29 December 2018

Chica Kuswoyo: Mamaku Perempuan Luar Biasa

MAMAKU PEREMPUAN LUAR BIASA #1

Namaku Chicha. Aku lahir dari orangtua yang berbeda agama. Papaku, Nomo Koeswoyo, beragama islam dan masih keturunan Sunan Drajat, salah seorang Wali Songo. Seorang wali yang sangat terkenal sebagai penyebar agama Islam di wilayah Jawa Timur.

Mamaku seorang perempuan Kristen yang taat. Beliau masih berdarah Belanda. Dan banyak saudara-saudara dari pihak Mama yang menjadi pendeta. Walaupun berbeda agama, Papa dan Mama tidak pernah mempunyai masalah. Keduanya hidup berbahagia dan saling menghargai kepercayaan masing-masing.

Sejak kecil aku dididik secara Kristen. Seperti anak-anak Kristen lainnya, aku diikutsertakan di sekolah Minggu. Setiap kali pergi untuk melaksanakan kebaktian, Papaku sering mengantarkan kami ke gereja. Intinya, kami adalah keluarga yang sangat berbahagia. Baik hari Natal ataupun Hari Lebaran, rumah kami selalu meriah. Semua bersuka-cita merayakan kedua hari besar tersebut.

Usiaku sudah menginjak 16 tahun dan duduk di bangku kelas 1, SMA Tarakanita. Rumah tempat tinggal kami sangat berdekatan dengan masjid. Terus terang, aku sangat terganggu dengan suara azan, apalagi di saat magrib. Suara azan dari Toa masjid begitu keras dan sangat memekakkan telinga. Belum lagi suara azan dari televisi. Setiap kali azan magrib berkumandang, aku matikan televisi karena di semua chanel, semua stasiun menayangkan azan yang sama.

Di suatu magrib terjadilah sebuah peristiwa yang tidak disangka-sangka. Ketika itu azan magrib muncul di layar TV. Seperti biasa aku mencari remote control untuk mematikan televisi. Namun hari itu aku tidak bisa menemukannya. Dengan hati kesal kutelusuri sela-sela sofa, kuangkat semua bantal, kuperiksa kolong meja tapi alat pengontrol jarak jauh itu tidak juga terlihat. Karena putus asa, aku terduduk di sofa lalu duduk menatap layar TV yang sedang menayangkan azan dengan teks terjemahannya. Lalu apa yang terjadi?

Sekonyong-konyong hatiku menjadi teduh. Baris demi baris terjemahan azan tersebut terus kubaca dan entah karena apa, hati ini semakin sejuk. Aku seperti orang terhipnotis dan tubuh ini terasa sangat ringan dengan perasaan yang semakin lama semakin nyaman. Di dalam benak ini sekan-akan ada suara yang berkata padaku, “Sampai kapan kau mau mendengar panggilanKu, Chicha. Sudah berapa tahun Aku memanggilmu, masihkah kau akan terus berpaling dariKu?”

Lalu aku menangis. Entah karena sedih, marah, bingung, galau, hampa, takut atau mungkin juga semua perasaan itu ada dan berbaur menjadi satu. Aku terus menangis tanpa tau harus melakukan apa.

Esok harinya, aku curhat pada adikku. Kami berdua memang sangat dekat satu sama lain. Adikku ini ternyata sangat berempati atas apa yang menimpaku. Dia tidak mengeluarkan satupun kata yang menyalahkan kakaknya bahkan dia berkata, “Aku akan support apapun kalau itu memang membahagiakan Kakak.”
“Terima kasih, Dik. Sekarang ikut, Kakak, yuk?”
“Ikut ke mana?” tanyanya.

Dengan diam-diam kami berdua pergi ke sebuah toko muslim yang letaknya tidak jauh dari rumah. Di sana kami membeli mukena, Kitab Suci Al’Quran dengan tafsir dan terjemahannya. Tidak lupa sebuah buku yang berjudul ‘Tuntunan Sholat’.

Sesampainya di rumah, kami berdua mempelajari cara berwudhu, melakukan sholat dan menghafal bacaannya. Setelah dirasa mampu, kami  berdua mencoba mendirikan sholat bersama-sama. Perbuatan kami tentu saja di luar pengetahuan kedua orangtua. Pernah suatu kali Mama mengetuk pintu dan sangat marah karena kami mengunci kamar dari dalam. Begitu mendengar teriakan Mama, secepat kilat kami membuka mukena dan menyembunyikannya di laci paling atas.
“Dengar, ya, Nduk! Kalian nggak boleh mengunci pintu kamar. Selama kamu tinggal di rumah Mama, kalian ikut peraturan Mama,” bentak ibuku dengan galak.

“Iya, Ma,” sahutku dengan suara perlahan karena tak ingin ribut dengan Mama apalagi kami sangat perlu menjaga kerahasiaan ini.

Waktu terus berlalu. Bulan Ramadhan pun datang. Tentu saja di bulan suci seperti ini, kami juga ingin melakukan puasa seperti muslim lainnya. Berpuasa dari waktu subuh sampai magrib sebetulnya sama sekali tidak sulit. Masalah yang lebih pelik datang setiap kali Mama mengajak makan bersama. Mama tentunya curiga karena kami berdua selalu menolak.

“Aku udah makan di sekolah tadi, Ma,” kataku dengan suara bergetar.

Mama menatap saya dengan tajam. Sepertinya dia telah mencium ada yang tak beres dengan kami berdua. Ketegangan pun terjadi. Buatku itu adalah saat yang sangat menegangkan sampai akhirnya Mama menghela napas panjang dan berkata, “Baiklah kalau begitu.”

Bulan penuh rahmat berlalu. Suara takbir yang begitu merdu di telinga berkumandang. Idul Fitri adalah hari kemenangan dan kami tidak mau kehilangan momen untuk sholat bersama Jemaah yang lain. Aku dan Adikku berdiskusi menyusun strategi bagaimana cara pergi ke masjid tanpa sepengetahuan orang rumah.

Esok harinya, sekitar jam 6.30 pagi, kami mengendap-endap membuka membuka pintu depan. Setelah itu membuka pagar sampai terbuka lebar. Kami berdua mendorong mobil dalam keadaan mesin mati supaya tidak terdengar oleh orangtua kami yang masih tenggelam dalam nyenyak. Pada satpam yang menjaga rumah, aku berpesan, “Kalau ada yang tanya, bilang kami mau latihan basket, ya, Pak?”
“Siap, Non!” kata Sang Satpam entah curiga atau tidak.

Setelah mobil dirasa cukup jauh, aku menghidupkan mobil dan meluncur langsung ke masjid terdekat. Sesampainya di sana, banyak tetangga-tetangga menatap kami dengan paras keheranan. Mereka tentu saja bingung karena semua orang tau bahwa aku beragama Kristen. Bahkan barisan ibu-ibu yang duduk tepat di depan kami langsung mendekatkan kepalanya dan berbisik kepada kami.

“Cha, ngapain kamu di sini? Sholat Idul Fitri itu buat kaum muslim. Kamu kan Kristen?”
Aku cuma tersenyum dan tidak berusaha menjawab. Sementara ibu-ibu lain terus berkasak-kusuk sambil menengok bahkan ada yang menunjuk-nunjuk ke arah kami.  Kami bergeming dan tidak mempedulikan sikap orang yang merasa aneh dengan kehadiran kami. Dan akhirnya sholat Idul Fitri dapat kami ikuti dengan sukses. Dengan hati berbunga-bunga kami kembali pulang. Alhamdulillah.

Baru saja sampai di depan pagar, di depan rumah telah berdiri Papa dan Mama. Mereka membantu membuka pagar, membuka pintu mobil lalu Mama langsung menlontarkan pertanyaan tanpa basi-basi.

“Dari mana kalian?” tanya Mama dengan suara keras.

“Abis latihan basket, Ma,” sahutku. Kami berdua memang telah berganti pakaian dan semua mukena dan sajadah sudah dimasukkan ke dalam tas dengan rapih.

“Kalian jangan berbohong, ya? Mama menangkap ada yang aneh dengan kalian berdua,” kata Mama lagi.

Aku menatap Mama yang nampak sangat kesal. Sementara Papa cuma cengar-cengir bahkan mengedipkan sebelah matanya pada kami.

“Kami latihan basket, Ma. Masa Mama gak percaya sama anak sendiri?” kata adikku.

Rupanya omongan Adik membuat hati Mama tersentuh juga. Seperti sebelumnya, dia menatap kami bergantian dengan tajam, menghela napas panjang lalu berkata dengan suara halus, “Hmm…baiklah kalau begitu.”
“Yuk, kita ke atas, Ma,” kata Papa sambil menggamit tangan Mama untuk mengajaknya pergi dari situ. Sebelum masuk ke dalam rumah. Papa sempat-sempatnya menengok ke arah kami dan mengedipkan sebelah matanya sekali lagi sambil tersenyum dengan paras jail...

Aku masih termangu-mangu di depan rumah. Kecurigaan Mama mulai menghantui perasaanku. ‘Sampai berapa lama aku bisa mempertahankan rahasia ini?’ tanyaku dalam hati. ‘Daripada Mama yang menemukan rahasia ini, bukankah beliau lebih baik mengetahui semuanya langsung dari anaknya sendiri?’

“Mama!” Aku memanggil dan mengejar Mama yag sudah berada di dalam rumah.
Mama dan Papa membalikkan badan dan menunggu apa yang akan disampaikan anaknya. Kembali kediaman berulang. Sesaat aku gentar hendak menyampaikan berita ini.
“Ya, Cha?” Kamu mau ngomong apa?” tanya Papa.

Keheningan kembali mendominasi. Bibirku bergetar. Semua kata dalam tenggorokan telah berkumpul dan berdesak-desakan untuk keluar dari bibir. Aku masih diselimuti kebimbangan. Ngomong, jangan, ngomong, jangan, ngomong, jangan….

“Chicha masuk Islam, Ma. Chica masuk Islam, Papa. Chicha minta maaf tapi Chicha mendapat hidayah dan tidak bisa menolak panggilan itu.” Akhirnya tanpa dikendalikan oleh otak semua kata terlontar begitu saja.

‘Alhamdulillah!” Di luar dugaan Papa berteriak kegirangan mendengar berita tersebut. Tidak cukup melampiaskan kegembiraannya dengan cara itu, beliau langsung berlutut di lantai dan melakukan sujud syukur atas hidayah yang didapat anaknya. Melihat sikap Papa, aku tentu saja menjadi lebih tabah. Dengan penuh harap, aku memandang Mama, berharap mendapat dukungan yang sama.

Mama menatapku dengan pandangan tidak percaya. Matanya melotot, dadanya kembang kempis dan bibirnya bergetar hebat.

“Hueeeeek…!!!!” Tanpa diduga tiba-tiba Mama muntah darah dan tubuhnya sempoyongan, untungnya Papa dengan sigap menangkap tubuh Mama dan mendudukkannya di sofa.
“Mamaaaaaa….!!!” Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimana tidak sedih? Tidak ada kesedihan yang paling menyakitkan kecuali mengetahui bahwa kita telah menyakiti hati ibu kita sendiri.



MAMAKU PEREMPUAN LUAR BIASA #2

Papa mengurus Mama dengan telaten. Perlahan-lahan kesehatan Mama berangsur-angsur membaik. Tapi sejak peristiwa itu, Mama tidak mau lagi berbicara denganku. Selama ini, Mama dan aku hubungannya sangat dekat. Melihat Mama bersikap seperti itu, aku sedih sekali. Berkali-kali aku mengajak Mama berbicara tapi beliau tidak menyahut sehingga aku memutuskan untuk mengalah dan membiarkannya sendiri. Itu adalah salah satu periode hidup yang paling menyiksa buatku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa pasrah dan menunggu perubahan sikap Mama.

Bulan demi bulan berlalu. kami masih belum berkomunikasi satu sama lain. Mama sering meninggalkan rumah. Entah kemana. Aku nggak berani bertanya, takut malahan membuatnya lebih marah. Sudah 3 bulan aku tidak berbicara dengan Mama. Hari-hari yang kuhadapi sering aku isi dengan mengurung diri di kamar sambil membaca sejarah para Nabi. Terutama kisah-kisah Rasullulah yang membuatku semakin mantap menjadi seorang muslim.

BRAK! Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan suara keras. Aku menengok dan terlihat Mama masuk dengan membawa sebuah kotak yang cukup besar. Parasnya dingin dan sulit ditebak apa yang ada di pikirannya.

“Nduk, Mama mau tanya. Kamu harus menjawab dengan tegas!” katanya.
“Iya, Ma,” sahutku dengan suara hampir tak terdengar. Dalam hati aku bersorak karena akhirnya Mama mau berbicara lagi.
“Kamu sudah mantap mau masuk islam?” tanyanya lagi tanpa basa-basi.
“Mantap, Ma. Chicha rasa ini benar-benar panggilan Allah,” jawabku pelan tapi tegas.
“Okay, kalau begitu,” kata Mama lalu dia mengangsurkan kotak yang dibawanya ke tanganku.

Dengan terheran-heran, aku menerima kotak tersebut, “Apa ini, Ma?”
“Nggak usah banyak tanya. Kamu buka aja kotak itu sekarang juga.”

Dengan gerak perlahan, aku membuka kotak tersebut. Masya Allah! Ternyata isinya adalah Kitab Suci Al Quran, mukena, kerudung, buku-buku agama Islam yang lumayan tebalnya. Aku menatap Mama dengan pandangan bertanya.
Mama membalas menatapku dengan tajam, “Kalau kamu ingin menjadi Islam, be a good one!”

Mendengar perkatannya, aku menangis dan menghambur ke pelukan Mama. Mama memeluk aku seerat yang dia bisa. Tangisku makin menjadi-jadi dan membasahi baju Mama di bagian dada.

