23 June 2014

Pengakuan mantan sekda Solo




Merdeka.com - Warga Solo ternyata tidak semuanya mendukung Jokowi untuk jadi presiden. Bahkan salah satu mantan anak buah Jokowi mengkritik habis-habisan capres PDIP itu. Adalah Supradi Kertamenawi yang berani mengkritik Jokowi. Supradi adalah mantan anak buah Joko Widodo (Jokowi) semasa menjadi wali kota Solo. Supradi menyebut, mantan atasannya tak sesukses yang diomongkan banyak pihak sewaktu memimpin Kota Bengawan.

Supradi sendiri pernah menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Solo tahun 2009-2010. Menurutnya tidak banyak yang dilakukan Jokowi sewaktu menjadi wali kota Solo.

Bahkan pria yang saat ini menjadi pendukung Prabowo - Hatta tersebut mengatakan, banyak program-program Jokowi yang saat ini mangkrak. Supradi juga tak segan menyebut Jokowi hanya pandai melakukan pencitraan. Apa saja kritikan Supradi kepada Jokowi? Berikut kisahnya:


1.Program Jokowi mangkrak

Merdeka.com - Menurut Supradi banyak program-program Jokowi di Solo yang saat ini mangkrak. Misalnya, pembangunan beberapa taman, seperti Sekar Taji, Terminal Tirtonadi, City Walk yang semrawut, Railbus, Pasar tradisional, dan lain-lain.

"Kalau pemindahan ribuan PKL Banjarsari ke Pasar Notoharjo itu kan peran Pak Rudy (wakil wali kota saat itu). Kemudian juga adanya bantuan modal dari Kementerian Koperasi pada tiap PKL sebesar Rp 5 juta. Itu yang membuat pemindahan PKL lancar," ujar Supradi, saat ditemui merdeka.com, di Solo, Minggu (22/6) kemarin.

Supradi mengetahui hal tersebut karena saat itu dirinya menjabat sebagai Kepala Dinas Koperasi. Menurut Supradi keberhasilan pemindahan PKL tersebut telah membuat nama Jokowi menjadi terkenal. Namun sayangnya, lanjut Supradi, keberhasilan tersebut menjadi tunggangan Jokowi untuk menjadi gubernur dan presiden.

Supradi menyayangkan saat ini banyak masyarakat yang tidak mengetahui kinerja Jokowi sebenarnya di Solo. Padahal beberapa bangunan hingga saat ini masih mangkrak. Banyak kios di pasar tradisional yang dibiarkan kosong. Sementara kemiskinan di Solo, juga masih tinggi.


​​
2.Kemiskinan di Solo meningkat

Merdeka.com - Supardi mempertanyakan pihak-pihak yang menyatakan Jokowi sukses membangun Solo. Menurut mantan Sekda itu, banyak program yang saat ini mangkrak. Selain itu di era Jokowi, kemiskinan juga meningkat.

"Sebut saja Terminal Tirtonadi, taman Sekar Taji, City walk, kios pasar kosong, masih banyak yang lainnya. Tingkat kemiskinan di Solo selalu naik, waktu zamannya dia. Sukses dari mana ?," ujarnya saat ditemui merdeka.com, di Solo, Minggu (22/6) kemarin.

Supradi mengaku tak mempunyai permasalahan apapun dengan Jokowi. Waktu menjadi anak buahnya di Pemkot Solo, dirinya mengaku juga tak pernah ada permasalahan.

"Penilaian saya obyektif, saya hanya bicara fakta. Pak Jokowi belum pantas memimpin Indonesia. Kita butuh pemimpin yang tegas, cerdas, dan bisa mengayomi bangsa," pungkasnya.

​​
3.Mobil Esemka hanya jadi kendaraan politik Jokowi

Merdeka.com - Masih ingatkah anda dengan mobil ESEMKA? Mobil yang diklaim sebagai mobil nasional murni buatan anak negeri, buatan anak-anak SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang dirakit di bengkel Sukiyat, Solo. Harus diakui mobil yang diganti plat nomornya dengan pelat merah AD 1 A, dan AD 2 A tersebut, telah melejitkan nama Jokowi sampai setinggi langit.

Apalagi setelah dibawa ke Jakarta, untuk menjalani uji emisi. Publikpun dibuat terpesona, masyarakat terharu dan sulit percaya, ternyata ada putra bangsa yang punya prestasi luar biasa. Sesuatu yang tidak pernah terpikir sebelumnya, yaitu membuat mobil sendiri. Joko Widodo (Jokowi) yang saat itu menjabat wali kota Solo dengan bangga memperkenalkan dan mendukung kelahiran mobil itu. Namanyapun dipuja-puja bak seorang dewa, dan menjadi buah bibir di mana-mana.

