14 October 2015

Siapakah Nane Lagergren istri Kofi Annan itu?

Dapat kiriman artikel menarik dari Mas Budi Saksono, tentang "Sejarah Dinasti Rothschild". Membaca dengan asiknya, tapi gak selesai-selesai, sejarahnya cukup lengkap dari tahun lawas sekali sampai mendekati kekinian. Akhirnya membaca dari bawah, lalu ketemu tulisan ini:

"..1997 : Kofi Annan menjadi Sekretaris Jenderal PBB. Istrinya, Nane Lagergren, adalah keturunan dari Rothschild.."

Ini jelas berita, aku selalu bertanya mengapa kok sekjen PBB umumnya selalu menjadi antek dari kekuatan barat dan ekonomi dunia, jemariku bergerak mencari..

aku search "Nane lagergren", ketemu dia di wikipedia swedia: dengan nama "Nane Annan", dengan bantuan sedikit google chrome translate, dapatlah profil dia:


Kofi Annan dan Nane istrinya sedang menghadiri acara "Holocaust Remembrance Day January 27, 2012" di the Raoul Wallenberg Square - Stockholm. Raoul Wallenberg on the poster in the background.

Dari foto tersebut ada nama  "Raoul Wallenberg", nama salah satu orang tua Nane. Tadinya saya search Gunar Lagergreen, nama orang tua salah satunya dari Nane (saya tak tahu yang mana perempuan yang mana pria dari kedua nama ini, kecuali setelah melihat foto Roul di poster :). 

Saya search nama "Raoul Wallenberg" ketemulah profil beliau di wikipedia. Lagi-lagi dalam bahasa Swedia, dan saya harus menggunakan translator lagi. Dari tambahan artikel ini barulah saya faham kalau Anna memang benar-benar keturunan Yahudi, selain dia menghadiri peringatan acara holocaust, ayahnya Anna ini juga diceritakan berhasil menyelamatkan seratur ribuan bangsa Yahudi dari Hongaria atas pendudukan Nazi. 

Raoul Wallenberg

Dari laman wikipedia Raoul ini saya mendapati nama ayahnya: Raoul Oscar Wallenberg, saya coba search lagi. Saya menemukan situs pohon keturunan (genealogy) Geny tentang profil Kakek Anna Lagergren ini . 


Genealogy keluarga Raoul Oscar Wallenberg

Mengejutkan sekali menelusuri pohon keluarga mereka. Betapa ini memang keluarga besar yang tercatat dalam sejarah dan didokumentasikan dengan baik. Saya mencoba jalur dari ayah Anna ini yaitu "Raoul Oscar Wallenberg", tidak menemukan keluarga Rothschild di sini. Lalu saya mencoba jalur dari "Maria Sofia Wising", ketemulah kemudian 



Maria Sofia Wising merupakan Ibu dari Nina Viveka Maria von Darde, lalu muncullah nama "Annan (Lagergren) yang disembunyikan datanya (private). Saya klik lagi data Annan Lagergren ini, yang link-nya kalau saya coba copas di jendela browser yang baru tidak bisa (keren juga nih Geni). Screenshotnya tampil sbb:


Kita lihat muncul tulisan : Spouse of Kofi Annan, beliau istri Kofi Annan. Agak mengherankan profilnya disembunyikan, dan memang di pohon keluarganya, Nane lagergren ini tidak tampak. 

...bersambung...







13 October 2015

"Surat Dokter Mesir kepada Raja Salman Soal Kejanggalan Insiden Mina" dan "Foto-Foto Cara Iran Sambut Jenazah Haji dari Arab Saudi"




Postingan teh Merry Mariam Syarifah Andani :

https://www.facebook.com/merry.andani/posts/10206882801402298

kok sepertinya nyambung dengan artikel ini?


Surat Dokter Mesir kepada Raja Salman Soal Kejanggalan Insiden Mina

SEORANG dokter Mesir yang juga mantan penasihat Departemen Kesehatan dan Kependudukkan, Abdul Hamid Fauzi, mengirim surat kepada Raja Salman bin Abdul Aziz, meminta jasad korban tragedi Mina diotopsi oleh tim forensik sebelum dimakamkan.