Setelah tangis mereda, Mama bertanya lagi, “Kamu sudah resmi masuk islam?”
“Chicha udah ngucapin dua kalimat syahadat, Ma.”
“Disaksikan oleh ustad atau Kyai?”
“Nggak sih, Ma. Chicha ngucapin sendiri aja.”
“Berarti kamu belum resmi masuk Islam. Besok Mama akan antar kamu ke Mesjid Al Azhar di Jalan Sisingamangaraja. Mama udah bikin janji dengan Kyai di sana untuk mengislamkan kamu.”
“Huhuhuhuhuhu…” Aku nggak sanggup untuk mengatakan apa-apa kecuali memeluk Mama lagi sambari menangis menggerung-gerung. Setelah perlakuan Mama yang mendiamkan aku selama tiga bulan, siapa sangka Mama akan bersikap begini akhirnya. Mamaku memang luar biasa.

Esok harinya, di Mesjid Al Azhar, aku resmi memeluk agama Islam di usia 16 tahun. Ah, bahagianya sulit dilukiskan. Setelah ritual mengucapkan dua kalimat syahadat berakhir, aku menarik Mama untuk menuju ke mobil dan kembali pulang ke rumah.

“Eh, tunggu dulu, Nduk. Sekarang kamu harus ikut Mama ke belakang.”
“Ke belakang mana, Ma?” tanyaku keheranan.
Ke SMA Al Azhar. Kamu harus pindah sekolah ke sana.”
“Loh? Kenapa harus pindah? Chicha udah betah sekolah di Tarakanita. Semua teman-teman Chicha ada di sana. Chicha nggak mau pindah.”
“Nduk! Denger kata Mama. Kalau kamu serius pindah ke Islam, kamu nggak boleh setengah-setengah.”
“Maksudnya gimana, Ma?”
“Tarakanita itu sekolah Kristen. Kalau kamu pindah Islam maka kamu harus bersekolah di sekolah Islam. Sekali lagi Mama bilang, kamu nggak boleh setengah-setengah. Ini peristiwa besar dan pilihan hidup kamu. Mama mau kamu total dalam menyikapi pilihan kamu sendiri.”

Lagi-lagi sikap Mama membuatku kagum bukan main. Sepertinya dia telah mempersiapkan semuanya dengan baik dan terencana.

“Mama kok bisa-bisanya punya pemikiran seperti ini?” tanyaku penasaran.
Mama menghela napas panjang lagi lau berucap, “Sejak kamu mengatakan mau masuk Islam, Mama sering berkonsultasi dengan teman Mama yang muslim. Mama minta pendapat dia dan dia banyak menasihati Mama soal ini.”
“Oh, pantes Mama sering pergi belakangan ini. Biasanya kan Mama selalu di rumah.”
“Iya, Cha. Mama butuh support dan teman Mama itu sangat membantu sehingga membuat Mama jauh lebih tenang.”
“Kalau boleh tau, teman Mama siapa namanya?” tanyaku lagi.
“Namanya Doktor Zakiah Darajat.”
“Itu temen Mama? Wah dia orang hebat di kalangan Islam, Ma.”
“Betul. Nama belakangnya mirip dengan Sunan Drajat, leluhur Papa kamu. Jadi setelah kamu resmi masuk Islam, rasanya kamu juga perlu berziarah ke makam beliau.”

Sekali lagi aku memeluk Mamaku. Jadi selama tiga bulan ini, dia mendiamkan anaknya bukan karena hendak mengacuhkan tapi beliau tidak tau harus bersikap bagaimana. Beliau hendak mencari penerangan pada apa yang terjadi pada anaknya. Sudah pastilah Mama kebingungan tapi akhirnya setelah mendapat pencerahan dari Doktor Zakiah Darajat, Mama sekarang malah mendukung pilihan anaknya. Pilihan anak yang berbeda dengan keyakinannya. Ah Mamaku memang luar biasa.

Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya aku hendak mengajak Mama untuk turut memeluk agama Islam. Tapi aku mengurungkan niat itu. Apa yang terjadi padaku pastilah sudah berat buat Mama. Bagaimana mungkin aku mampu mempengaruhinya sementara saudara-saudaranya banyak yang menjadi pendeta. Beban Mama sudah sangat berat. Semua butuh waktu. Kalau memang Allah SWT mengizinkan, apa yang untuk manusia pikir tidak mungkin pastinya akan terjadi jika Allah berkehendak.

Waktu berjalan tanpa pernah berhenti. Dengan hati tenteram, aku menjalani hidup sebagai perempuan muslim. Tahun 2002, Mama meninggal dunia. Tiga bulan sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau juga menjadi mualaf dan memeluk agama Islam. Alhamdulillah! Terima kasih, ya, Allah. Ah Mamaku memang luar biasa.

