah ada. Jadi orang yang sudah bosan bekerja
keras, harus menjadi kreatif," urai Agung yang pegawai.

***

Di sekolah kehidupan kita semua adalah mahluk pekerja. Sebab dalam
artinya yang luas, makna kata "kerja" dan "pekerjaan" menunjuk ke
hampir semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia atau karya-karya
manusia itu (mesin/alat/teknologi). Aktivitas-aktivitas itu ada yang
bertujuan untuk memperoleh nafkah lahiriah, yang kita sebut upah,
gaji, komisi, atau uang. Ada juga aktivitas yang lebih ditujukan
untuk memperoleh nafkah mental, seperti berburu ilmu pengetahuan dan
keterampilan, baik lewat institusi formal (sekolah-akademi-
universitas yang memberi gelar, bersifat akademis) atau informal
(lembaga nongelar, bersifat praktis), bahkan nonformal (pergaulan di
masyarakat). Tak sedikit pula aktivitas yang ditujukan untuk
mempererat tali silahturahmi, semacam nafkah sosial-emosional dalam
konteks kehidupan. Dan sebagian aktivitas lagi bertujuan untuk
memperoleh nafkah spiritual yang memberikan kecerahan hati,
kedamaian batin, dan ketentraman yang fundamental dalam menghadapi
badai-badai kehidupan.

Meski semua manusia adalah mahluk pekerja, namun para ahli perilaku
organisasi sering membeda-bedakan jenis pekerjaan—dalam arti karier
yang menafkahi kehidupan pekerjanya—menjadi lima kelompok besar.
Pertama, pekerjaan fungsional yang terfokus pada keahlian teknis di
bidang-bidang khusus. Inilah yang dilakukan oleh ahli mekanik,
desain grafis, pustakawan, teknisi, operator, dan sebagainya. Kedua,
pekerjaan manajerial yang terfokus pada proses analisis informasi
dan pengelolaan neka ragam sumberdaya, termasuk memimpin manusia.
Pekerja di bidang manajerial ini disebut manajer, pimpinan, atau
eksekutif. Ketiga, pekerjaan entrepreneur yang terfokus pada upaya
menghasilkan produk/jasa baru dan/atau membangun organisasi usaha
(perusahaan) yang bertujuan mencetak laba bagi pemiliknya. Kita
menyebut kaum pekerja jenis ini sebagai pedagang, wirausaha,
pengusaha, konglomerat, atau tikon, tergantung pada skala usahanya.
Keempat, pekerjaan negara yang terfokus pada tugas-tugas
administrasi birokrasi dan pertahanan keamanan seperti pegawai
negeri dan militer, dengan jenjang yang jelas dan relatif stabil
sehinga memberikan rasa aman tertentu. Dan kelima, pekerjaan mandiri
yang terfokus pada kebebasan berkarya sesuai dengan irama atau waktu
kerja masing-masing, seperti pada peneliti, seniman, penulis lepas,
konsultan, dan sebagainya.

Banyak orang berpendapat bahwa dari kelima jenis pekerjaan tersebut
di atas, pekerjaan sebagai entrepreneur adalah jenis yang paling
banyak menuntut kreativitas. Sebab entrepreneur diharapkan untuk
melakukan inovasi dengan menghasilkan hal-hal baru yang berguna bagi
masyarakat luas atau menemukan cara-cara baru yang memberikan nilai
tambah terhadap sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Lahirnya produk-
produk legendaris seperti Aqua, Teh Sosro, Es Teller 77, Jamu Tolak
Angin, Dunia Fantasi, Kota Wisata, dan sebagainya, selalu digunakan
sebagai contoh kreativitas kaum entrepreneur di Indonesia. Dengan
kata lain, entrepreneur dianggap sebagai kaum "pekerja kreatif" di
masyarakat.

Pada sisi lain, sebagian orang melekatkan predikat "pekerja kreatif"
hanya terbatas pada praktisi industri periklanan. Terutama karena
secara eksplisit, dalam industri periklanan di kenal jabatan kunci
yang diberi label "Creative Director". Selanjutnya, ada pula yang
mengaitkan konsep "pekerja kreatif" ini hanya terbatas kepada para
seniman, pemain teater, sastrawan, dan praktisi industri hiburan,
yang umumnya bekerja di luar kantor-kantor tradisional.

Jadi, apakah kerja kreatif itu hanya terbatas milik entrepreneur,
praktisi periklanan dan industri hiburan? Apakah pekerja fungsional,
pekerja manajerial, dan pekerja negara tidak perlu kreatif, cukup
mengikuti sistem dan prosedur saja?

Terus terang, dari proses pembelajaran saya di sekolah kehidupan,
saya melihat tuntutan untuk menjadi pekerja kreatif, setidaknya di
milenium ketiga ini, berlaku hampir di semua jenis pekerjaan yang
disebutkan di atas. Era kerja keras semata sudah bukan jamannya
lagi, meski sulit bagi sebagian besar orang untuk tidak bekerja
keras. Di atas kebiasaan kerja keras, perlu ditambahkan kemampuan
untuk bekerja secara cerdas, yaitu kerja kreatif.