Nama Esemka, yang dulu dibangga-banggakan, sekarang seolah tenggelam. Berbanding terbalik dengan nama Jokowi, yang semakin moncer, saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, hingga sekarang menjadi salah satu calon presiden RI. Tak sedikit kalangan menilai, Esemka hanya digunakan Jokowi sebagai kendaraan politik untuk meraih kursi gubernur Ibu Kota.

Supradi Kertamenawi, misalnya. Mantan Sekda Kota Solo era Jokowi ini bahkan terang-terangan menyebut, mantan bosnya tersebut sengaja menggunakan Esemka sebagai kendaraan politik untuk menuju ibu kota. Setelah tercapai tujuannya, menjadi gubernur, Jokowi tak peduli lagi dengan nasib Esemka. Mobil berpelat merah AD 1 A, dan AD 2 A pun saat ini hanya menjadi pajangan di Solo Tecno Park (STP), tempat produksi Esemka.

"Jelas Esemka itu hanya sebagai tunggangan. Menurut kami, Esemka itu kan sebuah lembaga pendidikan, lembaga pengetahuan. Kalau dia mau bikin mobil kan seharusnya bikin tempat produksi. Kalau STP sekarang dibikin sebagai tempat produksi, namanya itu nyalahi pakem (aturan)," ujar Supradi, saat ditemui merdeka.com, di Solo, Minggu (22/6) kemarin.

​​
4.Gaya berpakaian Jokowi hanya pencitraan
Merdeka.com - Penampilan capres Joko Widodo (Jokowi) yang terkesan sederhana dan merakyat, dengan baju putih atau kotak-kotak, celana hitam serta sepatu ket dinilai hanya sebuah pencitraan. Tujuannya adalah merebut simpati atau hati rakyat, agar citranya naik.

Supradi Kertamenawi, mantan Sekda Kota Solo era Jokowi ini bahkan terang-terangan menyebut, penampilan mantan bosnya tersebut hanyalah sebuah pencitraan belaka. Pasalnya dulu sewaktu di Solo, Jokowi tak pernah mengenakan pakaian seperti itu.

"Dulu waktu menjadi wali kota ap
​​
a pernah pakai pakaian seperti itu. Pakainya ya jas dan dasi, selalu jas dan dasi setiap hari. Sekarang kan nyatanya seperti itu. Kalau yang ngerti, ya, Jokowi nyatane mung (ternyata hanya) bohong," ujar Supradi kepada merdeka.com, Minggu (22/6).


​Sumber: MERDEKA ONLINE

-- 
“Aksi kecil yang didasari pemikiran besar, apalagi dilakukan kontinu, efeknya pasti luar biasa!” MSR

07 June 2014

Profil Prabowo Subiyanto: Bintang yang Naik Pesat, Tempo Edisi 12/01 - 18/Mei/1996

Edisi 12/01 - 18/Mei/1996
Analisa & Peristiwa

Profil Prabowo Subiyanto:

Bintang yang Naik Pesat

PRABOWO dilahirkan di Jakarta, 17 Oktober 1951, sebagai anak ketiga dari keluarga Prof. Sumitro Djojohadikusumo. Di tengah keluarga yang lebih lekat dengan citra sebagai intelektual itu, Prabowo Subianto adalah satu-satunya yang berkarier di lingkungan militer. Karier itu dimulainya tahun 1970, ketika Prabowo masuk AMN setelah lulus SMA. Tampaknya pilihan itu bukan asal pilih, karena pada saat yang sama sebetulnya ia juga diterima di fakultas ekonomi di tiga perguruan tinggi terkemuka di Amerika. 
Lulus AMN 1974, Prabowo langsung bertugas di lingkungan pasukan baret merah yang sekarang dipimpinnya itu. 
Setelah lulus AMN itu masa tugasnya lebih banyak dilalui di lingkungan pasukan tempur. Dengan pangkat Letnan Dua, pada tahun 1976 ia menjadi Komandan Peleton Grup I Kopasandha (nama lama Kopassus). Setahun kemudian, naik menjadi Komandan Kompi di lingkungan Grup I kesatuan yang sama, Kompi Nanggala 28, sampai tahun 1980. Karena tugasnya di lingkungan pasukan tempur inilah kemudian Prabowo termasuk tentara yang punya banyak pengalaman tempur di zaman yang relatif damai ini. Pada tahun 1979, misalnya, ketika berpangkat Letnan Satu dengan jabatan Komandan Kompi, bersama beberapa anak buahnya Prabowo pernah bekerja sama dengan beberapa anggota Batalyon 744. Dalam operasi itu pasukannya berhasil menewaskan Presiden dan Menteri Pertahanan Fretilin Nicolao Dos Reis Labato di Timor Timor. 
Dalam tahun 1980, jabatannya naik lagi menjadi Perwira Operasi di Grup I. Jabatan ini diembannya sampai tahun 1983. Dalam jabatannya ini, pada tahun 1983, sekitar 4 bulan setelah pesta perkawinannya dengan putri keempat Presiden Soeharto, Siti Hediati Harijadi, kembali ia bertugas mengepung Fretilin. Pada kesempatan ini ada sebuah pengalaman yang tampaknya sulit dilupakan oleh siapa pun yang mengalaminya. Pada tugas operasi itu ia sempat terkepung oleh pasukan Fretilin. Kabarnya, di sinilah ketrampilannya sebagai prajurit pernah ditunjukkan. Ketika terkepung di medan yang banyak ilalang, dan kemudian Fretilin membakarnya, ia sempat menyelamatkan diri dengan cara masuk ke sebuah lubang. Seharian ia tak menampakkan diri. 
Setelah itu kembali Prabowo mendapat promosi. Sampai tahun 1985, ia memimpin Detasemen 81, di kesatuan baret merah, dengan jabatan Wakil Komandan.
Prabowo juga pernah bertugas di kesatuan lain. Setelah jabatan yang disebutkan terakhir ini, tugas berikutnya adalah di lingkungan Kostrad, pasukan baret hijau. Kurang lebih 8 tahun ia bertugas di kesatuan ini, tahun 1985 - 1987, sebagai Wakil Komandan Batalyon 328. Kemudian menjadi Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara 17 (1987 - 1991), dan Kepala Staf Brigade Infanteri 17 (1991 - 1993). 
Seusai tugas ini, masih dalam tahun 1993, kembali ia ditugaskan di Kopassus, dengan jabatan Pejabat Sementara Komandan Grup III Pusdik Kopassus, dan tak lama kemudian menjadi Komandan Grup. Tahun 1994, kembali ia dipromosikan untuk mendampingi Subagyo Hari Siswoyo (Komandan Kopassus) sebagai Wakil Komandan. Ketika diangkat menggantikan Subagyo itu Prabowo adalah Komandan yang ke-15 di pasukan elit TNI AD itu.
Diangkatnya Prabowo menjadi Komandan Kopassus pertengahan Nopember 1995, dan dinaikkan pangkat dari Kolonel menjadi Brigadir Jenderal, ia menjadi lulusan Akademi Militer Nasional 1974 pertama yang meraih status perwira tinggi. 
Menurut KSAD R. Hartono, banyak alasan yang mendukung promosi Prabowo ini. "Dia dinilai sebagai perwira yang paling sesuai atau paling tepat dari perwira lain yang juga sesuai," kata R. Hartono. Penilaiannya dilakukan oleh sebuah dewan khusus dan dibahas oleh Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi. "Saya tidak melebih-lebihkan, tapi kenyataan menunjukkan bahwa jabatan Dan Kopassus, dari semua calon yang ada, dinilai paling tepat diserahkan kepada Prabowo."
Sebagai militer, ia tetap mewarisi 'tradisi' intelektual keluarga ayahnya. Prabowo kabarnya termasuk paling rajin membaca. Di tempat kerja maupun di rumahnya selalu tersedia koleksi buku-buku yang kebanyakan tentang sejarah dan militer. Soalnya, ia punya kegemaran belanja buku kalau sedang bepergian ke luar negeri. 
Ia juga memiliki keistimewaan yang jarang dimiliki prajurit pada umumnya, yaitu penguasaannya terhadap bahasa asing. Tak tanggung-tanggung, Prabowo menguasai empat bahasa asing (Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda). Maklum, masa kecilnya memang banyak di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Hong Kong, Swiss, dan Inggris, mengikuti orangtuanya yang memang banyak bertugas di luar negeri. 
Pengalaman pendidikan kemiliterannya juga bertambah. Di antara yang penting adalah pendidikan perang khusus di AS dan latihan khusus antiteroris di Jerman.
Sejak menjadi Wakil Komandan Kopassus, aktifitas ayah seorang anak ini di luar tugas keprajuritan makin kentara. Misalnya ia pun tak segan tampil di depan publik dan diliput media massa dalam kegiatannya selaku Ketua Majelis Pertimbangan Keluarga Mahasiswa Alumni Penerima Beasiswa Supersemar.
SWD