Dilansir Cairoportal.com, Senin (28/9), dokter kelahiran Mesir yang saat ini menetap di Saudi itu mengungkapkan, setelah mengunjungi rumah-rumah sakit yang merawat korban tragedi Mina, dirinya yakin adanya tangan berdosa di balik musibah mengerikan ini yang meledakkan gas beracun di tengah lautan jemaah haji, sehingga mengakibatkan banyak korban tewas dan luka-luka.

Berikut teks surat dr. Abdul Hamid Fauzi kepada Raja Salman seperti dilansir:

“Dari warga Mesir kepada tuan Penjaga Dua Masjid Suci yang semoga dilindungi Allah”
Hari ini wahai tuanku, saya mendapatkan pengalaman tragis ketika mencari keponakanku yang hilang pasca insiden Mina yang mengerikan itu. Saya merasa tenang, setelah berkeliling mencari dari jam enam pagi hingga delapan malam, dan mendapatkan keponokanku dalam keadaan baik-baik saja, Alhamdulillah…

Namun, selama saya mencari keponakanku di seluruh rumah sakit di Mina, Arafah, Mekkah dan Jeddah dan bertanya seluruh lembaga medis tanpa terkecuali, termasuk Direktorat Kesehatan di Mekkah dan berdasarkan pengalamanku 30 tahun lebih di departemen kesehatan, saya menemukan dua catatan penting yang ingin saya sampaikan kepada Anda. Saya berpikir, satu dari dua catatan itu harus menjadi kebanggaan dan catatan lainnya harus menjadi masalah serius yang harus di perhatikan seluruh masyarakat.

Catatan Pertama:
Tingkat layanan di semua rumah sakit yang saya kunjungi, layak dibanggakan Kerajaan dan kita semua sebagai warga Arab. Yang saya maksud di sini bukan hanya bangunan dan peralatannya saja (ini sudah diketahui masyarakat luas), akan tetapi yang saya maksud di sini mengenai pelayanan para petugas. Anda berhasil wahai tuanku membangun warga Saudi yang paham dengan kondisi yang dialami negara mereka setelah bencana ini. Pelayanan mereka baik dan membantu dengan cinta dan kasih sayang. Saya mendapati sikap baik para petugas itu di lembaga-lembaga kesehatan, mulai dari Direktur Direktorat Urusan Kesehatan di Mekkah hingga penjaga keamanan di pintu rumah sakit. Bukan saya saja yang merasakan pelayanan itu karena saya berprofesi dokter. Akan tetapi, saya menyaksikan sikap itu diberlakukan kepada orang-orang yang seperti saya yang mencari sanak keluarga yang hilang. Saya ucapkan selamat dari hati terdalam atas kesuksesan Anda dalam hal ini.

Catatan Kedua:
Ini yang saya pikir sangat serius yang harus kita perhatikan, teliti dan selidiki, yaitu: “Saya melihat wahai tuanku, mayoritas korban selamat yang saya saksikan sendiri mengalami kondisi aneh: mulai dari amnesia, tidak ada sedikitpun goresan, memar atau luka di tubuh mereka. Ini terjadi bukan hanya pada satu atau dua korban, namun pada puluhan korban sehingga memaksa rumah sakit menulis nama pasien dengan nama (Majhul (tidak diketahui)) karena pasien tidak mampu mengingat namanya, nama negaranya atau di mana dia berada saat ini. Begitu juga, ada puluhan korban meninggal yang disimpan di lemari pendingin tidak ditemukan di tubuh mereka luka sedikitpun yang memungkinkan kita menilai penyebab kematian mereka. Sehingga, tim forensik harus turun tangan untuk menyelidiki penyebab kematian mereka. Saya berharap tim forensik segera turun tangan untuk menyelidiki keanehan ini dalam rangka menjaga nyawa umat Islam. Karena, insiden semacam ini dan hasilnya bertolak belakang dengan logika serta nalar, sehingga menegaskan kecurigaan seorang ahli.

Saya menduga dalam keanehan ini, adanya tangan berdosa yang meledakkan bom gas di tengah lautan jamaah haji yang berdesak-desakan sehingga mengakibatkan korban meninggal dan luka-luka. Tidak hanya saya yang curiga dengan insiden ini, dokter-dokter senior di rumah sakit-sakit juga sama.


