Kompas, 1 Agustus 2018
Pada forum Indef School of Political Economy (ISPE) di London Inggris, Desember 2017, Duta Besar RI untuk Polandia Peter Gontha mengawali ceramahnya dengan suatu kritik serius bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sumber kemiskinan.
Tenggorokan saya seakan tercekat, pipi terasa tertampar, dan pikiran melayang tak keruan, sambil menebak-nebak ke mana arah ceramahnya nanti. Beberapa orang yang kenal sosok dan karakter Peter Gontha pasti tak asing lagi dengan gaya bicara lugas, point-blank, dan apa adanya. Selain sebagai dubes, ia wirausaha sukses, pendiri Java Jazz, dan mampu bertahan di kancah elite semua rezim, dari era Orde Baru, Reformasi, hingga era Presiden Joko Widodo.
Sebagai salah satu mentor ISPE, saya menjadi risau karena Peter Gontha sedang berbicara di depan puluhan mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan pascasarjana dari sekian universitas di Inggris. Saya khawatir para calon pemimpin bangsa masa depan itu akan ”termakan” begitu saja sehingga tak tertarik mempelajari ekonomi pertanian atau disiplin ilmu lain yang berhubungan langsung dan tak langsung dengan pembangunan pertanian. Provokasi Gontha masih terus berlanjut sampai setengah waktu dari ceramahnya. Akhirnya, hati saya mulai tenteram dan pikiran menjadi tenang karena sang dubes flamboyan menawarkan sekian macam solusi untuk senantiasa peka terhadap perubahan lingkungan.
Benar bahwa sektor pertanian dan ekonomi Indonesia secara umum akan terus tertinggal jika masih menggunakan jargon lama dan kosakata usang untuk berselancar bersama gelombang perubahan yang sedang terjadi. Calon pemimpin bangsa masa depan itu harus siap menjadi agen perubahan, pelaku dan pemimpin perubahan, mampu mengendalikan arah perubahan, bahkan mengubah strategi jika strategi awal banyak menemui hambatan.
Kinerja pembangunan pertanian
Artikel ini membahas tantangan besar pembangunan pertanian di era Revolusi Industri 4.0, meminjam istilah Klaus Schwab. Setelah hampir memasuki tahun terakhir dari Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla, kinerja sektor pertanian belum banyak menjadi basis ekonomi Indonesia seperti amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Pertanian dalam arti luas tumbuh 3,81 persen per tahun, sebenarnya tak terlalu buruk mengingat kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,06 persen pada 2017.
Masyarakat tak akan berharap pertumbuhan pertanian mencapai 6 persen seperti era 1980-an ketika pertumbuhan ekonomi lebih dari 7 persen. Artinya, sektor pertanian belum mampu menjadi pengganda pendapatan dan pengganda lapangan kerja bagi perekonomian Indonesia.
Pada sektor pangan pokok, khususnya beras, strategi peningkatan produksi dan stabilisasi harga beras masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat umum. Sambil menunggu pengumuman resmi pemerintah tentang angka kinerja produksi yang kini sedang dihitung ulang oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode kerangka sampel area, fakta tingginya harga eceran beras tentu menjadi penentu bagi laju inflasi dan bahkan garis kemiskinan.
Sampai Juni 2018, data BPS menunjukkan, impor beras mencapai 896.000 ton, naik signifikan dari 305.000 ton pada 2017. Dengan kekeringan yang mulai melanda sejumlah sentra produksi beras, angka impor 2018 ini mungkin akan melebihi impor 2016 sebesar 1,3 juta ton. Pemerintah mengambil keputusan impor 500.000 ton awal tahun untuk stok Bulog dan kemungkinan tambahan 500.000 ton untuk operasi pasar dan penanggulangan keadaan darurat lain.
BPS mencatat harga eceran beras pada Juni 2018 sebesar Rp 13.825 per kilogram, meningkat 5,41 persen dibandingkan Juni 2017. Harga beras sekarang telah menurun dibandingkan Februari 2018 sebesar Rp 14.697 per kilogram, rekor tertinggi selama ini. Tingginya harga beras dan pangan lain memberikan sumbangan khusus pada garis kemiskinan di Indonesia. Harga beras berkontribusi 73,48 pada garis kemiskinan pada Maret 2018, meningkat dibandingkan sumbangan 73,35 persen pada September 2017. Komoditas pangan yang berpengaruh pada garis kemiskinan perdesaan adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam, daging ayam, mi instan, dan gula pasir.