Selamat Hari Ibu buat semua perempuan hebat di Indonesia!

~~~ Komentarku:

Dua paragraf pertama itu menjelaskan kalau Papanya lebih cinta mamanya daripada Tuhan dan Agamanya, karena berani melawan larangan Islam dengan menikahi wanita non muslim, dan itu biasa di pasangan sekuler. Ditambah dengan agama anak-anaknya yang menjadi kristen di masa kecilnya membuktikan kualitas leadership papanya yg lemah, kalah oleh pengaruh istrinya, karena cinta? Pilihan sekolah kristen di masa kecil di masa Chicha Kuswoyo mungkin bisa difahami karena sekolah-sekolah itu sangat bermutu, bahkan sampai sekarang. Bedanya, sekarang sekolah Islam juga banyak yang unggul.
Pada bagian Chicha masuk islam lebih banyak membahas kejadian masuk islamnya, deskriptif sekali mengaduk2 emosi pembaca, pintar dia, cocok sekali jadi Politisi sekarang hehehe. Chicha masuk islam dari kesadaran makna panggilan adzan, tapi logic dan "mistis"-nya mustinya bisa dijelaskan. 
Orang masuk islam itu banyak caranya, Tamara Blezinsky masuk islam "cuma" melihat ada bulan dan bintang yg berpadu mirip lambang di atas moncong masjid..  ada professor di perancis masuk Islam hanya karena mengamati perilaku seks pada pasangan babi, ada juga di intelektual di australia masuk islam karena hanya mengamati dan mempelajari cara memotong kuku di Islam.
Kalimat pada paragraf di mana papanya senang bukan main mengetahui anak perempuannya masuk Islam dan sebaliknya mama Chica muntah darah dan sakit sampai 3 bulan, adalah pelajaran dan hikmah yang kita dapatkan terhadap keagungan aturan pernikahan dalam Islam, ternyata kompleks sekali masalah nikah beda agama ini. Bagaimana kalau mama Chica kemudian meninggal karena Islamnya Chica? menjadi fitnah yang sangat besar. 
Tulisan kemudian ditutup dengan masuk Islamnya mama Chica, tulisan yang indah menginspirasi...

07 October 2018

Pindah ke Telegram dan Linkedin

Akun influencer Linkedin favorit saya milik Om Oleg Vishnepolsky yang selalu inspiratif
Akhir-akhir ini content dari whatsapp group penuh dengan diskusi politik (dari dulu sih). Saya sendiri adalah pelaku pembuat grup politik tsb salah satunya. Saya rawat dan kembangkan grup-grup tersebut sebagai salah satu alat untuk mendapatkan informasi kekinian soal politik, baik politik kebangsaan sampai kebangsatan, Politik adiluhung sampai politik ajimumpung dari politik praktis sampai politik najis. 

Menjalani sebagai seorang pebisnis saya memerlukan asupan-asupan positif. Untuk itu saya mulai mencari ruang-ruang sosial digital yang baru. Jawabannya adalah Telegram dan Linkedin ternyata, mengapa? karena kanal-kanal digital di internet seperti Facebook, Twitter dan bahkan termasuk Instagram skrg dipenuhi content-content politik. Mau gak mau ketika kita menonton atau menyimaknya kita akan terbawa suasana negatif. Persis seperti pagi ini, saya misuh-misuh karena mendapati fakta yg saya baca dari salah satu grup WA bahwa negara (menteri sosial) kehabisan uang untuk dana bencana, sementara di sisi lain di Bali terjadi pesta pora penyambutan tamu-tamu dari International Monetary Fund dan World Bank secara luar biasa. Wajar sih kalau otak bisnis melihat hal ini, kalau duit negara dibagi-bagikan ke korban bencana kita sebut cost, tapi kalau dibuat pesta meriah menyambut para pemberi pinjaman, banker-banker luar negeri kita bisa sebut investasi. Saya sampaikan argumen saya tsb kepada beberapa grup yang banyak para pendukung pemerintah-nya, agar common sense mereka tetap menyala dalam hati sanubarinya, karena saya gak yakin para elit dan pejabat tinggi kita masih memiliknya.

Kembali ke medsos tadi, Linkedin, platform jejaring sosial yang tadinya diperuntukkan untuk para pencari kerja profesional di India ini telah dibeli Microsoft, ia juga terkoneksi dengan Linda.com (situs penyedia training berkualitas) dan Slideshare.net yaitu situs medsos penyedia slide presentasi. Saya mulai mengalihkan jam-jam internet saya pada linkedin karena banyak para pesohor di dunia bisnis & profesional memanfaatkan linkedin untuk empowering sesamanya.

Begitu juga Telegram, platform internet chat gratisan ini menurut saya arsitekturnya jauh lebih baik daripada whatsapp, selain ringan karena didesain berbasis cloud sehingga tidak memakan banyak memori HP kita, Telegram juga memberikan fitur-fitur lebih luas dalam pilihan grup atau personal sebagaimana Facebook dengan FB Group dan FB Fanpages. Saya sudah 2 kali ini memberikan kulgram (kuliah di Telegram) atau Sharegram (sharing di Telegram) di sebuah jejaring bisnis besutan Dewan Pengurus Cabang (DPC) HA IPB Bogor. Saya sangat bersemangat karena dengan adanya telegram ini kebutuhan saya untuk "Belajar sambil Mengajar" terpenuhi, yg dalam platform lain terasa kurang pas, misalnya Whatsapp (karena berat, member sedikit, dan fitur admin yg terbatas). Bisa saja sharing di Instagram atau Facebook dengan Live Video Streaming, tetapi jauh lebih boros data internet dan terkadang saya merasa "kurang PD" melakuan sharing dengan video seperti itu hehehe..

Sesi sharegram/kulgram yang baru saja selesai semalam di salah satu forum daring yg dikelola DPC HA IPB


So, saya sarankan mari kita pindah beramai-ramai ke Telegram dan Linkedin, karena lebih banyak manfaat untuk membangun bangsa ini. Tapi saya tetap menunggu kawan-kawan aktivis pergerakan dan penyuka topik2 politik baik di Twitter ataupun Facebook lho hehehe..

Kang Sirod

25 September 2018

Perlambat Dirimu, perkuat keluargamu.

"If you want to go FAST, go alone; but if you want to go FAR, go together"
- African Proverbs.

Sering memperlambat kecepatan bisnis? Saya sering. Kenapa? banyak jawaban, di antaranya dikarenakan sekeliling kita gak siap. Entah istri dan komponen keluarga besar, entah pula karyawan dan sistem atau bahkan market di depan mata.

Pilihan memperlambat laju bisnis, menunda akselerasi  ekspansi atau membatalkan membuka market baru adalah pilihan-pilihan yang sering saya lakukan dikarenakan faktor-faktor ketidaksiapan. Apakah itu sebuah kemunduran? kegagalan? atau bukti saya tidak adaptif pada perubahan? bisa disimpulkan begitu, tetapi saya memilih memberikan alasan lain, bukan mencoba defensif dan excuse karena jawaban yang masuk akal: saya memilih kemajuan jangka panjang dan berakar pada hati orang-orang di sekeliling saya.

Seperti catatan ini misalnya, saya buat di Lt. 8 foodcourt Blok A tanah abang di mana denyut bisnis kuliner mengimbangi kecepatan bisnis fashion di tanah air yang mengular sampai manca negara. Saya tidak bisnis fashion, juga (belum) kuliner. Tapi saya berada di sini karena musti mengantar istri saya tercinta belanja barang dagangannya. Mumpung ini tanggal ganjil, sehingga satu-satunya kendaraan roda empat keluarga kami dapat dengan tenang menelusuri jalanan ibu kota yang kian padat. Karena pilihan ini, saya musti membatalkan satu pertemuan dengan EO besar mendiskusikan perkara penting dengan asosiasi yang saya kelola bersama teman-teman praktisi air.

Mengapa saya men-support bisnis istri saya yg secara cash-flow gitu-gitu aja? secara model bisnis kuno, dan secara ilmu manajemen gak kongruen dengan model manajemen manapun, eh kecuali model bisnis tukang sate pada umumnya, yg dari mulai motong daging, bumbuin, kipasin, sampai menyanjikan ke pelanggannya dilakukan oleh dirinya sendiri! Saya rela memperlambat denyut bisnis saya yg ribuan kali lipat kapitalisasinya dibanding bisnis yg saya geluti karena saya ingin saya melakukan apa-apa yg sangat baik dilakukan istri saya seperti: memilih baju (material) yg terbaik (cepat laku), konsisten membeli baju (supplier) tertentu (langganan), mencatat pembelian dan pengeluaran (accounting) dengan disiplin lalu memisahkan keuangan antara pribadi, keluarga dan dagangan sampai mensupport bisnis saya yg terkadang jatuh karena kekurangan cash.

Nah, alasan terakhir itu paling rasional bagi saya. Jadi ketika kita jatuh dikarenakan cashflow berdarah-darah (bleeding), orang-orang di sekitar kita masih sanggup menolong. Kita musti menjaga keikhlasan sekeliling kita untuk menolong kita, karena pertolongan dalam bisnis selalu take & give, orang (lain) hanya akan menolong jika dipandang kita worth bagi mereka dan bisa memeberi balik dirinya di saat mereka membutuhkan. Dengan menjaga independensi anda, bahkan ketergantungan kepada istri anda sendiri, lalu selalu memberikan giving lebih tinggi dan lebih banyak akan membuat bisnis anda lambat, tapi pada hakekatnya akan memperkuat pijakan langkah bisnis anda ke depannya.

Cobalah kurangi kongkow2 anda bersama komunitas bisnis jika secara jujur anda meyakini impact pada bisnis anda gak efektif, kurangi nongkrong dengan jejaring netizen politik jika mereka hanya bagian dari buzzer dan komunitas pengharap ratu adil dan kelompok pengiba fiksi. Begitu banyak "penyakit" dalam masyarakat kita tumbuh dikarenakan kesulitan ekonomi, kita jangan memperparah dengan membuang-buang waktu dalam kelompok tak bermutu. Lebih baik perlambat bisnis kita untuk support orang-orang terkasih dalam lingkungan kita sendiri. Berdaya diri, berdaya keluarga inti. Jika fondasi sudah kokoh, bolehlah kita teriak:  "ummati.. ummatii.."

Jakarta, 25 September 2018

18 September 2018

Layanan Logistik untuk UKM

Layanan jasa transportasi sekarang ini berubah total sejak ada Grab dan Uber di belahan dunia. Di Indonesia, kita bersyukur memiliki Go-Jek sebagai layanan transportasi online yang sepertinya berhasil "melawan" dominasi Grab dan Uber. Go-jek awalnya hanya melayani jasa antar penumpang menggunakan sepeda motor. Pilihan sepeda motor mungkin karena saat itu dianggap paling mudah dikelola, murah dari sisi partner-driver karena cukup menyediakan sepeda motor (range harga sepeda motor di 15-20 juta saja), potensi market yang besar serta tidak adanya regulasi yang mengatur jenis layanan transportasi di negara kita. 

Sejalan waktu, Go-Jek memberikan layanan yang semakin berkembang dan semakin lengkap. Mulai dari layanan massage on the spot, layanan antar makanan, jasa taksi online, jasa kirim barang dan jasa beli obat. Untuk jasa kirim barang, saya tertarik menggunakan layanan Same Day Delivery-nya yang relatif murah dibanding jasa kirim barang seketika. Jasa ini saya gunakan bilamana saya memiliki kelonggaran waktu dalam project yang saya kerjakan dan volume barang yg ingin dikirim berukuran kecil. Fitur inilah yang ingin saya bahas dan semoga pembaca melihat ini sebagai alternatif pengiriman yang menopang bisnis yang dijalankan.

Pesanan barang dari satu supplier di daerah Mangga Besar Jakarta ke Srengseng Sawah, Jagakarsa, hanya 15 ribu rupiah
Tapi aplikasi tetaplah aplikasi. Algoritma atau design thinking aplikasi yang bersangkutan, kehebatan investor Go-Jek (start-up ini pernah dibeli oleh SEQUIA - pemodalnya Microsoft & Apple - pun tak lepas dari bugs dan kelemahan-kelemahan layanan. Contohnya saya pesan untuk mengantarkan barang kemarin sore, prediksi dalam aplikasi Go-Jek pick-up time akan berkisar pada maksimum pukul 16.10, gak taunya pukul 16.20 masih belum tiba juga, yang artinya harus saya cancel karena pukul 16.30 si toko sudah siap-siap tutup dan harus fokus mengerjakan pembukuan harian. Hari ini Selasa, 18 September 2018 saya pesan lagi pukul 08.01 agar bisa punya range waktu yang lebih lama. Setelah saya cek ke toko penjual barang yang saya pesan, gak taunya belum juga diambil, padahal saat tulisan ini dibuat waktu telah menunjukkan pukul 16.24. You pay peanuts, you get monkey! 😠

Pesanan berikutnya yaitu dua barang saya beli di kawasan Salemba. Ada dua titik di dua toko berbeda. Saya pesan dari jam 08.40-an, alhamdulillah layanan yang saya gunakan yaitu Deliveree, cepat responnya dan sudah tiba di lokasi, bahkan 1,5 jam dia sudah nongkrong padahal toko-toko di kompleks trade center tsb belum buka. Alhasil saya harus membayar biaya tunggu Rp 20.000,- untuk 1/2 jam, karena 1 jam digratiskan oleh pengelola Deliveree, dan saya tentunya harus menggantibiaya parkir juga. Total 200.000,- yang kami bayarkan dengan rincian 160.000 biaya transport, parkir 14 ribu rupiah serta biaya tunggu. 
Layanan tampilan "real time location" Deliveree
Deliveree lebih murah dibanding layanan pesan antar barang menggunakan mobil milik Go-Jek yaitu Go-Box. Untuk itu saya akan memilih menggunakan aplikasi ini terlebih dahulu, kecuali jika driver not-available, maka terpaksa menggunakan jasa lain yang lebih mahal. Layanan aplikasi transportasi online dari Thailand ini sedikit demi sedikit diperbaiki rupanya, sehingga makin memanjakan para penggunanya. Tadi saat saya bertanya soal biaya tambahan "waktu tunggu", si Customer Service rupanya menjelaskan ada layanan untuk korporat atau bisnis. Di mana kita bisa membayar layanan di akhir bulan, wah menarik sekali. Semoga saja produk jualan filter air rumah tangga kami lebih laris lagi sehingga bisa rutin menggunakan jasa Deliveree. 

Demikian sedikit share saya untuk rekan-rekan pengusaha, semoga dapat bermanfaat. Kita tidak perlu menyicil kendaraan niaga untuk jasa layanan antar sekitar Jabodetabek. Cukup gunakan layanan online transportasi seperti ini saja. Lebih mudah, murah dan bebas beban investasi. 


Salam ngopi-ngopi.. 🍵


03 September 2018

JOUSAIRI HASBULLAH: Pelajaran dari Demografi Masa Kolonial

Pelajaran dari Demografi Masa Kolonial
JOUSAIRI HASBULLAH , Kompas Opini
3 September 2018
 