Catatan Terakhir:
Yaitu pengakuan polos dari seorang petani perempuan Mesir dari kota Dimyath (kota Mesir yang terletak di muara Delta Nil) kepada ku setelah saya bertanya: Apa yang terjadi wahai bu haji, saat itu dia dalam keadaan setengah sadar, kemudian dia berkata, “Setelah kami melewati Muzdalidah, di belakang kami berjalan jamaah besar dari Afrika, orang-orang dari negara hitam. Tiba-tiba kami bertemu dengan jamaah yang disebut dari Iran. Mereka berhenti di hadapan kami, sampai-sampai saya berkata kasar kepada mereka. Mereka membuat hajiku sia-sia (karena aku berkata kasar -edt), semoga Allah mengampuniku dan mengampuni yang lain. Seketika itu saya melihat ke belakang, saya mendapati orang saling bertabrakan, saya pun pingsan kemudian saya sadar dan saya sudah berada di sini”.
Ini wahai tuanku kesaksian petani Mesir supaya menjadi perhatian khusus dari Anda jika kita cocokkan ini dengan foto yang menyebar mengenai kondisi korban meninggal dan jika kita memperhatikan kasus kehilangan kesadaran dan amnesia yang mereka alami. Tidak didapatkan dalam kamus medis wahai tuanku, berdesak-desakan dan keramaian mengakibatkan hilangnya ingatan secara keseluruhan.

Tuanku Penjaga Dua Masjid Suci, ini adalah jeritan warga Muslim Mesir, yang cinta agama dan negaranya. Semoga jeritan ini sampai kepada Anda, semoga Allah menjaga Anda, negara Anda, warga Arab dan kaum Muslimin.


Saudara Kalian

Abdul Hamid Fauzi Ibrahim Abu Sa’ad
Mantan Penasihan Departemen Kesehatan dan Kependudukan Mesir

Sejarah dan Asal-Usul Islam Aliran Syi’ah

dari berbagai sumber oleh Bang OK Taufik



Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan. Sedang dalam istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang di komandoi oleh Abdullah bin Saba’ mengintrodusir ajarannya dengan terang-terangan dan menggalang masa untuk memproklamirkan bahwa kepemimpinan (baca: Imamah) sesudah Nabi saw sebenarnya ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi saw.

Namun, menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Syiah ialah golongan yang mendakwa Sayyidina Ali lebih utama daripada sahabat-sahabat lain dan paling berhak untuk memimpin umat Islam selepas kewafatan Rasulullah saw.

Mereka juga mendakwa bahawa Sayyidina Ali merupakan pengganti yang telah dipilih oleh Rasulullah saw secara nas. Di samping itu mereka juga mempunyai fahaman-fahaman lain yang bertentangan dengan akidah Islam .

Golongan Syiah telah terpecah kepada lebih daripada 300 kumpulan kerana wujudnya fahaman-fahaman yang saling bertentangan.

Kita akan tumpukan kepada salah satu daripada kumpulan-kumpulan tersebut yang di kenali dengan kumpulan Syiah Imamiyyah Ithna Asyariyyah atau Syiah Imam dua belas. Aliran inilah yang dipegang dan dianuti oleh kerajaan Iran sekarang.

Kumpulan ini dikenali juga sebagai Syiah Rafidhah kerana kumpulan ini menolak kepimpinan Sayyidina Abu Bakr dan Sayyidina Umar.

Keyakinan itu berkembang sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke Madain.

Aliran Syi’ah pada abad pertama Hijriah belum merupakan aliran yang solid sebagai trand yang mempunyai berbagai macam keyakinan seperti yang berkembang pada abad ke dua Hijriah dan abad-abad berikutnya.

 POKOK-POKOK PENYIMPANGAN SYI’AH PADA PERIODE PERTAMA:

    1. Keyakinan bahwa Imam sesudah Rasulullah saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib r.a.

    2. Keyakinan bahwa Imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).

    3. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari kiamat, untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.

    4. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghoib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.

    5. Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib karena keyakinan tersebut.

    6. Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.

    7. Keyakinan mencaci maki para sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, hal.237).

    8. Aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku, Pada abad kedua Hijriah perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaeni dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.
 POKOK-POKOK PENYIMPANGAN SYI’AH SECARA UMUM :

1. Pada Rukun Iman:
Syi’ah hanya memiliki 5 rukun Iman tanpa menyebut keimanan kepada para Malaikat, Rasul dan Qodho dan Qodar, yaitu : 1. Tauhid (Keesaan Allah), 2. Al ‘Adl (Keadilan Allah), 3. Nubuwwah (Kenabian), 4. Imamah (Kepemimpinan Imam), 5. Ma’ad (Hari kebangkitan dan pembalasan). (lihat ‘Aqa’idul Imamiyyah oleh Muhammad Ridho Mudhoffar dll.)