Walau jumlah orang miskin telah turun menjadi 25,95 juta orang (9,82 persen) pada Maret 2018, dari 26,58 juta orang (10,12 persen) pada September 2017, jumlah orang miskin di perdesaan masih besar 15,81 juta orang (13,20 persen), lebih tinggi dari perkotaan yang 10,14 juta orang (7,02 persen).
Transformasi struktural
Pembangunan pertanian adalah proses transformasi struktural perekonomian, dari semula berbasis sektor pertanian dan perdesaan bergeser menjadi berbasis sektor industri dan jasa. Transformasi struktural tidak linier dan penuh liku, berhubungan dengan serangkaian aksi-reaksi oleh para pelaku ekonomi, insentif-respons oleh perumus kebijakan, serta tindakan-konsekuensi oleh segenap lapisan masyarakat madani yang lebih beradab. Proses pembangunan pertanian yang berhasil tidak hanya akan memperkuat sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi juga berkontribusi pada keberadaban suatu proses transformasi.
Proses transformasi struktural yang kokoh akan menghasilkan industri yang tangguh dan menjadi andalan pembangunan sehingga menciptakan sektor jasa dan tersier lain yang jadi tumpuan hidup kelas menengah masa depan. Kaum kelas menengah yang diperkirakan melebihi 100 juta orang dalam waktu dekat akan menjadi pelaku penting di era Revolusi Industri 4.0 yang berbasis teknologi data, pendekatan digital, dan peran generasi milenial yang sudah memasuki pasar kerja dan berbaur dalam menentukan perjalanan ekonomi Indonesia masa mendatang.
Chris Barret (2011) membuat tahapan transformasi struktural berikut. Pertama, tahap awal ”menggerakkan sektor pertanian” (Mosher). Kedua, tahap peran pertanian dalam pembangunan ekonomi (Johnston-Mellor). Ketiga, tahap kenaikan pendapatan pertanian yang lebih rendah dari kenaikan pendapatan non-pertanian karena perbedaan kapasitas produksi dan SDM pertanian (Schultz). Keempat, tahap integrasi pasar tenaga kerja dan pasar keuangan alias era industri modern.
Jika suatu negara mencoba melompat langsung ke ekonomi industri modern atau era Revolusi Industri 4.0 tanpa melalui tiga tahapan awal, bukan manfaat yang akan diperoleh, tetapi ”bencana” yang tak ringan. Misalnya, ekonomi digital sudah amat maju, banyak usaha rintisan dan siap menghubungkan petani dan konsumen atau pasar lebih luas. Jika produktivitas pertanian tidak tinggi dan permintaan akan produk pertanian meningkat pesat, era disrupsi seperti itu justru akan meningkatkan ketergantungan pada produk pertanian negara lain. Jika laju inovasi, riset dan pengembangan (R&D) terlalu rendah, misalnya karena kapasitas SDM yang rendah, integrasi pasar tenaga kerja dan pasar keuangan seperti pada tahap keempat masih sulit terjadi.
Opsi strategi kebijakan masa depan adalah pembangunan pertanian perlu lebih berani mencari terobosan strategis, model bisnis, bantuan langsung petani, dan pemberdayaan masyarakat madani, termasuk bentuk pengembangan bioteknologi modern, pertanian presisi, pertanian ramah lingkungan, dan penanganan pascapanen lebih efisien.
Terakhir, strategi peningkatan kualitas modal manusia, terutama di perdesaan, untuk mendukung strategi industrialisasi perdesaan, industri pengolahan produk pertanian, jasa, dan perdagangan. Opsi kebijakan itu akan mampu meningkatkan daya permintaan atau pasar domestik serta membantu petani, terutama petani muda, masuk dan berperan besar di era industri modern.
Bustanul Arifin Guru Besar Ekonomi Pertanian Unila & Ekonom Senior Indef
No comments:
Post a Comment