Hasil Sensus Penduduk 1930, di masa kolonial, memberi banyak pelajaran. Betapa bangsa yang besar, tetapi dengan mudah dikuasai oleh bangsa kecil. Terlepas dari pemberontakan yang heroik di beberapa tempat, secara umum anak-anak bangsa ini, dari perspektif demografis, ”dengan gembira” mendukung penjajah. Mengapa hal ini terjadi?

Pelajaran sejarah selama ini tidak pernah menyajikan data bagaimana distribusi dan komposisi demografis penduduk penjajah di tanah jajahan dan apa maknanya. Bidang keilmuan sejarawan memang bukan mengandalkan data kuantitatif. Sebaliknya, bagi statistisi, data kuantitatif sangat menarik, misalnya dalam menelaah laporan yang terhimpun dalam ”Volkstelling: Overzicht Voor Nederlandsch-Indie” 1930. Publikasi statistik ini memperlihatkan tidak saja sekadar angka penduduk, tetapi juga mentalitas kita sebagai bangsa yang lemah.

Penduduk”Nederlandsch-Indie”

Armada VOC datang ke Nusantara hanya membawa ratusan orang, dipimpin oleh Cornelis de Houtman tahun 1596. Mereka dengan mudah mendarat dan disambut dengan damai. Pada tahun 1622 VOC memiliki 143 anggota pasukan keamanan. Dari jumlah itu, hanya 57 orang Belanda, sisanya adalah tenaga bayaran dari sejumlah negara di Eropa.

Tahun 1674 penduduk Jawa telah mencapai 3 juta orang. Batavia waktu itu telah dihuni oleh 27.068 penduduk; dan jumlah penduduk Eropa—yang terdiri atas beragam asal-usul karena pegawai VOC direkrut dari sejumlah negara—sebanyak 2.024 orang saja.

Penguasaan VOC kemudian diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Setelah lebih dari 300 tahun bercokol di Indonesia (Nederlandsch-Indie), tahun 1930 jumlah penduduk Indonesia berkembang pesat mencapai 60,7 juta jiwa, dengan komposisi 59,1 juta penduduk pribumi (inlanders), 240.417 orang Belanda dan turunan Eropa lainnya, keturunan China berjumlah 1,2 juta jiwa (lima kali lipat jumlah orang Belanda), sisanya penduduk keturunan Arab dan lainnya.

Dari total 240.000-an penduduk Belanda di Indonesia, 193.000 orang tinggal di Pulau Jawa. Sedikit sekali yang menyebar di luar Jawa. Di seluruh Sumatera yang berpenduduk 8,2 juta jiwa, hanya 28.496 orang Belanda. Di Kalimantan dan Sulawesi yang jumlah penduduknya telah mencapai 6,4 juta jiwa, hanya 14.000 orang Belanda, termasuk bayi dan orangtua.

Penduduk Belanda (dan turunan Eropa lainnya) umumnya terkonsentrasi hanya di beberapa kota besar, seperti Jakarta (37.100 orang), Surabaya (25.900), Bandung (19.600), Semarang (12.600), Malang (7.400), dan Bogor/Buitenzorg (5.200). Di luar Jawa hanya tiga kota yang penduduk Belanda-nya lebih dari 2.000 orang, yaitu Medan (4.300), Padang (2.600), dan Makassar (3.400). Selebihnya, penduduk Belanda menyebar dalam jumlah yang sangat kecil.

Sekadar contoh, di Bekasi yang jumlah penduduknya pada tahun 1930 telah mencapai 202.000 jiwa, hanya ada 22 penduduk Belanda (sekitar lima rumah tangga). Di wilayah-wilayah kecil lainnya: di Menggala Lampung ada delapan penduduk Belanda, di Tandjung Balai hanya ada 10 orang, Kotagede-Yogya 22 orang. Angka-angka ini memberi makna, penduduk Belanda berani tinggal di bagian mana pun wilayah Indonesia walaupun hanya 2-3 keluarga.

Tidak mungkin mereka berani kalau tidak ada kenyamanan, dukungan, dan penghargaan dari penduduk di mana mereka tinggal. Kemungkinan lain, pribumi takut mengganggu karena walau tidak ada tentara Belanda, tetapi aparat desa, polisi, dan tentara pribumi yang bekerja untuk Belanda jumlahnya sangat banyak dan menekan.

Dijajah tentara sendiri

Tahun 1930, sebagian anak bangsa ini tengah bangkit nasionalismenya, terutama setelah Sumpah Pemuda tahun 1928, tetapi sebagian besar penduduk yang sudah relatif terdidik justru masih nyaman mendukung pemerintah penjajah. Mereka yang telah melek huruf, dapat membaca huruf Latin, sebanyak 6,4 persen dari total penduduk.

Mereka ini, 274.802 orang, menjadi aparat desa yang membantu penuh pemerintahan penjajah. Birokrasi pemerintahan Belanda, di luar pemerintahan desa, digerakkan oleh pribumi. Dari 80.000 pegawai pemerintah, 70.000 (69.939 orang) adalah pribumi dan hanya 8.235 orang Belanda dan 2.360 turunan China. Pribumi telah menjadi alat terpenting.

Apa yang mencengangkan kita adalah kekuatan tentara Nederlandsch-Indie berjumlah 45.740 orang. Dari jumlah tersebut, 37.704 orang atau 82,4 persennya adalah pribumi. Di Jawa hanya  6.637 tentara Belanda dan  26.026 tentara yang pribumi. Di luar Jawa jumlah tentara Belanda lebih kecil, 1.378 orang, dan pribuminya 7.594 orang. Seluruh polisi di Nederlandsch-Indie (Indonesia) berjumlah 35.840 orang, 34.340 orang atau 95,8 persen adalah pribumi.

Angka-angka yang disebutkan ini sangat meyakinkan kita bahwa Indonesia dijajah oleh tentara dan polisi anak bangsa sendiri. Satu keluarga Belanda dapat tinggal di mana saja karena tentara dan polisi yang orang pribumi ada di mana-mana.

Modal sosial yang lemah 

Mudahnya VOC masuk dan ”disambut damai”, kolaborasi antara elite lokal dan penjajah, dan dukungan sebagian besar rakyat yang relatif terdidik mengukuhkan ratusan tahun penjajahan. Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari fenomena rendahnya modal sosial penduduk di Nusantara.

Ciri modal sosial yang rendah, masyarakat tercerai-berai dan jatuh ke dalam setidaknya tiga jenis krisis: krisis kepercayaan antarsesama, krisis empati, dan krisis kemanusiaan. Krisis akibat modal sosial yang rendah di awal masa VOC tersebut tampaknya terus berlanjut hingga kini!

Mari kita tengok ke dalam. Krisis kepercayaan telah membuat kita saling curiga antar-anak bangsa. Krisis empati membuat kita ”tega” dan kurang peduli akan situasi yang dialami saudara kita yang lain. Krisis kemanusiaan menyebabkan kita tak saling mencintai antarmanusia.

Akibat dari ketiga jenis krisis budaya ini, masyarakat dari dulu hingga sekarang jatuh dalam suasana mirip dengan apa yang disebut oleh Alberto Melucci sebagai krisis identitas: homelessness personal identity (ketunawismaan identitas diri).

Masyarakat kehilangan orientasi nilai dan juga kehilangan otonominya. Sistem pemerintahan dan organisasi sosial masyarakat—sebelum datangnya penjajah, masa penjajahan, dan setelah merdeka—yang totaliter telah memberangus segala bentuk kreativitas, kemandirian, perasaan berharga (sense of efficacy), dan kebersamaan dalam masyarakat. Hanya dengan ratusan tentara, penjajah dapat menaklukkan Nusantara.

Indonesia baru saja memperingati HUT ke-73 kemerdekaannya. Namun, setelah 73 tahun merdeka, kita tampaknya masih gagap untuk keluar dari suasana ketercerai-beraian. Budaya saling menghujat, saling menjatuhkan, dan saling fitnah terwarisi turun-temurun sejak masa awal VOC sampai hari ini.

Kita mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi, mengendalikan inflasi, membangun infrastruktur, dan meningkatkan tingkat pendidikan, tetapi ketika modal sosial yang ada di masyarakat lemah, sepertinya ada bom waktu yang bukan tidak mungkin akan memperlemah bangsa ini. Jangan sampai penjajahan bentuk lain oleh sekelompok kecil orang mengulang sejarah masa lalu kita. Dirgahayu Indonesia.

Jousairi Hasbullah Statistisi Pensiunan BPS; Lulusan Flinders University, Australia

BUSTANUL ARIFIN : Pertanian dan Revolusi 4.0

Kompas, 1 Agustus 2018

Pada forum Indef School of Political Economy (ISPE) di London Inggris,  Desember 2017, Duta Besar RI untuk Polandia Peter Gontha mengawali ceramahnya dengan suatu kritik serius bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sumber kemiskinan.

Tenggorokan saya seakan tercekat, pipi terasa tertampar, dan pikiran melayang tak keruan, sambil menebak-nebak ke mana arah ceramahnya nanti. Beberapa orang yang kenal sosok dan karakter Peter Gontha pasti tak asing lagi dengan gaya bicara lugas, point-blank, dan apa adanya. Selain sebagai dubes, ia wirausaha sukses, pendiri Java Jazz, dan mampu bertahan di kancah elite semua rezim, dari era Orde Baru, Reformasi, hingga era Presiden Joko Widodo.

Sebagai salah satu mentor ISPE, saya menjadi risau karena Peter Gontha sedang berbicara di depan puluhan mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan pascasarjana dari sekian universitas di Inggris. Saya khawatir para calon pemimpin bangsa masa depan itu akan ”termakan” begitu saja sehingga tak tertarik mempelajari ekonomi pertanian atau disiplin ilmu lain yang berhubungan langsung dan tak langsung dengan pembangunan pertanian. Provokasi Gontha masih terus berlanjut sampai setengah waktu dari ceramahnya. Akhirnya, hati saya mulai tenteram dan pikiran menjadi tenang karena sang dubes flamboyan menawarkan sekian macam solusi untuk senantiasa peka terhadap perubahan lingkungan.

Benar bahwa sektor pertanian dan ekonomi Indonesia secara umum akan terus tertinggal jika masih menggunakan jargon lama dan kosakata usang untuk berselancar bersama gelombang perubahan yang sedang terjadi. Calon pemimpin bangsa masa depan itu harus siap menjadi agen perubahan, pelaku dan pemimpin perubahan, mampu mengendalikan arah perubahan, bahkan mengubah strategi jika strategi awal banyak menemui hambatan.

Kinerja pembangunan pertanian

Artikel ini membahas tantangan besar pembangunan pertanian di era Revolusi Industri 4.0, meminjam istilah Klaus Schwab. Setelah hampir memasuki tahun terakhir dari Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla, kinerja sektor pertanian belum banyak menjadi basis ekonomi Indonesia seperti amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Pertanian dalam arti luas tumbuh 3,81 persen per tahun, sebenarnya tak terlalu buruk mengingat kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,06 persen pada 2017.

Masyarakat tak akan berharap pertumbuhan pertanian mencapai 6  persen seperti era 1980-an ketika pertumbuhan ekonomi lebih dari 7 persen. Artinya, sektor pertanian belum mampu menjadi pengganda pendapatan dan pengganda lapangan kerja bagi perekonomian Indonesia.

Pada sektor pangan pokok, khususnya beras, strategi peningkatan produksi dan stabilisasi harga beras masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat umum. Sambil menunggu pengumuman resmi pemerintah tentang angka kinerja produksi yang kini sedang dihitung ulang oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode kerangka sampel area, fakta tingginya harga eceran beras tentu menjadi penentu bagi laju inflasi dan bahkan garis kemiskinan.

Sampai Juni 2018, data BPS menunjukkan, impor beras mencapai 896.000 ton, naik signifikan dari 305.000 ton pada 2017. Dengan kekeringan yang mulai melanda sejumlah sentra produksi beras, angka impor 2018 ini mungkin akan melebihi impor 2016 sebesar 1,3 juta ton. Pemerintah mengambil keputusan impor 500.000 ton awal tahun untuk stok Bulog dan kemungkinan tambahan 500.000 ton untuk operasi pasar dan penanggulangan keadaan darurat lain.

BPS mencatat harga eceran beras pada Juni 2018 sebesar Rp 13.825 per kilogram, meningkat 5,41 persen dibandingkan Juni 2017. Harga beras sekarang telah menurun dibandingkan Februari 2018 sebesar Rp 14.697 per kilogram, rekor tertinggi selama ini. Tingginya harga beras dan pangan lain memberikan sumbangan khusus pada garis kemiskinan di Indonesia. Harga beras berkontribusi 73,48 pada garis kemiskinan pada Maret 2018, meningkat dibandingkan sumbangan 73,35 persen pada September 2017. Komoditas pangan yang berpengaruh pada garis kemiskinan perdesaan adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam, daging ayam, mi instan, dan gula pasir.

Walau jumlah orang miskin telah turun menjadi 25,95 juta orang (9,82 persen) pada Maret 2018, dari 26,58 juta orang (10,12 persen) pada September 2017, jumlah orang miskin di perdesaan masih besar 15,81 juta orang (13,20 persen), lebih tinggi dari perkotaan yang 10,14 juta orang (7,02 persen).

Transformasi struktural 

Pembangunan pertanian adalah proses transformasi struktural perekonomian, dari semula berbasis sektor pertanian dan perdesaan bergeser menjadi berbasis sektor industri dan jasa. Transformasi struktural tidak linier dan penuh liku, berhubungan dengan serangkaian aksi-reaksi oleh para pelaku ekonomi, insentif-respons oleh perumus kebijakan, serta tindakan-konsekuensi oleh segenap lapisan masyarakat madani yang lebih beradab. Proses pembangunan pertanian yang berhasil tidak hanya akan memperkuat sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi juga berkontribusi pada keberadaban suatu proses transformasi.

Proses transformasi struktural yang kokoh akan menghasilkan industri yang tangguh dan menjadi andalan pembangunan sehingga menciptakan sektor jasa dan tersier lain yang jadi tumpuan hidup kelas menengah masa depan. Kaum kelas menengah yang diperkirakan melebihi 100 juta orang dalam waktu dekat akan menjadi pelaku penting di era Revolusi Industri 4.0 yang berbasis teknologi data, pendekatan digital, dan peran generasi milenial yang sudah memasuki pasar kerja dan berbaur dalam menentukan perjalanan ekonomi Indonesia masa mendatang.

Chris Barret (2011) membuat tahapan transformasi struktural berikut. Pertama, tahap awal ”menggerakkan sektor pertanian” (Mosher). Kedua, tahap peran pertanian dalam pembangunan ekonomi (Johnston-Mellor). Ketiga, tahap kenaikan pendapatan pertanian yang lebih rendah dari kenaikan pendapatan non-pertanian karena perbedaan kapasitas produksi dan SDM pertanian (Schultz). Keempat, tahap integrasi pasar tenaga kerja dan pasar keuangan alias era industri modern.