2. Pada Rukun Islam:
a.  Syi’ah tidak mencantumkan Syahadatain dlm rukun Islam, yaitu : 1. Sholat, 2. Zakat, 3. Puasa, 4. Haji, 5. Wilayah (Perwalian) (lihat Al Kafie juz II hal. 18).

b.  Syi’ah meyakini bahwa Al-Qur’an sekarang ini telah dirubah, ditambah atau dikurangi dari yg seharusnya. (lihat Al-Qur’an Surat Al _Baqarah/ 2:23). Karena itu mereka meyakini : Abu Abdillah (Imam Syi’ah) berkata : “Al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril a.s. kepada Nabi Muhammad saw. Adalah tujuh belas ribu ayat (Al Kafi fil Ushul juz II hal 634). Al-Qur’an mereka yang berjumlah 17.000 ayat itu disebut Mushaf Fatimah (lihat kitab Syi’ah Al Kafi fil Ushul juz I hal 240-241 dan Fathul Khithob karangan Annuri Ath Thibrisy).

3. Syi’ah meyakini bahwa mereka para sahabat sepeninggal Nabi Muhammad saw. adalah murtad, kecuali beberapa orang saja seperti : Al-Miqdad bin al_Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisy (Ar Raudhah minal Kafi juz VIII hal. 245, Al-Ushul minal Kafi juz hal. 244)

4. Syi’ah menggunakan senjata taqiyyah yaitu berbohong, dengan cara menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya, untuk mengelabuhi (Al Kafi fil Ushul juz II hal. 217)

5. Syi’ah percaya kepada Ar-Raj’ah yaitu kembalinya roh-roh ke jasadnya masing-masing di dunia ini sebelum Qiamat, di kala Imam Ghaib mereka keluar dari persembunyiannya dan menghidupkan Ali dan anak-anaknya untuk balas dendam kepada lawan-lawannya.

6. Syiah percaya kepada Al Bada’ yakni tampak bagi Allah dalam hal keimanan Ismail (yang telah dinobatkan keimanannya oleh ayahnya, Ja’far As-Shidiq, tetapi kemudian meninggal di saat ayahnya masih hidup) yang tadinya tidak tampak. Jadi bagi mereka , Allah boleh khilaf, tetapi Imam mereka tetap maksum (terjaga).

7. Syi’ah membolehkan nikah mut’ah yaitu nikah kontrak dengan jangka weaktu tertentu (lihat Tafsir Minhajus Shodiqin juz II hal. 493). Padahal hal itu telah diharamkan oleh Rasulukllah SAW Yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib sendiri.

 Dinasti Safawi

SETELAH Baghdad ditaklukkan oleh Mongol pada tahun 1258, banyak perubahan penting yang terjadi di kawasan Iran, Iraq, dan sekitarnya.

Dalam proses penaklukkan itu, banyak kaum Muslimin yang terbunuh, terpaksa hijrah ke tempat lain. Kehidupan ekonomi mengalami penurunan, begitu juga dengan aktivitas intelektual dan keagamaan.

Beberapa waktu setelah itu, bangsa Mongol yang menaklukkan wilayah tersebut dan memimpin di bawah Dinasti Ilkhan itu masuk Islam.

Agama ini kembali berkembang di tengah masyarakat. Namun jika pada masa sebelumnya pemerintahan Islam relatif dapat menjaga masyarakat dari berbagai bentuk penyimpangan agama, pada masa setelah invasi Mongol berbagai aliran keagamaan muncul dan berkembang di wilayah ini tanpa pengawalan.

Dinasti Ilkhan sendiri sangat toleran terhadap berbagai aliran keagamaan yang pada gilirannya membantu tumbuh suburnya berbagai kelompok keagamaan di Iran dan sekitarnya (Bosworth et.al., 1995: 766).

