Prof. Dr. Quraish Shihab, Lc, MA
Metro TV, 22 Agustus 2004, 14.00 âEUR?E15.00 WIB
Kita melihat di kehidupan alam semesta ini pasti mempunyai pasangan.
Ada jantan, ada betina. Ada gelap, ada terang. Ada hidup dan ada mati.
Bahkan sesuatu yang dulu belum kita ketahui ternyata berpasangan.
Contohnya di dalam atom, ternyata ada electron yang berpasangan dengan
proton. Yang tidak memiliki pasangan hanyalah Allah swt.  
Manusiapun diberi pasangan oleh Allah. Karena itu,  berpasangan adalah
sunnah kehidupan. Karena itu, Allah  menganjurkan bagi yang mampu untuk
nikah dan kawin. "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamuâEUR¦" (QS.24:32). Namun apabila kita tidak mampu, kita dianjurkan
oleh Allah untuk menunda perkawinan.
"Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya." (QS.
24:33).
Judul diatas Perkawinan adalah yang dimaksud sebenarnya  adalah
berpasang-pasangan  karena diambil dari kata Zawaj yang  artinya
berpasang-pasangan.
Mengapa manusia harus kawin ?
Pada dasarnya  manusia tidak senang  dengan kesendirian, dia
membutuhkan  teman untuk mencurahkan isi hatinya, dengan ngobrol,
bercanda dan menumpahkan cintanya pada orang yang disayanginya.
Perkawinan atau berpasang-pasangannya alam  termasuk  binatang   berbeda
dengan perkawinan antar manusia. Hal  itu  dikarenakan jika  binatang
kawin maka anak hasil perkawinannya bisa langsung mandiri,
sedangkan manusia tidak. Karena itulah maka syarat-syarat untuk
perkawinan dituntun oleh agama agar dapat diikuti oleh manusia  sehingga
fungsi-fungsi  kehidupan manusia dapat berjalan dengan baik.
Syarat-syarat perkawinan adalah :
Allah menetapkan siapa yang boleh dikawini dan siapa juga yang tidak
boleh dikawini.
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan
itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh)." (QS.4:22)
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. 4:23).
"dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami" (QS. 4:24).
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya." (QS. 2:221)  Jangan pula
kita melamar seorang wanita yang sedang dilamar oleh orang   lain,
begitu pesan Nabi.
Ada calon mempelai laki-laki dan perempuan  
Ada Wali
Ada  Saksi  2 orang  cukup
Ada  Mahar atau mas kawin.
Nah  jika syarat-syarat diatas memenuhi maka  nikah sudah menjadi sah.
Kita kadang terlalu mensakralkan berlebihan  terhadap perkawinan pada
tempat yang salah, sehingga perkawinan harus  ada pesta dan
aturan-aturan yang  menjelimet. Tapi agama pun tidak  melarang jika
harus diadakan itu (aturan-aturan tambahan dari adat setempat dan
sebagainya) jika  sanggup, tapi  jika  tidak  mampu  maka
syarat-syarat  tadi sudah halal jika ijab qabul terlaksana, tidak
perlu ada bacaan-bacaan Quran dan sebagainya, cukup ijab qabul, dah
selesai. Kemudian agar dapat tercatat di kenegaraan  kita,  kita
ikuti  aturan  pemerintah  tersebut  yaitu mencatat  perkawinan  kita
di KUA untuk pendataan.
"Kebaikan itu  hendaknya jangan ditunda-tunda, tapi disegerakan". Jadi
jika memang sudah sanggup diantara kedua pasangan untuk menikah maka
disegerakan, jangan  menunggu kaya dulu.
Tujuan perkawinan bukan hanya untuk kebutuhan seks semata, tapi tujuan
perkawinan yang sesungguhnya adalah sakinah (ketenangan) untuk kita
manusia.