Jika suatu negara mencoba melompat langsung ke ekonomi industri modern atau era Revolusi Industri 4.0 tanpa melalui tiga tahapan awal, bukan manfaat yang akan diperoleh, tetapi ”bencana” yang tak ringan. Misalnya, ekonomi digital sudah amat maju, banyak usaha rintisan dan siap menghubungkan petani dan konsumen atau pasar lebih luas. Jika produktivitas pertanian tidak tinggi dan permintaan akan produk pertanian meningkat pesat, era disrupsi seperti itu justru akan meningkatkan ketergantungan pada produk pertanian negara lain. Jika laju inovasi, riset dan pengembangan (R&D) terlalu rendah, misalnya karena kapasitas SDM yang rendah, integrasi pasar tenaga kerja dan pasar keuangan seperti pada tahap keempat masih sulit terjadi.

Opsi strategi kebijakan masa depan adalah pembangunan pertanian perlu lebih berani mencari terobosan strategis, model bisnis, bantuan langsung petani, dan pemberdayaan masyarakat madani, termasuk bentuk pengembangan bioteknologi modern, pertanian presisi, pertanian ramah lingkungan, dan penanganan pascapanen lebih efisien.

Terakhir, strategi peningkatan kualitas modal manusia, terutama di perdesaan, untuk mendukung strategi industrialisasi perdesaan, industri pengolahan produk pertanian, jasa, dan perdagangan. Opsi kebijakan itu akan mampu meningkatkan daya permintaan atau pasar domestik serta membantu petani, terutama petani muda, masuk dan berperan besar di era industri modern.

Bustanul Arifin Guru Besar Ekonomi Pertanian Unila & Ekonom Senior Indef

26 August 2018

Mengkapitalisasi Istri sendiri, kok bisa?

#Finance #StartUp #Keuangan #SinergiPasangan #CashFlow #CashCow #HumanResources

Pernah dengar bagaimana Pabrik Apple di China - FoxConn mengelola para pekerjanya? Jadwal kerja padat, shift penuh serta asrama sempit berdesakan untuk karyawan kerah biru mereka. Dari ongkos murah para induatrialis Cina ini, Apple mendapat margin yang menggiurkan ditambah lagi strategi branding yang mengesankan produk-produk Apple adalah produk craftmanship berkualitas tinggi.

Tenaga kerja adalah kunci sumber daya yang paling utama dalam setiap bisnis. Kapitalisasi tenaga kerja yang maksimal akan mendongkrak produktivitas bisnis yang berujung pada revenue maksimum pula.

Nah, bicara efisiensi dan kapitalisasi tenaga kerja oleh para taipan bisnis ini menginspirasi saya untuk menulis soal memaksimalkan resources yang kita punya dalam skala usaha baru yg saya geluti. Sebagai pengusaha pemula, tak banyak karyawan yg bisa direkrut, tak banyak orang yg bisa dilibatkan mengingat terbatasnya sumber daya dan modal. Satu2nya orang lain yg bisa support bisnis saya dari awal adalah istri saya sendiri.

Istri adalah resources yang berdayaguna tinggi. Umumnya pasangan hidup kita mengetahui titik lemah kita dan faham kelebihan kita. Di sisi lain, dia akan memiliki kelebihan sebaliknya yg akan berfaedah sebagai naker dalam bisnis. Misal, saya termasuk yg baik dalam sales & business develoment, risk taker tapi agak gegabah mengelola uang, cenderung boros dan senang belanja.

Saya memaksimalkan kemampuan istri untuk mengelola keuangan keluarga sekaligus perusahaan. Awalnya berat, karena ego dan kenyamanan yg terganggu, belum lagi istri yg terkadang gak tahan akan sikap inkonsistensi dari saya sendiri dalam disiplin keuangan. Tetapi dengan komitmen yg terus diperbaiki dan sikap konsisten bahkan pada saat berselisih, maka perlahan kami menjadi nyaman mendisiplinkan diri dalam soal ini.

Setelah sekian bulan, istri saya libatkan dalam hal reimbursement dan gaji karyawan. Rekening mulai dibuat rekening tabungan bisnis yg dia punya otoritas. Masalah kemudian muncul, soal belum tekunnya dia mengelola keuangan dan habis waktu karena menghitung arus kas bisnisnya sendiri (istri saya jualan es, jualan baju dan mengelola pembiayaan syariah dari barang konsumtif sampai modal bisnis skala mikro). Setiap hari ia dengan tekun menghitung arus masuk, arus keluar dan piutang di dalam buku2 ledger setebal 3 jari miliknya. Ia punya basis data catatan pelanggan sejak dia memulai bisnisnya sendiri.

Saya terus mendampinginya dan membuat situasi-situasi rasional untuk diputuskan. Misalnya, dia sering nyeletuk kalau dia dulu kerja itu untuk fun, saya berhasil mempengaruhinya (walau dia terlalu sombong untuk mengakuinya) untuk berhenti bekerja dan akan fun pula dalam bisnisnya. Eh benar saja, setelah saya support misalnya dengan selalu mengantarnya pergi belanja dagangan pakaian ke tanah abang, atau dagangan handphone ke ITC Depok tak lama ia memutuskan berhenti bekerja dan fokus membangun bisnisnya itu.

Sesekali saya sibuk tak bisa mengantarnya, rupanya ia kesulitan dan terkadang jenuh juga dengan rutinitas yang ia lakukan mirip bisnis tukang sate: dari motong daging, bikin bumbu, panggang sate sampai menyajikannya ke customer dilakukan oleh dirinya sendiri. Saya sering mencoba "mengguruinya" soal membangun sistem dalam bisnis, tapi bukan istri saya kalau gak bisa ngeles, ia akan menyebut kegagalan-kegagalan cashflow saya kalau saya mencoba mengajarinya soal merekrut karyawan atau menggunakan aplikasi untuk menghitung keuangan bisnis ritel yg ia jalankan.

Dan jika sudah adu argumen, saya memilih diam dan mengutuk diri saya sendiri karena lemah sekali soal ini sehingga gak bisa menjawab kritikan balik istri saya itu. Tapi diam2 saya terus belajar dan memperbaiki diri dengan berfikir positif atas masukan beliau itu. Saya belajar menurunkan cost hidup saya, misalnya dari ongkos komunikasi kartu pasca bayar saya yg dulu di kisaran 1.5 s.d. 1.9 juta per bulan sehingga nyaris di 300 ribuan saja per bulan sepanjang 3 bulan ini.

Biasanya saya tak tahan untuk mengantongi 500 s.d. 1 juta minimal di dompet jika saya (meminjam istilah istri saya) "kelayapan". Itu dulu, sementara saat ini saya bisa "hidup" dengan happy jika hanya mengantongi 100-200 ribuan saja di kantong (dengan catatan bensin mobil ada, uang plastik cukup untuk transaksi tol atau KRL/Transjakarta, dan GoPay untuk ongkos Gojek). Kritik dan kalimat2 sinis soal kongkow2, haha-hihi yang dianggapnya gak menghasilkan uang saya senyumin aja karena saya tahu benar untuk sales dan develop bisnis ya memang begini caranya.

Alhasil dalam 2 tahun membangun bisnis ini, saya lebih mampu berhemat, lebih bisa bebas dari pengawasan ketat dan kontrol istri saya dalam soal daily cost dan impactnya istri saya lebih leluasa mengelola keuangan keluarga tanpa diganggu oleh kacaunya arus kas karena salah kelola bisnis dan kesalahan2 keuangan yg saya lakukan.

Nah, itulah sekelumit kisah saya mengelola human resources yg saya punya dan itu adalah istri saya sendiri, dan ini pun baru dari 1 aspek saja: mengelola keuangan. Aspek2 lain bisa teman2 temukan sendiri pada pasangan sesuai dengan anugerah yg Tuhan berikan pada pasangan dan diri masing2, tentu beda2 dan unik, tinggal digali dan kita mau jujur menghadapinya.

Salam Berdaya..

Kang Sirod

25 August 2018

Mencermati tulisan Prof. Arya Hadi Dharmawan soal dukungan beliau ke Jokowi

Agak lucu saya membaca postingan sdr. Andi Irman (tim media sosial Jokowi) yang memforward tulisan Prof. Arya Hadi Dharmawan di statusnya. Lucu kenapa? karena terlalu banyak bumbu-bumbu eufimisme dan pengalihan logika akal sehat dalam tulisan tersebut. Hanya demi membenarkan argumen dukungannya kepada pemerintahan Jokowi. Memang jelang tahun 2019 ini semakin banyak yang ingin tampil ke publik, mungkin berharap masuk dalam pusaran besar kekuasaan.

Saat ini memang kita sedang dilanda krisis multidimensi. Bukan hanya masyarakat awam, kaum intelektual di negeri ini pun ramai-ramai mencobot baju intelektualitasnya demi rekam jejak digital bersama penguasa untuk menjadi jalan kenikmatan dan akses resources. Walaupun seperti biasa, kecenderungan tersebut diawali dengan kalimat "saya pun tak ada kaitan bisnis pak Jokowi" hehehe.. ah becanda bapak ini, kalau dosen mah bukan kaitan bisnis dengan penguasa dong ya, masa dosen kok berbisnis, dengan Presiden lagi? sebuah pernyataan yang memukau bagi kaum yang berfikir pendek.

Sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri, Saya Muhammad Sirod, alumni IPB masuk tahun 1997 (dari jurusan Teknologi Industri Pertanian, angkatan ke-34 semenjak IPB lahir dan memisahkan diri dari Universitas Indonesia pada tahun 1963). Saya bukan siapa-siapa juga, hanya satu dari ratusan ribu alumni IPB yang independen mencari nafkah, tidak menjadi Aparatur Sipil Negara, Karyawan BUMN atau menjadi konsultan dari lembaga-lembaga pemerintahan sebagaimana umumnya alumni IPB memilih profesinya.

Di sinilah kekuatan alumni IPB secara umum, siapapun penguasanya, alumni IPB selalu menjadi bagian kontributor bagi negara. Menjelaskan posisi ini penting, karena menghindari bias dan  untuk menilai "kemerdekaan berfikir".

Saya sendiri tidak mengenal Prof. Arya Hadi Dharmawan secara pribadi. Di IPB banyak guru besar, dan nama-nama besar misalnya Prof. Eriyatno pakar sistem guru saya sendiri, Prof. Kudang B. Suminar dan Prof. Marimin pakar komputasi & Fuzzy Logic, Prof. Muhammad Firdaus yang aktif menulis soal ekonomi pertanian, atau sederet guru-guru besar yang juga alumni IPB yang telah saya "lalap" pemikiran-pemikiran besarnya untuk negeri ini seperti Prof. Bustanul Arifien. Sementara Arya Hadi Dharmawan, seperti terlewat dari jajaran pemikir-pemikir besar bangsa ini. Mungkin memang saya kurang membaca dan mengamati lagi jajaran orang-orang hebat di negeri ini sampai-sampai nama Prof. Arya Hadi Dharmawan, kok bisa terlewat.

Lewat mesin pencari Google saya coba telusuri sosok beliau dengan mengetikkan nama "Arya Hadi Dharmawan", maka didapat sitasi dari Google scholar yang membuktikan bahwa ybs memang seorang akademisi/peneliti. Saya coba amati dan gulung ke bawah laman hasil pencarian, ternyata hasil pencarian lebih banyak menunjukkan profil beliau dari beragam situs web. Ada yang dari laman resmi IPB, laman berita politik seperti RMOL, laman diskusi Kaskus, blog gratisan seperti wordpress sampai platform medsos di facebook dan instagram. Wah, ternyata dosen gaul ini, pikir saya. Agak aneh, seorang professor bukan banyak menulis artikel ilmiah atau opini publik di media nasional (online) tapi malah bernarsis ria di media sosial. Pasti banyak opini-opini yang membuat rinduh rendah jagat maya nih, pikir saya.

Dalam sebuah laman berita, dan berita resmi IPB maka didapat posisi beliau sekarang menjabat Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dalam Fakultas Ekologi Manusia IPB. Sebuah fakultas yang cukup baru di IPB dan baru saja melahirkan rektor baru Dr. Arif Satria yang sebelumnya memimpin dekanat berkode huruf I ini.

Pada tahun 2012, Prof. Arya ini pernah mempermalukan institusi IPB dengan menulis sebuah surat terbuka kritik pada SBY Surat terbuka Arya Hadi ke SBY , sehingga ditegur IPB karena mencantumkan logo IPB pada surat terbukanya tanpa koordinasi dengan institusinya terlebih dahulu. Beliau dalam tulisan yg dirilis Andi Irman juga menuliskan mendukung Prabowo pada 2009, seingat penulis, Prabowo saat itu berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri dan dikalahkan SBY - JK. Dari dua info ini silahkan ditafsirkan sendiri arah dukungan Pak Dosen pada politik di negeri ini. Bisa jadi beliau bukan mendukung Prabowo, tetapi mendukung Megawati hehehe..

Tulisan yg tersebar itu dimulai dengan soal filsafat ilmu, soal value dalam ilmu, kemudian diarahkan pada kuliah sosiologi pedesaan dan ekologi manusia lalu diakhiri dengan menyimpulkan dukungan pada Jokowi, funny. Bagaimana seorang guru besar bisa cacat logika mendukung seorang jokowi melalui alur berfikir seperti ini? Apakah beliau ingin menggiring opini bahwa Jokowi adalah sosok pemimpin yang sangat membela Desa? atau sosok ndeso?

Beliau menulis Jokowi membangun bendungan-bendungan. Perlu difahami bahwa bendungan-bendungan besar di Indonesia itu sudah diinisiasi oleh birokrat-birokrat kita salah satunya Pak Basuki Hadimulyo yg sekarang menjadi menteri PUPR. Ada 39 bendungan yang diulas pada International Conference on Large Dams di Bali yang penulis hadiri. Kini Pak Menteri menyatakan bahwa cuma ada 16 bendungan yg dirancang di era SBY sementara pak Jokowi ada 49 bendungan, total jadi 65 bendungan. Silahkan dicari sendiri data siapa yang akurat, karena saya sendiri yang mendapat data tsb pada ICOLD beberapa tahun lalu di Bali.

Vidio Progress Bendungan di Indonesia dari International Conference on Large Dams di Bali 1-6 Juni 2014

Biodiesel? rupanya pak Dosen ini tidak membaca bagaimana sejarah Biodiesel berkembang di negeri ini dan kemudian menimpakan semua jasa pengembangan biodiesel ke Pak Jokowi. Baiknya beliau banyak baca tulisan-tulisan Dr. Kiman Siregar, dosen UNSYIAH Aceh yang juga lulusan IPB dari Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Beliau bukan pakar bendungan/hydrology bicara bendungan, beliau bukan pakar Biodiesel, bicara biodiesel. Apakah begini kualitas intelektual kita saat ini?

Maka buat saya, tulisan Arya Hadi Dharmawan itu lebih baik dianggap angin lalu, karena itu bukan tulisan yg layak ditanggapi serius.




Muhammad Sirod
Praktisi Air Perpipaan dan Bendungan

17 June 2018

Pengantar Islam untuk Sekuleris