Di antara bentuk bentuk keagamaan yang berkembang pada masa itu adalah apa yang disebut oleh sebagian peneliti sebagai sinkretisme Sunni-Syiah. Hal ini banyak tersebar di tengah masyarakat dan merupakan salah satu ekspresi keagamaan yang populer. Bentuk ekspresinya beragam antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Bentuk keyakinan yang populer di masyarakat ini mencakup kepercayaan terhadap kemampuan supranatural, mistisisme Islam, pemujaan terhadap orang suci, dan juga pemujaan terhadap Ali bin Abi Thalib ra. Hal ini sudah ada sejak sebelum invasi Mongol, tetapi sejak pertengahan abad ke-13 pertumbuhannya menjadi semakin pesat. Bentuk keagamaan ini pada umumnya berkembang di tengah kelompok-kelompok sufi (Jackson et.al., 1986: 191 & 194).

Istilah sinkretisme Sunni-Syiah mungkin bukan istilah yang tepat untuk menggambarkan keseluruhan fenomena yang ada dan dapat menimbulkan kesalahpahaman, walaupun hal itu berlaku di sebagian masyarakat Iran ketika itu.

Kepercayaan pada karamah, adanya wali Allah, serta pengagungan terhadap Ali bin Abi Thalib ra. dan ahlul bait Nabi sudah ada sejak masa sebelumnya dalam ajaran tasawuf di kalangan Ahlu Sunnah Wal Jamaah dan masih ada hingga sekarang ini.

Namun pada masa itu tampaknya sebagian kalangan Syiah yang tidak menampakkan identitasnya secara terbuka juga menjadikan tasawwuf sebagai ekspresi keagamaannya. Sehingga orang yang melakukan penelitian tentang keagamaan di Iran dan sekitarnya pada abad ke-13 hingga 15 akan kesulitan untuk membedakan antara Sunni dan Syiah yang berkembang di tengah masyarakat, karena mereka memiliki ciri-ciri yang mirip.

Perbedaan antara Ahlu Sunnah dan Syiah di tengah masyarakat belakangan mengkristal setelah terjadinya konflik serius antara Dinasti Safawi yang Syiah dengan Turki Utsmani yang Sunni.

Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Iran sebelum abad ke-16 kebanyakannya menganut paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah, terlepas dari tingkat ortodoksi keyakinan mereka (Johnson, 1994; Turner, 2000: 50; Jackson et.al., 1986).

Keadaan ini berubah setelah berdirinya Dinasti Safawi pada awal abad ke-16 yang menjadikan Syiah Itsna Asyariyah sebagai keyakinan resmi negara dan memaksakannya di tengah masyarakat.

Selama masa pemerintahan Dinasti Safawi telah terjadi perubahan besar yang membentuk Persia menjadi Syiah (Nasr, 1974: 273), yang pengaruhnya terus terasa hingga saat ini.*

Masa pemerintahan Dinasti Safawi bermula dengan ditaklukkannya kota Tabriz oleh Shah Ismail (w. 1524) dan berakhir dengan jatuhnya kota Isfahan ke tangan Afghanistan pada tahun 1722 (Newman, 2009: 2). Namun, eksistensi dan sejarah ‘Dinasti Safawi’ sendiri perlu dirujuk jauh ke belakang untuk memahami latar belakang kemunculannya di pentas politik Iran. Ia berawal dari tarekat sufi yang didirikan oleh Syeikh Safiyuddin Ishaq (1252-1334) sekitar tahun 1300, dua abad sebelum keturunannya mendirikan dinasti politik. Nama tarekat itu sendiri, yaitu tarekat Safawiyah, diambil dari namanya. Syeikh Safiyuddin yang merupakan keturunan Kurdi berasal dari kota Ardabil yang terletak di Barat Laut Iran dan berbatasan dengan Azerbaijan. Kota ini juga menjadi pusat dari tarekat Safawiyah selama dua abad berikutnya.

Selain peranannya sebagai seorang murshid dan guru sufi yang dijunjung tinggi oleh para pengikutnya, Syeikh Safiyuddin juga terlibat dalam aktivitas perdagangan dan politik. Tarekatnya berkembang cukup luas dan para pengikutnya tersebar hingga ke Mesir, Kaukasus, dan Teluk Persia (Jackson et.al., 1986: 190-192). Selepas Syeikh Safiyuddin, kepemimpinan tarekat Safawiyah diteruskan oleh anak cucunya, secara berturut-turut: Sadruddin Musa (w. 1391), Khwaja Ali (w. 1429), Ibrahim, Junayd (w. 1460), Haydar (w. 1488), dan Ismail (w. 1524) yang mendirikan kerajaan Safawi.