Dalam konsep kerja keras, indikator pertama yang biasanya
dipergunakan untuk mengukur seberapa "keras" seseorang telah bekerja
adalah lamanya waktu bekerja. Misalnya, jika sebagian orang bekerja
dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam, maka ia kita sebut bekerja
keras, sebab orang kebanyakan bekerja dari jam 8/9 pagi hingga jam 5
sore saja. Atau jika orang masuk kantor di hari Sabtu, ketika kawan-
kawannya menikmati liburan akhir minggu, maka ia disebut sebagai
pekerja keras. Atau kalau ada orang yang bekerja sampai 50/60 jam
dalam seminggu, ia masuk kelompok pekerja keras karena umumnya waktu
kerja normal 40/44 jam seminggu.

Untuk mampu menjadi pekerja keras, sudah barang tentu dipersyaratkan
kondisi fisik yang prima. Orang-orang yang mudah jatuh sakit tidak
akan dikenal sebagai pekerja keras. Orang-orang yang tidak
menunjukkan disiplin dalam bekerja, juga umumnya tidak dimasukkan
dalam kategori pekerja keras. Jadi, kesehatan fisik dan disiplin
menjadi indikator kedua untuk dapat mengukur siapakah yang layak
disebut sebagai pekerja keras.

Pertanyaannya sekarang, jika pekerja keras dapat didefinisikan
dengan ukuran jumlah waktu kerja, kesehatan fisik, dan disiplin
kerja, bagaimanakah kita mengukur atau mendefinisikan "pekerja
kreatif" yang bekerja secara cerdas?

Ada orang yang menggunakan istilah "Lazy Achiever" untuk menunjuk
kepada kaum pekerja kreatif ini. Istilah ini sangat provokatif,
sebab bagaimana mungkin seorang pemalas bisa berprestasi? Namun
terlepas dari istilahnya itu, ia menawarkan konsep untuk bekerja 4-5
jam sehari dengan hasil-hasil yang sama atau bahkan lebih baik dari
orang-orang yang bekerja 9-10 jam sehari. Dengan kata lain, pekerja
kreatif adalah mereka yang bekerja dengan waktu yang lebih singkat
untuk memperoleh hasil yang sama atau lebih baik. Disamping itu,
konsep "Lazy Achiever" menunjuk kepada orang-orang yang bisa bekerja
secara mandiri atau berkolaborasi dan tidak terikat pada lokasi
kerja yang disebut kantor. Tempat kerja kaum kreatif ini bisa dimana
saja, mulai dari rumah, garasi, kafe, lobby hotel, kantin sekolah,
taman rekreasi, dan sebagainya. Dan mereka dimungkinkan untuk
bekerja dimana saja karena perlengkapan kerjanya mudah dibawa kemana-
mana (mobile working tools).

Jadi, kerja kreatif diartikan sebagai bekerja dengan waktu lebih
pendek dan fleksibel, secara mandiri atau berkolaborasi, di lokasi
kerja yang juga fleksibel, dengan hasil-hasil yang berkualitas
tinggi. Untuk itu tidak saja diperlukan fisik yang sehat dan
disiplin, tetapi dipersyaratkan penggunaan potensi kecerdasan
lainnya yang telah dikembangkan secara memadai.

Dengan pemahaman seperti di atas, muncul pandangan bahwa kerja keras
adalah fondasi yang perlu, tetapi tidak akan membawa seseorang
kepada kehidupan yang berkualitas. Kerja keras merupakan persyaratan
yang diperlukan, tetapi tidak mencukupi (necessary but not
sufficient condition) untuk menikmati kehidupan yang berkualitas dan
penuh makna. Dan kerja keras hanya menarik jika kita masih dalam
rentang usia 20-40 tahun. Setelah lewat usia 40 tahun, kita
seharusnya telah mampu bekerja secara cerdas, menjadi pekerja
kreatif, yang memberi makna pada hidup yang fana. Demikiankah?[aha]

Tabik Mahardika!

Sumber: Kerja Kreatif, Siapa Bisa? oleh Andrias Harefa, Penulis 28 Buku Laris.

01 November 2006

Artikel Keluarga > Bunda, Luar Biasa!

Seorang anak terlahir normal, tanpa cacat sedikit pun. Proses kelahirannya berlangsung normal, tanpa operasi caesar. Tetapi proses panjang selama sembilan bulan sebelum melahirkan itulah yang tidak normal. Bahkan, jika bukan karena kuasa Allah, takkan pernah terjadi sebuah kelahiran yang menakjubkan ini. Selain faktor Allah, tentu saja ada sang bunda yang teramat luar biasa...