Saat ini betapa banyak serangan pemikiran terhadap pemahaman Islam yang dikemukakan oleh mereka yang sengaja memahami Islam sepotong-sepotong. Saya katakan sengaja dikarenakan yang mempertanyakan dan menyerang pemahaman tersebut memang berada di luar barisan kaum Muslimin, tetapi menyandang status sebagai muslim. Sebagaimana kaum jahiliyah Makkah saat Rasulullah SAW melanjutkan risalah kenabian dahulu, kaum musyrikin di sana bukan tidak tahu mana benar mana salah, tetapi karena dalam kacamata mereka, agama yang dibawa Muhammad SAW akan membahayakan mata pencaharian dan kejayaan kelompok mereka. 

Pertentangan kepada Islam/kebenaran sebenarnya sudah ada sejak Nabi Adam a.s. diturunkan ke muka bumi. Kisah Kabil dan Habil mewarnai bagaimana kemungkaran berbuah pada kekejian kemanusiaan, mencederai akhlak dan merusak peradaban. Islam adalah aturan hidup dan jalan hidup (way of life) yang didesain oleh Allah SWT sendiri untuk kelanggengan manusia dan peradaban makluk-Nya. Keindahan jalan tesebut hanya dapat difahami jika setiap manusia ikhlas dalam menjalaninya.

Makna LaailaahaIllallah

Kemerdekaan manusia pada hakekatnya bukanlah bebas dari semua yang dicenderunginya. Tidak ada manusia yang bebas dari kecenderungan atau dominasi. Manusia pada hakekatnya terpesona oleh sesuatu yang indah pada pandangannya. Kecenderungan itu bisa saja pada harta (emas, uang, property, kendaraan, barang koleksi), kekuasaan (pengaruh, jabatan), wanita (lawan jenis), popularitas (follower) dan semua yang menyebabkan seseorang menduduki stratifikasi sosial dalam masyarakat. 

Sejarah mencatat, perjuangan manusia dari abad ke abad sebenarnya hakekatnya adalah perjuangan manusia untuk melawan dominasi atau membebaskan diri mereka dari kecenderungan yang tidak adil. Kemerdekaan pada satu bangsa ternyata adalah kebebasan bangsa tersebut pada satu keadaan penjajahan atas satu kekuasaan dari satu raja lalim kemudian beranjak pada kehidupan dengan dominasi lain. Terkadang seiring waktu manusia terbebas dari pejajahan fisik, berubah menghamba pada materlialisme yang memperbudak mereka menjadi binatang kapitalis (capitalist slave). 

Maka Islam yang dibawa para Nabi sesungguhnya mengingatkan manusia untuk menghambakan diri sepenuhnya pada Tuhan yang Maha mencipta dunia dan jagat raya ini. Kecenderungan manusia dibawa kepada Zat yang tidak tergantung pada apapun, bahkan menjadi sumber ketergantungan. Kemerdekaan hakiki manusia diangkat ke tempat yang tinggi sekali, menjadi makhluk (yg diciptakan) yang memiliki sandaran khalik (pencipta), visi vertikal pada kehidupan horisontal. Jadi, makna "Tiada Tuhan selain Allah" sesungguhnya adalah: Inna shalati, wanusuki, wamahyaya, wamamati lillahi rabbil ‘alamin, semua sendi ketundukan, kehidupan bahkan kematian dipersembahkan hanya kepada sesuatu yang Maha Kuat, Maha Dominan dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sebuah sandaran kehidupan yang sangat beralasan, logic dan mengagumkan. 

Sungguh suatu kehinaan jika seseorang yang sudah ber-syahadat, mengakui bahwa ia hanya didominasi, dikendalikan dan diatur oleh Allah SWT, tetapi dalam kehidupannya berani mencederai perintah Allah hanya karena misalnya: takut terhadap kekuasaan seorang penguasa, takut tidak populer di kalangan manusia, khawatir budaya dan tradisi leluhurnya sirna, gak rela hartanya habis, tidak ridho anak istrinya tidak bergelimang harta dan kemudahan atau kehilangan akar budayanya. Semuanya merupakan "illah", kecenderungan, hal-hal yang dikagumi, dicari, dijadikan tujuan yang justru mengalahkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Padahal, "illah-illah" tadi merupakan kreasi-Nya juga.

Islam dan Arab

Ada kekeliruan yang menghinggapi pemahaman manusia pada umumnya, orang-orang awam terutama, yang beranggapan bahwa Islam itu datang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan diturunkan di Jazirah Arab. Padahal Islam itu merupakan Agama yang dibawa sejak Adam a.s. bahkan sebelum ia diciptakan. Silahkan dicek di Al-Qur'an, kisah penciptaan Adam sebagai manusia pertama pun diceritakan dengan jelas. Islam kemudian diturunkan per wilayah sesuai Nabi/Rasul-nya masing-masing, seperti Nabi Isa a.s. yang khusus untuk masyarakat Jerussalem, Musa a.s. untuk Bani Israel (Mesir dsk) sampai kemudian risalah ini disempurnakan dan dibuat global untuk semua manusia oleh Allah SWT dengan diangkatnya Nabi Muhammad SAW dengan Al-Qur'an-nya di jazirah Arab. Para nabi dan rasul tsb memiliki tautan keturunan yang tidak terputus, semuanya merupakan satu galur murni keturunan para Nabi sampai pada Adam a.s, MasyaaAllah.. 

Para Nabi diturunkan di banyak suku/kabilah/wilayah. Menurut Hamka, ada ribuan Nabi, dan banyak yg tidak tertulis di Al-Qur'an, bisa saja Lao Tse, Khong Fu Tse dan Sidharta Gautama itu adalah para Nabi mengingat ajaran-ajaran ketuhanan dan kemanusiaan yang diajarkan sangat dekat dengan Islam. Menurut Qur'an dan Sunnah, risalah itu tidak pernah putus, sambung-menyambung untuk mengarahkan manusia pada satu jalan yang lurus, jalan kebenaran. Dan penyimpangan-penyimpangan itu selalu berulang, berkaitan dengan "illah-illah" tadi, ia mengalihkan ketaatan manusia, tergoda pada sesuatu yang fana, sepintas bisa membahagiakan tetapi ujung-ujungnya hanya berakhir pada kehinaan dan kehampaan. 



Video 1: Ust. Adi Hidayat: Islam mengubah peradaban jahiliyah menjadi peradaban Islam

Kesempurnaan Islam


Adalah satu takdir Allah jika risalah-Nya kemudian diteruskan oleh seseorang yang merupakan keturunan Nabi Ismail a.s. yang membentuk bangsa arab di kemudian hari, lalu menjadikan keturunan terbaiknya menjadi Nabi sekaligus Rasul penutup dari semua Nabi & Rasul. Ajaran mulia tentang peradaban luhur manusia itu disempurnakan melalui lembaran-lembaran (suhuf) suci yang dinamakan Al-Qur'an. Kesempurnaan Islam ini dijelaskan dalam ayat terakhir dalam kitab ini:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (Al-Maidah: 3).

Rasulullah SAW menjelaskan dalam hadits kesempurnaan agama ini:

Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian (HR. At-Thabrani)


Video 2. Dr. Zakir Naik menjelaskan keotentikan Al-Qur'an

Untuk itu tidak berdasar jika ada pemahaman yang berkembang yg misalnya menganggap ada Nabi/Rasul yang melanjutkan risalah kenabian ini selepas Nabi Muhammad SAW, atau ada aturan ibadah yang dianggap (logika, nafsu, dan perasaan) menyempurnakan aturan-aturan sebelumnya atau tambahan-tambahan larangan terhadap sesuatu yang sebelumnya tidak dilarang. Menambah-nambah atau mengurangi adalah satu penyimpangan dari sikap orang-orang beriman dan lurus pada syariat agama ini. 

Islam dan Agama-agama lain


Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (Al-Imran: 19)

Ayat di atas menjelaskan bahwa satu-satunya agama yang diridhoi di sisi Allah hanyalah Islam. Ayat ini merupakan ayat yang sangat jelas, tidak memerlukan penjelasan panjang lebar karena sangat tegas dan menunjukkan konsistensi ajaran Islam. Dikarenakan datangnya wahyu pada Nabi Muhammad SAW merupakan kelanjutan risalah-risalah sebelumnya, maka ayat ini mempertegas bahwa selama ini begitu banyak ajaran-ajaran, agama-agama yang sebenarnya merupakan penyimpangan dari Islam itu sendiri.


Video 3: Dr. Zakir Naik, kesamaan semua agama 

Tentunya menganggap Islam menjadi satu-satunya agama yang benar bukan berarti bersikap ignorance dan tidak bertoleransi pada pemeluk agama lain, karena hal ini sangat dilarang oleh Islam itu sendiri.


لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtahanah: 8)

Artinya, meyakini dan konsisten pada keyakinan syariat itu paling penting tetapi menjaga hubungan baik pada sesama manusia yang berbeda pemahaman juga diperintahkan oleh agama mulia ini.

Islam dan Budaya

Ahmad Fuad Effendi menjelaskan soal budaya dan agama dalam tulisan yang sangat bernas di blog CakNun sebagai berikut:

Mengenai agama dan budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa agama bersumber dari Allah, sedangkan budaya bersumber dari manusia. Agama adalah “karya” Allah, sedangkan budaya adalah karya manusia. Dengan demikian, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan bagian dari agama. Ini tidak berarti bahwa keduannya terpisah sama sekali, melainkan saling berhubungan erat satu sama lain. Melalui agama, yang dibawa oleh para nabi dan rasul, Allah Sang Pencipta menyampaikan ajaran-ajaran-Nya mengenai hakekat Allah, manusia, alam semesta dan hakekat kehidupan yang harus dijalani oleh manusia. Ajaran-ajaran Allah, yang disebut agama itu, mewarnai corak budaya yang dihasilkan oleh manusia-manusia yang memeluknya.
Tetapi terkadang ada saja yang beropini bahwa Agama adalah bagian dari budaya dikarenakan intervensi manusia pada produk-produk yang dianggap agama. Biasanya opini begini muncul di kalangan sarjana-sarjana barat yang memang di sana ada sejarah pertentangan agama dan sains (jaman kegelapan, pra renaissance) di mana diakui oleh para sarjana-sarjana kristen sendiri bahwa kitab suci mereka, Bibble terjadi intervensi baik oleh gereja maupun kekuasaan politik. Sayang, pemahaman Islam mereka minim (atau sengaja diabaikan) sehingga men-generalisir hal ini dan memasukkan Islam ke dalam agama yg "tercemar" itu.

Ada di antara mereka bahkan beragama Islam namu Islam yang sekedar saja, Islam abangan. Mereka tidak memahami Islam sebagai satu kesatuan sistem yang sempurna, melainkan (biasanya) hanya sebagai ritual biasa. Islam dianggapnya sama seperti agama-agama lain yang hanya meliputi ritual ibadah khusus, tidak menjadi way of life bagi pemeluk-pemeluknya. 

23 March 2018

JANGAN TUNGGU TERBUKTI BARU PERCAYA OMONGAN PRABOWO

Bapak Prabowo Subianto (PS) berpidato, bahwa negara kita sudah diprediksi oleh para pakar di luar sana akan hilang di tahun 2030 nanti. Pidato PS ini di sambut media dan juga pembicaraan netizen dengan berbagai sudut pandang.


Bagi yang suka PS, tentu saja kekhawatiran yang disampaikan PS patut diwaspadai. Sebagai tokoh, PS banyak berbicara tentang keadaan negara ini dan banyak benarnya. Kita waspada dan khawatir apabila ucapan PS itu benar.

Bagi pihak yang selama ini bersebrangan dengan PS, pidato PS dianggap sebagai sebuah RAMALAN yang tidak perlu di dengar. PS mengambil referensi dari sebuah novel 'GHOST FLEET' karangan P.W Singer. Sebuah novel yang ditulis berdasarkan kemampuan beliau memprediksi keadaan di suatu negara.

P.W Singer seorang ahli ilmu politik luar negeri, mendapatkan Ph.D dari Harvard University. Bersama rekannya August Cole, mereka mencoba memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan dalam konflik global. Agar prediksi dan perspektifnya hidup, ia tuliskan analisanya itu dalam drama novel.

Karena yang menulis seorang yang sangat ahli, novel ini bahkan menjadi perhatian serius petinggi militer di Amerika Serikat. James G Stavridis, pensiunan laksama angkatan laut Amerika Serikat, yang kini menjadi dekan di Tufts University hubungan internasional, menyebut buku ini (novel) merupakan 'blue print' untuk memahami perang masa depan. Pemimpin militer di negeri Paman Sam itu mewajibkan para tentara membacanya.


Dengan latar belakang penulis novel tersebut dan juga kemampuannya membaca situasi di suatu negara, apakah salah apabila kita perlu mewaspadai kalau-kalau yang di tulisnya dalam novel tersebut akan kejadian.

Anggaplah tulisan PW Singer itu sebuah kajian atau ramalan,what ever u saylah. Kita bisa menelaah dan menilai kebenaran bahwa negara kita akan hilang lebih tepatnya negara kita akan dikatakan sebagai negara gagal #FailedState.

Sebelum menerawang jauh, ada baiknya kita ketahui dulu bagaimana suatu negara dikatakan gagal ataufailed state.

Dari tulisan Ardi Massardi, bisa di jadikan rujukan bahwa negara dikatakan gagal ketika:
1. Sebuah negara bisa dinyatakan gagal bila tidak punya kemampuan atau ogah-ogahan melindungi warganya dari berbagai tindak kekerasan dan ancaman kehancuran.
2. Negara tidak bisa menjamin hak-hak rakyatnya, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Institusi-institusi demokrasi juga gagal dipertahankan.
3. Institusi demokrasi seperti KPU, DPR, Kepolisian, Kejaksaan, KPK, malah dikriminalisasi, lalu dikooptasi untuk kepentingan sesaat kelompok tertentu. Sehingga “hukum” dimanipulasi dan dijadikan instrumen untuk menggebuk lawan-lawannya.

Indikator di atas apakah kita rasakan saat ini? Apakah bisa kita nilai bahwa saat ini pun negara kita sudah bisa dikatakan sebagai negara yang gagal.

Kajian, ramalan atau prediksi yang dikeluarkan oleh seseorang yang memang mempunyai kapasitas dalam bidangnya tetaplah menjadi 'WARNING' bagi suatu negara jika negaranya dijadikan bahan dalam kajian yang seseorang lakukan. Karena selama ini, di negara kita pun segala tindakan berdasarkan kajian maka keluarlah sebuah kebijakan.

Kebijakan Perppu Ormas, itu semua karena adanya kajian dan juga prediksi bahwa HTI akan mengancam negara kita. Demikian juga tindakan represif aparat keamanan atas tuduhan Islam radikal yang akan membawa konflik Arab Spring ke Indonesia. Aparat keamanan mempunyai penilaian berdasarkan kajian sehingga mereka mengambil kesimpulan.

Kebijakan impor kita juga berdasarkan kajian, memprediksi hasil panen dan kebutuhan yang tidak sesuai dalam 6 bulan ke depan maka itu keluarlah kebijakan impor untuk mencukupi kebutuhan yang tidak akan terpenuhi dari hasil negara sendiri.

(Buya) Syafi'i Ma'arif mengatakan aset bangsa kita 80% dikuasai Asing.
Amien Rais mengatakan bahwa kekayaan kita 74% dikuasai Asing.
Prabowo juga mengatakan bahwa kekayaan negara kita dirampok oleh orang-orang yang tinggal di negara lain.