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari diri kamu, supaya kamu cenderung dan merasa  tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu mawaddah dan rahmah.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir."(QS.30:21)
Kita  lihat ayat diatas.  Allah mengatakan Dia  telah  menciptakan
untukmu isteri-isteri dari diri kamu. Apa maknanya ? Maknanya adalah
pasangan kita  sesungguhnya adalah diri kita. Maukah kita merugikan
diri Anda sendiri dalam arti merugikan pasangan Anda ? Maukah Anda
menyakiti diri sendiri artinya menyakiti pasangan Anda  yang merupakan
diri Anda  sendiri ? Pasangan  kita  adalah diri kita. Apabila kita
menginginkan sesuatu  maka sebelum kita mengucapkan,  suami/isteri
kita sudah dapat menebaknya dengan tepat apa yang kita inginkan,
karena dia adalah diri kita. Begitu juga sebaliknya karena kita juga
adalah dirinya. Semakin terjadi persesuaian suami-isteri, akan semakin
bahagia mereka.
Untuk itu, dalam memilih pasangan, perlu ada kesetaraan,  baik
kesetaraan dalam beragama, kesetaraan dalam konsep hidup, pandangan
hidup, kesetaraan dalam berfikir,  kesetaraan dalam kedudukan. Nabipun
menganjurkan  "Lihatlah  wanita itu sebelum kamu nikahi". Nabi
mengatakan  seperti  itu dengan maksud untuk melanggengkan perkawinan
yang akan terjadi.
Berkaitan dengan  kesetaraan dalam pandangan hidup dan kesetaraan
dalam agama, maka tidak dianjurkan kawin antar agama. Larangan
perkawinan  antar  pemeluk  agama  yang  berbeda ini, dilatarbelakangi
oleh keinginan  menciptakan "sakinah"  dalam keluarga  yang merupakan
tujuan  perkawinan. Perkawinan  baru akan langgeng  dan  tenteram   jika
terdapat  kesesuaian  pandangan hidup  antara suami  dan
isteri. Jangankah perbedaan  agama,  perbedaan budaya  bahkan  tingkat
pendidikan  pun  tidak  jarang  menimbulkan  kesalahpahaman  dan
kegagalan  perkawinan.
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka
beriman." (QS. 2:221).
Kecuali seorang laki-laki muslim diperbolehkan untuk menikahi wanita
terhormat dari ahlul kitab (nasrani), wanita terhormat bukan wanita
sembarang dari ahlul kitab. Dan tidak berlaku jika wanita-wanita
mu'min menikah dengan laki-laki ahlul kitab (nasrani), haram hukumnya.
"(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita muhsonat di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik."
(QS.5:5).
Muhsonat dalam ayat tersebut adalah wanita terhormat, bukan wanita
sembarang dari ahli kitab.
Mengapa demikian aturannya ?  Karena Allah menghendaki perkawinan kita
langgeng, tidak hanya  di dunia ini saja tapi sampai akhirat.
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari diri kamu, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu mawaddah dan rahmah."
(QS.30:21).
Coba kita perhatikan lagi arti ayat diatas. Mawaddah itu bukan berarti
hanya cinta. Cinta mengenal arti 'putus', tapi mawaddah tidak mengenal
arti putus. Cinta bisa putus, tapi mawaddah tidak. Apa sebenarnya arti
Mawaddah ?
Mawaddah mempunyai arti dasar yang berarti kosong.  Kosong hati kita
dari memori kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh pasangan
kita. Suami/isteri harus sadar kalau suami/isteri bisa melakukan
kesalahan yang lebih besar dari pasangannya, karena itu kosongkanlah
hati dari memori kesalahan pasangan Anda.
Karena itu, selama ada mawaddah di hati berdua, tidak ada kata cerai.
Allah menutup serapat-rapatnya celah untuk terjadinya perceraian,
karena Allah tidak menghendaki hal itu. Seharusnya tidak ada lagi celah
untuk melegitimasi adanya perceraian yang diperbolehkan.  
Kata  Nabi, perkawinan   adalah suatu ikatan yang  sangat kuat
(mitsaqan ghalidzha), tidak ada ikatan kuat  antar  manusia  sekuat
perkawinan  atau  berpasangan.
Kalaupun tidak ada mawaddah lagi, maka perlu ditanya apakah masih ada
rasa rahmah (kasih sayang) pada isteri/suaminya. Kalaupun rasa rahmah
juga tidak ada lagi, bagaimana dengan amanah ? masih adakah amanah di
hati tiap-tiap pasangan tersebut.