Tidak diketahui secara pasti siapa di antara pemimpin tarekat Safawiyah ini yang pertama kali menganut Syiah. Tetapi para peneliti berpendapat bahwa Syeikh Safiyuddin sendiri merupakan seorang Sunni bermadzhab Syafii dan tarekat Safawiyah pada awalnya merupakan sebuah tarekat Sunni. Perubahan signifikan mulai terjadi pada masa kepemimpinan Junayd dan Haydar yang memiliki ambisi politik dan mulai mengubah tarekat yang mereka pimpin menjadi gerakan militer dan politik dengan tendensi Syiah yang cukup menonjol.

Obsesi politik Junayd dan keturunannya menemukan dukungan pada orang-orang Turki Anatolia dan Suriah yang bergabung dengan tarekat Safawiyah. Mereka memiliki keberanian dan loyalitas yang tinggi, yang kelak menjadi tulang punggung militer Safawi. Pemahaman keagamaan mereka bercampur aduk dengan keyakinan-keyakinan menyimpang, termasuk pemahaman Syiah ekstrim yang memuja pemimpin mereka seperti tuhan. Dikatakan bahwa pada masa Junayd, para pengikutnya menyebutnya sebagai ‘tuhan’ dan putranya sebagai ‘anak tuhan’ (Matthee, 2008; Bosworth et.al., 1995: 767). Bagaimanapun, fanatisme yang berlebihan itu ikut berperan dalam membantu para pemimpin Safawi meraih keberhasilan militer dan politik serta menaklukkan bekas-bekas wilayah Dinasti Ilkhan dan Timur Lang yang ketika itu terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan terpisah.

Junayd memulai gerakan itu dengan menghimpun dan melatih para pengikut Turki-nya sebagai tentara. Haydar mengembangkannya lebih jauh dan memberi identitas khas pada para pendukung gerakan ini dengan mengenakan peci merah yang disebut sebagai taj-i haydari (peci Haydar). Peci merah ini diberi tanda berupa dua belas garis yang menandai dua belas Imam Syiah. Orang-orang yang mengenakan peci ini belakangan mendapat julukanqizilbashlar yang bermakna ‘kepala merah’ dan kesatuan militer tempat mereka bernaung menjadi sebuah lembaga dengan nama qizilbash.

Junayd dan Haydar tidak berhasil dalam upaya mereka meraih kekuasaan politik. Keduanya gugur dalam pertempuran. Obsesi politik itu akhirnya berhasil diwujudkan oleh salah seorang putera Haydar yang bernama Ismail. Usia Ismail masih belasan tahun saat ia mengambil alih kepemimpinan tarekat Safawiyah yang kini sudah berubah militan itu.

Belia dan penuh ambisi, dibantu oleh para anggota qizilbash yang radikal, memuja pemimpinnya sebagai inkarnasi tuhan, dan bersedia mati untuknya, Ismail berhasil mencapai apa yang dicita-citakan oleh kakek dan ayahnya. Ia mengalahkan kerajaan-kerajaan yang ada di Iran dan sekitarnya serta mendirikan sebuah kerajaan baru di bawah Dinasti Safawi.

Pada tahun 1499, Ismail dan beberapa pengikutnya keluar dari Lahijan, tempat ia menjalani pengasuhan masa kecilnya, menuju Ardabil dan kemudian Anatolia. Di kota Irzinjan (Anatolia, Turki), ia berhimpun dengan lebih banyak pengikutnya yang tidak aktif sejak kematian ayahnya sekitar satu dekade sebelumnya.

Pada tahun berikutnya, Ismail dan pasukannya berhadapan dengan pasukan Shirvansah, kesultanan Sunni yang berpusat di Shirvan, Azerbaijan, yang dahulu telah mengalahkan ayah dan kakeknya. Kali ini kemenangan ada di pihak Ismail. Pada tahun 1501, Ismail dan pasukannya berhasil mengalahkan pasukan kesultanan Aq Qayunlu dan merebut kota Tabriz yang terletak di Barat Laut Iran dan berdekatan dengan Azerbaijan. Kota Tabriz dahulunya merupakan ibukota kesultanan Ilkhan, belakangan kesultanan Aq Qayunlu dan juga Qara Qayunlu (Newman, 2009: 11).*