Mengapa yang dijadikan tersangka atas ucapan tokoh-tokoh itu hanyalah Amien Rais dan juga Prabowo? Mengapa tidak berasumsi bahwa (Buya) Syafi'i Ma'arif juga sedang melakukan ramalan kartu tarot?

Keberpihakan kita, membuat logika kita menjadi aneh. Menganggap Prabowo dan Amien Rais menggigau atas ramalan orang lain, namun terdiam tanpa berbicara apapun saat (Buya) Syafi'i Ma'arif juga mengatakan demikian.

Para orang-orang hebat di luar sana itu mempunyai ilmu dan juga pemetaan khusus mengapa mereka bisa keluarkan penilaian bahwa Indonesia akan lenyap di tahun 2030. Walau ditulis dalam bentuk novel, bukan berarti kita meremehkan apa yang mereka hasilkan. Justru seharusnya kita harus merapatkan barisan dan waspada jika kita memang mencintai negeri ini.
Untuk waspada dan bersiap atas segala ancaman, itu tidak dilarang dalam hukum negara kita. Bahkan sebagai warga negara kita wajib membela negara kita atas segala bentuk penjajahan yang sudah semakin canggih saat ini.

Novel karya PW Singer adalah peringatan dini yang diberikan pada negara kita. 'WARNING CALL' kata orang bule bilang. Ngeri-ngeri sedap apabila itu terjadi dan ada kemungkinan terjadi jika kita melihat indikator-indikator yang terpenuhi dari suatu negara dikatakan gagal atau FAILED STATE. Ketika ada ramalan bahwa ekonomi kita akan menjadi ekonomi terbesar dunia kita percaya dan bertepuk tangan, namun ketika ada kajian sebaliknya yang mengatakan bahwa negara kita bisa lenyap di tahun 2030 esok, mengapa kita malah memonyongkan mulut seolah itu hanya bualan. Padahal, ciri-cirinya sudah mendekati. Justru ciri-ciri negara Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi dunia malah jauh panggang dari api saat ini.

Terkadang kita ingin selalu berada di zona nyaman, dan melupakan zona bahaya. Terlalu ingin di elus, tidak sadar bahwa elusan itu akan berubah menjadi remasan mengarah pada pemukulan. Kita sambut ramalan baik, namun kita abaikan ramalan buruk.

Hidup harus berimbang, terima yang baik dan perhatikan apa yang dinilai buruk oleh orang lain. Sebagai pihak yang dinilai, kita harus introspeksi diri ketika ada penilaian buruk. Berpikir agar jangan sampai terjadi seperti yang mereka nilai. Perbaiki yang salah, kejar ketinggalan dan sejahterakan rakyat itu yang seharusnya di lakukan.

Prabowo selalu dianggap masuk angin ketika ia mengucapkan akan kekhawatirannya pada negara ini. Namun, kita bisa buktikan bersama bahwa apa yang ia ucapkan selama ini memang menemui kebenaran. Masih ingat dengan ucapan PS tentang "BOCOR...BOCOR...BOCOR". Ucapan yang dijadikan bahan tertawaan oleh pendukung Jokowi dan dibuatkan Meme ternyata saat ini TERBUKTI.

Freeport merugikan negara ratusan triliun dalam temuan BPK...!!
Dan itu adalah salah satu bukti KEBOCORAN yang di katakan Prabowo saat debat Pilpres 2014 silam.

Saat beliau mengucapkan kekhawatirannya akan hilangnya Indonesia menurut para pakar ekonomi dan politik, mohon jangan ditunggu buktinya. Ngeri saya andai itu benar-benar terjadi seperti bocornya Freeport saat ini.

Kalau cinta negara ini, sayang negara ini..maka pedulilah.
(Oleh : Setiawan Budi)

09 March 2018

CROWD, kekuatan baru DPP HA IPB

Jika dalam negara ada unsur AGBC (Akademisi, Goverment, Business & Community) maka dalam organisasi DPP HA IPB memiliki PDKC unsur Pengurus Pusat (DPP), unsur Kampus (diwakili Komisariat Fakultas), Perwakilan Daerah (dijewantahkan dalam DPD) dan satu unsur lagi yang tak kalah pentingnya adalah CROWD dalam media sosial.

CROWD (keriuhan / social interaction) dibentuk tidak berdasarkan struktur atau fungsional organ HA, tetapi terbentuk karena kedekatan emosi, hobby, ideologi / politik, kesamaan angkatan, bidang atau rumpun studi dan unsur perekat lainnya.

Jika organ dan struktur dibentuk dan bekerja dengan pola deduktif dalam mendefinisikan diri, program dan tujuan program, maka CROWD berjalan dengan pola induktif. Tergantung siapa yang punya inisiatif kuat, punya bargain sosial (Social Authority) dan faktual terhadap kebutuhan real time saat itu juga. Organisasi merencanakan, sementara CROWD mengalir laksana air. Air tak bisa dibendung, jika pun itu dilakukan maka akan menghasilkan tekanan pada bendung-nya, jika konstruksi bendungnya ada bolong-bolong maka ia akan tersalurkan pada saluran yang tidak bisa dikelola, bahkan bendung tersebut bisa jebol tak kuat menahan tekanan.

Sifat CROWD yang bebas dari "kekakuan" organisasi akan bergerak lincah menelurkan "program-program" yang ada. Mereka tidak akan menjadikan hal ini beban berlebihan karena tidak ada perencanaan sebelumnya. Eksekusi sangat tergantung dari siapa champion yang menelurkan ide/gagasan, dan seberapa antusias member dari CROWD membantu inisiatif tadi: Tim inisiator, tim penggerak dan banyak eksekutor.

Struktur nanti akan terbentuk pada akhirnya, dengan mengikuti stratifikasi sosial yang ada: kompetensi, senioritas, akses pada sumber daya dan ketokohan dalam Crowd itu sendiri.

Facebook HA IPB dibentuk berdasarkan crowd, akun2 alumni bergerak menanggapi inisiatif Kang Andri P Nur (Sosek 18) untuk menambah jumlah member sebanyak2nya. Admin dibuat banyak, setting member baru dibuat terbuka. Kemudian setelah tercapai jumlah yang dirasa cukup diserahkan kepada pengurus DPP sebagai bagian kekuatan organisasi. Perfect!

FB HA IPB kemudian banyak melahirkan sub-group yang lebih homogen. Komunitas2 ini dibentuk juga mengikuti logika CROWD tadi. Teknologi media sosial memungkinkan implementasinya bersifat Cepat, Individual dan Mudah. Jika organisasi tidak cerdas memahami ini, maka ia akan menjadi "Sosok tua" yang tergopoh-gopoh menghadapi derasnya perubahan.


Ada contoh posting menarik di grup FB HA IPB, yaitu peluang akses mengelola lahan tak terpakai di sebuah wilayah. Inisiatif ini jika dikelola melalui mekanisme struktur organisasi tentu akan lama dan birokratis. Maka saya kemudian menyuarakan agar mekanisme CROWD berjalan. Pengurus yang terkait dapat ikut menjadi bagian CROWD tsb kemudian sebisa mungkin bersinergi dengan struktur. Fikiran yang mengemuka adalah bagaimana agar ide itu "it works!", seraya membuat model sistematis agar bisa direplikasi di wilayah lain atau bersinergi dengan perangkat HA IPB: DPD dan DPK misalnya.

Maka jika demikian, rumah bersama yang dibangun dengan susah payah ini akan terasa manfaat besarnya. Unsur kekuatan baru HA IPB semakin terasa bagi semua.

Alumni bersatu, Indonesia Maju..!
Alumni berdaya, Indonesia Jaya..!




Sirod M. Rasoma
Ka. Dept Online (Sub Bidang KOMINFO)
Digital Strategists Arah Angin Visimedia, PT

Tulisan ini adalah opini Pribadi.

15 February 2018

Secuil Kisah Prabowo Subianto



--- Seperti dituturkan Sang Ayah, Sumitro Djojohadikusumo, kepada saya pada Maret 1999. Wawancara saya ini dimuat di Majalah TEMPO April 1999.

------------------------------------------------

Sumitro Djojohadikusumo:

"Semua Yang Diculik Bowo Sudah Dibebaskan"
   
Waktu seperti tidak berdaya terhadap Sumitro Djojohadikusumo, terhadap daya ingatnya. Wajahnya penuh kerut-merut usia, bahunya tidak lagi tegak, dan tangan kanannya perlu menggenggam sebilah tongkat saat ia berjalan.

Namun ingatannya membuat orang akan segera melupakan usianya, yang akan genap 82 tahun pada 29 Mei 1999 nanti. Semua peristiwa masa lalu dapat diterangkannya dengan detail, lalu dihubungkannya  dengan berbagai kejadian mutakhir bilamana perlu.
   
Sesekali tangannya melambai di udara tatkala menekankan sesuatu yang penting, lalu turun menyentuh ujung lengan jas bermotif khas burberi yang dikenakannya siang itu. Sang waktu rupanya juga tak bisa mengalahkan seleranya akan keanggunan: kemeja katun putih button down bermanset emas, dengan dasi berwarna burgundi, bercorak garis-garis halus.
   
Sumitro lahir dari sebuah keluarga terpandang, yang membesarkannya dalam tradisi Barat tanpa kehilangan sentuhan Jawa. Ia mengaku sangat bangga sebagai orang Banyumas-keresidenan di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ia mengikuti jejak ayahnya, Margono Djojohadikusumo, pengikut Boedi Oetomo dan pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) 1946, menempuh pendidikan di Eropa. Pada usia 21 tahun, Sumitro meraih gelar sarjana muda filsafat dan sastra di Universitas Sorbonne, Paris. Dari sini, ia pindah ke Belanda untuk belajar ekonomi di Economische Hogeschool, Rotterdam. Gelar doktor ia raih pada 1942.
   
Setelah meninggalkan universitas, ia menjejak sebuah karir panjang, yang tampaknya belum akan disudahinya hingga sekarang. Ia menaruh perhatian mendalam pada dasar-dasar ekonomi Indonesia, menduduki berbagai jabatan elite dalam birokrasi, serta menjadi konsultan bidang ekonomi dalam dan luar negeri.
   
Ia pernah mengalami masa ''gelap": diburu pemerintah Soekarno, yang menuduhnya bersekongkol dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)-gerakan yang pernah dituduh separatis, tapi oleh para eksponennya disebut sebagai upaya membangun daerah dan menyelamatkan
bangsa dari pengaruh PKI. Oleh rekan-rekan separtainya sendiri (Partai Sosialis Indonesia-nya Sutan Sjahrir), dia dihujat. Sedangkan persentuhannya dengan PRRI pun tak lama.
   
Dalam keadaan terjepit, dia lari ke luar negeri. Baru 10 tahun kemudian, Sumitro pulang ke Indonesia (Juli 1967) dan menduduki  jabatan menteri dalam kabinet Soeharto selama dua periode (1968-1978). Setelah pensiun dari birokrasi, ia giat sebagai konsultan, dosen, dan menulis berbagai karya ilmiah.
   
Pernikahannya dengan Dora Sigar memberinya empat anak yang cerdas dan ... kontroversial. Salah satunya, Letjen Prabowo Soebianto, perwira militer cemerlang yang menikah dengan Siti Hediyati (putri mantan presiden Soeharto), terjerembap dan karirnya selesai begitu saja tak lama setelah kejatuhan Soeharto. Putri sulungnya, Biantiningsih Miderawati, menikah dengan Soedradjad Djiwandono, Gubernur Bank
Indonesia yang dicopot Februari tahun 1998, 10 hari menjelang masa jabatannya berakhir. Dan anak bungsunya, Hashim.
   
Orang lalu bertanya-tanya: inikah akhir kejayaan keluarga Djojohadikusumo? ''I've been through the worst. Dan ini bukan yang
pertama kali," ujarnya.

Wartawan TEMPO Setiyardi mewawancarainya selama tiga jam di kantornya, di Jalan Kertanegara 4, Jakarta. Dan pertemuan dilanjutkan dua hari kemudian di Hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada pertemuan kedua Hermien Y. Kleden dan Wicaksono turut serta. Berikut ini petikannya:
   
                                ***

Bagaimana hubungan Anda dengan Pak Harto sekarang?

Dua hari setelah Pak Harto jatuh, saya mencoba menghubunginya. Saya selalu melakukan itu bila ada kerabat atau kenalan yang sedang dilanda kesulitan.

Boleh tahu isi pembicaraan itu?

Kami tidak ketemu. Lewat ajudannya, saya mengatakan ingin bertemu. Biasanya saya mendapat jawaban dalam dua hari. Satu minggu kemudian, saya mendapat jawaban, ''Bapak masih sibuk." Dua minggu kemudian, saya telepon lagi. Tetap tidak ada tanggapan. Sejak itu, saya tidak pernah mau ketemu lagi.

Ada beban berbesan dengan Pak Harto?

Tahun-tahun pertama baik, tapi makin lama makin tidak baik. Tidak pernah ada bentrokan. Saya memang menjaga jarak. Jadi, hubungan itu biasa saja, jauh tidak, mesra juga tidak.

Melihat besan Anda dihujat sana-sini sekarang, apa yang Anda rasakan?

Tidak hanya sebagai besan, sebagai manusia tentu saya sedih. Masa, ada orang terus-terusan dihujat? Kesalahan Pak Harto adalah dia terlalu percaya kepada anak-anaknya dan terlalu percaya kepada cukongnya. Dia memang lemah terhadap anak-anak, lebih-lebih setelah kepergian Ibu Tien. Dan semua anaknya itu dendam kepada Bowo (Prabowo), kecuali Sigit yang agak netral.

Kabarnya, Anda pernah berucap, pernikahan Prabowo dengan Titiek Soeharto adalah ''kesalahan sejarah" terbesar dalam hidup Anda?

Oh, tidak. Paling-paling historical accident, kecelakaan sejarah. Tapi mau apa lagi? Saya tidak pernah campur tangan dengan kemauan anak-anak. Ini kan bukan sesuatu yang direncanakan. Saya tidak pernah berpikir menjadi besan Pak Harto. Hanya, kami memang memiliki latar belakang keluarga dan budaya yang sangat berbeda. Keluarga saya sangat modern, semua anak hasil pendidikan luar negeri, sementara Titiek kan dari sebuah keluarga yang sangat Jawa.

Anda menyesal?

Dari pihak saya tidak. Tapi mungkin dari istri saya. Tapi saya bilang kepadanya, ''Biar kita serahkan ke anak-anak."

Bagaimana sebetulnya hubungan Prabowo dengan Keluarga Cendana?

Hubungan Bowo dengan anak-anak (Pak Harto) tidak baik, selalu bentrok, meski tidak pernah sampai (tersiar) ke luar: bentrok dengan Tommy soal cengkeh, dengan Mamiek soal helikopter. Anak-anak ini kemudian mempengaruhi bapaknya sehingga Pak Harto akhirnya lebih percaya Sjafrie (Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, bekas Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dan mantan pengawal Soeharto) daripada Bowo. Yang paling akhir, Bowo dikhianati mertuanya sendiri. Sudahlah, saya tidak mau memperpanjang. Nanti dikira dendam.

Dikhianati bagaimana?

Sebenarnya ide untuk melepaskan Prabowo dari pasukannya itu berasal dari panglimanya, jadi dari Wiranto. Kita tahu, Wiranto dan Prabowo seperti ini (mengadu kedua kepalan tangan). Bowo bilang, ''Waduh, orang yang saya bela kok melepaskan saya dari pasukan begitu saja." Ia dilepaskan dari Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) dan ditempatkan di Bandung. Itu sangat mengecewakan Bowo.