Amanah termasuk didalamnya adalah anak-anak,  tapi  juga termasuk aib
dari masing-masing pasangan. Seorang isteri rela untuk menunjukkan
perhiasannya kepada suaminya itu adalah sebuah amanah.
Begitulah ketika  ada seseorang yang akan menceraikan  istereinya,
maka Umar bin Khattab  bertanya kepadanya,  apakah dia sudah tidak
mempunyai rasa mawaddah kepadanya  ? Dijawab  dengan tidak oleh  orang
tersebut. Lalu Umar  bertanya kembali,  apakah dia memang  sudah tidak
rahmah (sayang) lagi kepada isterinya ? Dijawab  dengan  tidak   kembali
oleh  orang tersebut. Lalu Umarpun kembali bertanya ?   Bagaimana dengan
amanah yang sudah dia berikan  kepadamu dan kamupun   memberikan amanah
kepadanya ?
Di sini sangat menekankan Allah sangat tidak menyukai kepada
perceraian, segala celah  alasan untuk    terjadinya perceraian ditutup
rapat.
"bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak."(QS.4:19).
Sabda Nabi pula kurang lebih demikian : "Bertakwalah kepada Allah
terhadap perempuan-perempuan, yang ditanganmu  terdapat keputusan
untuk menceraikan mereka. Kamu kawinkan mereka dengan kalimat-kalimat
Allah dan menjadi halal hubungan  kamu dengan mereka atas
kalimat-kalimat Allah".
Apa kalimat Allah itu ? Kalimat Allah itu hanya digunakan dalam
Al-Quran hanya untuk dua hal, Nikah dan Zawaj (Perkawinan, tapi arti
yang lebih dekat adalah berpasang-pasangan). Kalimat Allah  adalah
kalimat-kalimat yang  mengandung  kejujuran  dan  adil.
Allah mengatakan  bahwa Dia tidak akan mengubah kalimat-kalimatNya.
Nah seharusnya manusia  yang   menikah dan berpasang-pasangan jika
menikah itu atas kalimat-kalimat Allah tentunya  mereka  tidak  akan
mengubah-ubah. Perceraian adalah mengubah-ubah kalimat Allah. Tidak
bisa  diubah kalau pernikahan dan perkawinan  itu  terjadi  dengan
kalimat-kalimat Allah.
"Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah."
(QS.10:64).
Berpasangan itu harus ada bedanya, misal sepatu  kanan harus berbeda
dengan sepatu kiri agar bisa digunakan. Tajam dan kuatnya  jarum harus
diimbangi dengan lemahnya kain agar dapat digunakan dan dibuat menjadi
baju. Seandainya  jarum yang tajam dan kuat tidak diimbangi  dengan
kain yang lemah tapi  dengan kain yang keras  seperti tembok, maka
kita tidak bisa membuat baju. Begitu juga dengan kehidupan manusia,
antara  suami dan isteri, kalau dua-duanya ingin mempunyai peran
menjadi bapak maka perkawinan tidak  akan langgeng.
Apakah lemahnya kain menandakan rendahnya derajat kain ? Tidak. Itu
merupakan fenomena kesetaraan, karena  kuatnya jarum jika dia
sendirian, tidak  ada kain maka tidak akan  ada  baju yang  jadi.
Karena itu, manusia  yang  sendirian  maka  banyak  sesuatu yang belum
optimal atau  dapat terwujud.
Subhanallah,  Allah  telah menjadikan segala  sesuatu
berpasang-pasangan,  banyak hikmah yang dapat kita renungkan.
Kawin  atau berpasang-pasangan sesungguhnya  adalah kita  menyatukan
jiwa, pikiran, perasaan  dan jasmani kepada pasangan  kita.  Kita
satukan semua yang  ada dalam diri kita dengan pasangan kita   tersebut.
NB :
Tidak mengapa dalam memilih pasangan,  perempuan  yang mengidolakan
ayahnya mencari calon  yang  mempunyai karakter  seperti  bapaknya,
begitu juga  sebaliknya, laki-laki yang  mengidolakan  ibunya  mencari
calon  yang  mirip  dengan  karakter  ibunya. 
Salam DorZie. terimakasih. tafsirannya bagus. saya membacanya ketika azan jumaat. ia masuk dalam jiwa untuk mencintai suami dan keluarga saya.
ReplyDelete