Pekan pertama setelah mengetahui bahwa dirinya positif hamil, Sinta mengaku kaget bercampur haru. Perasaan yang luar biasa menghinggapi seisi hidupnya, sepanjang hari-harinya setelah itu. Betapa tidak, sekian tahun lamanya ia menunggu kehamilan, ia teramat merindui kehadiran buah hati penyejuk jiwa di rumah tangganya. Dan kenyataannya, Allah menanamkan sebentuk amanah dalam rahimnya. Sinta pun tersenyum gembira.

Namun kebahagiaan Sinta hanya berlangsung sesaat, tak lebih dari dua pekan ia menikmati hari-hari indahnya, ia jatuh sakit. Dokter yang merawatnya tak bisa mendiagnosa sakit yang diderita Sinta. Makin lama, sakitnya bertambah parah, sementara janin yang berada dalam kandungannya pun ikut berpengaruh. Satu bulan kemudian, Sinta tak kunjung sembuh, bahkan kondisinya bertambah parah. Dokter mengatakan, pasiennya belum kuat untuk hamil sehingga ada kemungkinan jalan untuk kesembuhan dengan cara menggugurkan kandungannya.

Sinta yang mendengar rencana dokter, langsung berkata "tidak". Ia rela melakukan apa pun untuk kelahiran bayinya, meski pun harus mati. "bukankah seorang ibu yang meninggal saat melahirkan sama dengan mati syahid?" ujarnya menguatkan tekad.

Suaminya dan dokter pun sepakat menyerah dengan keputusan Sinta. Walau mereka sudah membujuknya dengan kalimat, "kalau kamu sehat, kamu bisa hamil lagi nanti dan melahirkan anak sebanyak kamu mau". Namun Santi tak bergeming. Janin itu pun tetap bersemayam di rahimnya.

Waktu terus berjalan, memasuki bulan ketiga, Sinta mengalami penurunan stamina. Keluarga sudah menangis melihat kondisinya, tak sanggup melihat penderitaan Sinta. Tak lama kemudian, dokter menyatakan Sinta dalam keadaan kritis. Tidak ada jalan lain, janin yang sudah berusia hampir empat bulan pun harus segera dikeluarkan demi menyelamatkan sang bunda.

Dalam keadaan kritis, rupanya Sinta tahu rencana dokter dan keluarganya. Ia pun bersikeras mempertahankan bayinya. "Ia berhak hidup, biar saya saja yang mati untuknya". Santi pun memohon kepada suaminya untuk mengabulkan keinginannya ini. "Mungkin saja ini permintaan terakhir saya Mas, biarkan saya meninggal dengan tenang setelah melahirkan nanti. Yang penting saya bisa melihatnya terlahir ke dunia," luluhlah sang suami. Pengguguran kandungan pun batal.

Bulan berikutnya, kesehatan Sinta tak berangsur pulih. Di bulan ke enam kehamilannya, ia drop, dan dinyatakan koma. Satu rumah dan dua mobil sudah habis terjual untuk biaya rumah sakit Sinta selama sekian bulan. Saat itu, suami dan keluarganya sudah nyaris menyerah. Dokter dan pihak rumah sakit sudah menyodorkan surat untuk ditandatangani suami Sinta, berupa surat izin untuk menggugurkan kandungan. Seluruh keluarga sudah setuju, bahkan mereka sudah ikhlas jika Allah berkehendak terbaik untuk Sinta dan bayinya.

Seorang bunda memang selalu luar biasa. Tidak ada yang mampu menandingi cintanya, dan kekuatan cinta itu yang membuatnya bertahan selama enam bulan masa kehamilannya. Maha Suci Allah yang berkenan menunjukkan kekuatan cinta sang bunda melalui Sinta, menjelang sang suami menandatangani surat izin pengguguran, Santi mengigau dalam komanya. "Jangan, jangan gugurkan bayi saya. Ia akan hidup, begitu juga saya" Kemudian ia tertidur lagi dalam komanya.

Air mata meleleh dari pelupuk mata sang suami. Ia sangat menyayangi isteri dan calon anaknya. Surat pun urung ditandatanganinya, karena jauh dari rasa iba melihat penderitaan isterinya, ia pun sangat memimpikan bisa segera menggendong buah hatinya. Boleh jadi, kekuatan cinta dari suami dan isteri ini kepada calon anaknya yang membuat Allah tersenyum.

Allah Maha Kuasa. Ia berkehendak tetap membuat hidup bayi dalam kandungan Sinta meski sang bunda dalam keadaan koma. Bahkan, setelah hampir tiga bulan, Sinta tersadar dari komanya. Hanya beberapa hari menjelang waktu melahirkan yang dijadwalkan. Ada kekuatan luar biasa yang bermain dalam episode cinta seorang Sinta. Kekuatan Allah dan kekuatan cinta sang bunda.

Bayi itu pun terlahir dengan selamat dan normal, tanpa cacat, tanpa operasi caesar. "Mungkin ini bayi termahal yang pernah dilahirkan. Terima kasih Allah, saya tak pernah membayangkan bisa melewati semua ini," ujar Sinta menutup kisahnya.

Sumber: Bunda, Luar Biasa! oleh Bayu Gawtama