Bukankah Prabowo juga dianggap berkhianat oleh Keluarga Cendana?

Pak Harto adalah Panglima Tertinggi (Pangti) ABRI. Jadi, kalau ada apa-apa, Bowo harus membela Pangti. Tapi, waktu itu, Bowo akhirnya mengatakan, bila rakyat menghendaki, Pak Harto akan turun, tapi harus konstitusional. Nah, itu yang dianggap sebagai pengkhianatan oleh Keluarga Cendana.

Banyak tuduhan terhadap Prabowo, dari penculikan hingga usaha kudeta. Mana yang Anda percayai?

Tidak ada yang saya percayai. Bahwa Bowo itu arogan, iya. Kesannya memang begitu. Bahwa dia temperamental, iya. Tentang penculikan, dia memang menculik sembilan orang itu. Tapi perintah penculikan itu kan dia dapat dari atasannya.

Siapa atasannya?

Ada tiga: Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto. Banyak jenderal yang tahu, tapi tidak berani berbicara. Nanti di pengadilan bisa dibuka asalkan pengadilannya benar-benar adil. Dari segi kemanusiaan, penculikan memang tidak bisa diterima. Tapi, dari sudut ketentaraan, ini adalah perintah. Saya sendiri sulit melihatnya dari sudut pandang mana.

Apa sikap keluarga setelah Prabowo disalahkan?

Dalam didikan saya, seseorang harus berani bertanggung jawab. Jangan salahkan bawahan. Tanggung jawab itu yang akhirnya diambil alih Prabowo. Di depan Dewan Kehormatan Militer, Bowo mengambil dokumen dari tasnya, lalu menunjukkan sembilan orang yang diculik, yang ketika itu sudah dilepaskan.

Presiden Habibie pernah mengatakan, saat pergantian kekuasaan, Mei 1998, Prabowo melakukan konsentrasi pasukan. Anda tahu apa yang terjadi?

Tentang hal itu, satu dari kedua orang ini mestinya berbohong: Wiranto atau Habibie. Saya tidak tahu pertimbang-an Habibie berbicara seperti itu. Hubungan saya dengan dia selalu baik. Habibie bahkan memberikan tasbihnya ke Prabowo. Mungkin cari popularitas, atau dipengaruhi Letjen Sintong Panjaitan (kini Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan atau Sesdalopbang), yang menceritakan hal itu. Ini masih tanda tanya.

Ada kabar, Prabowo sempat memaksakan niat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), bahkan Panglima ABRI.

Tidak benar itu. Saya tahu, ada banyak bawahan Bowo yang kecewa karena dia tidak merebut kekuasaan. Kan, waktu itu dia pegang senjata. Saya bilang kepadanya, ''Jangan! Percayalah kepada saya. Kalau ABRI pecah, negara ini akan pecah."

Seberapa jauh Prabowo mendengarkan Anda?

Keluarga kami sangat dekat. Dalam hal Bowo, misalnya, dia memang mengalami banyak cobaan. Dan kami mendukung semua upaya menegakkan keadilan. Kalau melanggar, memang harus dihukum. Saya katakan ke Bowo, ''Pada hari-hari yang gelap, jangan pernah berharap kepada orang yang pernah kamu tolong. Tapi akan selalu datang bantuan dari siapa saja." Eh... benar! Ada telepon dari Amman. Pangeran Abdullah—sekarang Raja Yordania—menelepon. Dia bilang, ''What can I do? You're my friend."

Bagaimana kondisi hubungan Prabowo dan menantu Anda, Titiek, saat ini?

Masih tetap ada. Yang sulit sebetulnya Titiek. Apakah dia mau setia kepada suaminya? Sementara, sebagai anak, kan dia juga masih setia kepada bapaknya? Anda tanya dong ke Titiek.

Anda pernah meminta Prabowo pulang?

Tidak pernah. Semua terserah Bowo. Dia tahu keadaan dalam negeri. Dia harus hidup. Dan untuk bisa hidup, dia harus mencari nafkah—yang sekarang kebetulan di luar negeri.

Bagaimana Anda melihat persoalan putra Anda yang lain, Hashim, yang bisnisnya ikut runtuh akhir-akhir ini?

Dalam keluarga kami, hanya dia yang berbakat menjadi pengusaha. Pribadinya juga menarik, ramah, terbuka terhadap semua bangsa. Dan dia pandai beberapa bahasa asing. Tentang bisnisnya, well, Hashim membuat kesalahan. Dia terlalu ekspansif dan gagal. Tapi setiap orang membuat kesalahan. Dan Hashim perlu belajar dari kesalahan itu.

Anda yakin Hashim bisa keluar dari kondisi buruk ini?

Yakin. Kondisi ini kan sebagian besar disebabkan oleh keadaan eksternal. Semua orang terkena kesulitan. Dalam bisnis semen Cibinong, sebenarnya dia tidak salah. Tapi, karena tidak ada yang membangun, jadi banyak kehilangan pembeli. Ini yang menyebabkan usahanya macet. Dia terlalu cepat dalam ekspansi. Hashim mengakui itu. Tapi saya tidak mau campur tangan secara intern.

Tampaknya Anda bangga betul kepada anak-anak?

Semua orang tua bangga kepada anak-anaknya. Dalam bahasa Jawa, ada istilah wiryo kencono: seorang anak, biar dia seperti sampah pun, tetap harus kita banggakan.

Dan mereka dididik dalam kebebasan. Prabowo masuk Akabri bahkan tanpa seizin Anda. Mariani, putri kedua, kimpoi dengan orang Prancis....

Saya meniru konsep pendidikan orang tua saya. Orang tua saya termasuk generasi yang berada pada masa peralihan, antara kehidupan modern yang lebih longgar dan kehidupan tradisional di mana ikatan keluarga masih sangat kuat, di perbatasan. Mereka hidup dalam dunia tradisional Jawa tapi menyiapkan anak-anak untuk bertempur dengan dunia modern yang sangat keras—di mana setiap orang harus mengambil tanggung jawab individual—sesuatu yang kemudian saya teruskan kepada anak-anak saya. Mereka harus bisa mengambil keputusan sendiri dan membayar konsekuensinya. Dengan suasana itu, saya tidak merasa sebagai kepala suku. Saya bukan godfather mereka. Ha-ha-ha....

Masih tentang keluarga. Menantu Anda, Soedradjad Djiwandono, diberhentikan dari jabatan Gubernur Bank Indonesia, Februari 1998. Apakah ada keputusan keluarga di balik peristiwa itu?

Ah, enggak. Saya cuma mengatakan, ''Sekarang kamu harus mengikuti hati nurani. Kalau naluri itu benar, tidak apa-apa. Kalau tidak, lebih baik mundur." Dia kan tidak sepakat dengan Presiden Soeharto soal CBS (currency board system). Juga sebelumnya ada beberapa soal lain.

Apakah ada kebiasaan rapat keluarga bila menghadapi soal-soal besar?

Tidak pernah. Sebab, saya percaya, semua anggota keluarga itu tidak sama. Sebagai keluarga, kami memang dekat dan kompak. Seperti sekarang, Hashim dan Prabowo dekat sekali. Kalau dihujat, kami bersatu. Setelah itu, tentu masing-masing harus mengembangkan keinginan dan kehidupannya sendiri.

Anda terpukul dengan semua cobaan pada keluarga?

Saya tidak merasa terpukul, walau orang bilang saya terpukul. Terpukul oleh apa? Oleh serpihan-serpihan ini?

Oleh semua soal beruntun di atas, soal Prabowo, Hashim, Soedradjad. Keluarga Djojohadikusumo seolah tengah mengalami keruntuhan akhir-akhir ini.

I've been through the worst. Dan ini bukan yang pertama kali. Pada 1957, selama 10 tahun saya menjadi buron di luar negeri, hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain tanpa uang dan paspor. Saya pernah menjadi tukang mebel dan membuat lemari es besar sewaktu di Malaysia. Saya berkeliling dari satu negara ke negara lain dengan empat anak yang tengah tumbuh. What could be worse than that?

Itu berlangsung semasa Anda terlibat PRRI?

Begini, sebelum pindah ke PRRI, saya merasa hendak ditangkap. Apa-apaan ini? Saya bilang kepada istri, saya tidak mau ditangkap, karena merasa tidak bersalah. Akhirnya saya putuskan bergabung dengan PRRI. Dua hari sebelum berangkat, saya berbicara dengan Sutan Sjahrir. Saya bilang, ''Bung, saya mau hijrah dan bergabung dengan daerah." Sjahrir mengatakan, ''Oke, Cum. Tapi kok daerah seperti tersingkir sendiri. Ada Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda. Usahakan semua itu agar bisa bersatu." Ceritera ini belum pernah saya buka. Anda yang pertama mendapatkannya.

Apa yang terjadi setelah itu?

Saya ke Palembang, terus ke Padang, Pekanbaru, Bengkalis. Dari sini, saya menyamar menjadi kelasi kapal menuju Singapura. Di sana, saya lari dari kapal, terus ke Saigon, Manila, terus ke Manado. Di situ, saya berbicara dengan semua pihak, kemudian dibentuk sebuah front nasional.

Anda tidak percaya dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga memutuskan ke PRRI?

Saya selalu percaya kepada Persatuan Indonesia. Sewaktu PRRI mau mendirikan Republik Persatuan Indonesia, mereka tidak mau memasukkan Pulau Jawa ke dalamnya. Saya menegaskan, ''Kalau begitu, saya tidak ikut karena negara kita satu." Mereka menolak, dan saya ke luar. Karena tak mungkin pulang ke Jakarta, saya pergi ke luar negeri, dan menjadi buron 10 tahun. Saya tidak mau kembali. Waktu itu, adalah orang-orang Partai Sosialis Indonesia (PSI) sendiri, kecuali Sjahrir, yang mendesak agar saya diadili. Saya bilang, justru mereka yang harus diadili.

Siapa saja mereka?

Saya tidak mau menyebut nama. Nanti bikin onar.

Perpecahan itu tentu menyakitkan?

Sakit, tapi saya tetap pada pendirian bahwa masyarakat berada pada posisi sentral. Negara yang harus mengabdi kepada rakyat, bukan sebaliknya. Tapi sudahlah, mereka di sana, saya di sini. Saya punya prinsip sendiri. Filosof Nietzsche mengatakan, ''Eagles do not catch mosquitos" (elang pantang menyambar nyamuk).

Apa alasan utama Anda ke PRRI?

Ada rupa-rupa pertimbangan, dari timbulnya kesadaran bahwa pusat selalu mengabaikan daerah—misalnya kontrol devisa, di mana selama ini devisa selalu dihabiskan di Jakarta—sampai friksi antara Bung Karno dan PSI serta makin dekatnya tokoh PKI D.N. Aidit dengan Bung Karno. Ini juga yang menimbulkan perlawanan daerah-daerah—sesuatu yang sedang berlangsung sekarang.

Siapa yang mau menangkap Anda?

D.N. Aidit dan PKI. Saya mendapat berita dari intelijen saya sendiri bahwa Politbiro PKI menganggap Sumitro sebagai salah satu musuh besarnya sehingga harus dimusnahkan.

Sakitkah peristiwa pelarian 10 tahun itu? Atau justru Anda bahagia karena jadi punya banyak pengalaman?

Bahagiakah orang yang menjadi buron, dimaki-maki, berpindah-pindah negara, tanpa paspor, uang, dan kewarganegaraan, tanpa bisa memastikan apa yang akan terjadi setelah itu?

Kembali ke soal PRRI. Bukahkah Bung Sjahrir kemudian mengirim Djoir Muhammad untuk membujuk Anda kembali?

Djoir tidak pernah bertemu dengan saya. Kemudian Sjahrir mengirim lagi orang lain, Djohan (Sjahrusa), ke Singapura. Tapi dia tidak bertemu dengan saya. Namun saya katakan, saya tidak mungkin kembali. Setiap kali saya masuk kabinet—entah Natsir, Wilopo—saya dibilang bukan wakil PSI. Kalau pas gagal, mereka bilang itu kesalahan saya. Kalau berhasil, mereka bilang, "Dia (Sumitro) orang kita." Bagaimana itu?

Benarkah PRRI mendapat suplai senjata dari Central Intelligence Agency (CIA) atau Dinas Rahasia Amerika?

Sebagian. Senjata yang lain dibeli di Phuket, Thailand, dan Taiwan. Saya tahu George Kahin (profesor dari Universitas Cornell) mengatakan saya orang CIA. Dia benar-benar ngawur. Banyak orang CIA justru benci saya. Memang benar ada kontak dengan CIA, intelijen Korea, Prancis. Ini kan gerakan bawah tanah.

Apakah CIA juga mendesain pola gerakan PRRI?

Tidak sejauh itu. Mereka hanya membantu. Yang mendesain orang-orang kita sendiri. Kelemahan PRRI adalah cenderung menganggap diri sebagai gerakan militer, sehingga lemah di politik. Kelemahan lain: terlalu banyak kepentingan daerah yang masuk.

Ada yang menilai Anda oportunis: melarikan diri di kala ada soal di Tanah Air, lalu kembali setelah rezim berganti dan berjaya di Orde Baru.

Well, saya rasa itu sikap pragmatis, bukan oportunistis. Secara prinsip, saya konsisten. Pada tingkat aplikasi, bisa berubah-ubah. Di situ letak pragmatismenya. Boleh saja kita menggunakan teori kapitalisme untuk sosialisme.

Bagaimana hubungan Anda dengan Bung Karno?

Baik. Sampai sekarang, saya tidak pernah menjelek-jelekkan Bung Karno, tidak satu kata pun, walau saya tahu Bung Karno menghujat saya. Bagi saya, dia ''Pemimpin yang Besar", bukan ''Pemimpin Besar". Dia jenius dalam politik, dan menyatukan negara ini. Dia luar biasa.

Lalu dengan Bung Sjahrir? Kan, Anda bergabung dengan PSI karena merasa cocok dengan pemikirannya?

Saya masuk PSI tahun 1950. Dan saya memang cocok dengan pemikiran Sjahrir tentang sosialisme humanitarian: negara adalah pelindung rakyat, bukan sebaliknya. Kemudian saya berpisah dengan PSI—tidak dengan Sjahrir—karena tidak tahan dengan kelompok-kelompok di sekitarnya yang merasa diri sebagai Sjahrir-Sjahrir kecil. Mereka terus-menerus omong tentang ideologi tanpa mewujudkan ideologi itu dalam real politics. Nah, setelah di PSI itu, saya ke PRRI.

Dan setelah ke PRRI—serta masa pelarian—Anda kembali ke Indonesia? Apakah Soeharto meminta Anda kembali?

Pada 1966, Soeharto mengirim Ali Moertopo mencari saya di luar negeri. Pak Harto butuh penasihat ekonomi karena Widjojo dan lain-lain masih muda-muda. Ali mencari kiri-kanan, tapi tidak berhasil. Sebagai buron, saya kan lebih mahir, ha-ha-ha.… Akhirnya, kami ketemu di Bangkok, November 1966, dipertemukan Sugeng Djarot, atase pertahanan kita di sana. Saya diminta kembali. Saya terima tawaran itu dan kembali pada Juli 1967.

Kapan Anda dipanggil ke istana?

Mei 1968. Kami berbasa-basi. Dia tanya, ''Pak Mitro asli mana?" Saya jawab, ''Dari Banyumas." Dia meminta saya membantu dalam kabinet, sebagai ahli. Dia juga mengatakan masih harus membicarakannya dengan rekan-rekannya di ABRI karena ada yang belum sreg: bekas pemberontak kok mau masuk kabinet.

Saya bilang kepada Pak Harto, ''Oke, sekarang toh saya sudah membantu juga dengan analisis ekonomi. Saya tidak perlu kedudukan." Waktu 8 Juni 1968 Pak Harto mengumumkan kabinet, ternyata saya menjadi Menteri Perdagangan. Keadaan ekonomi kita waktu itu amburadul. Seluruh ekspor hanya Rp 500 juta, inflasi 650 persen, dan cadangan devisa hanya Rp 20 juta.