14 April 2005

Dan bergemalah musik dangdut

Anda pikir itu mungkin hal yang mudah. Tetapi ketika sistem yang ada mendudukkan manusia sebagai (semata) salah satu angka nominal sebuah perputaran industri, bah betapa repotnya. Karena bekerja rasanya bukan lagi untuk menyangga hidup, melainkan hidup adalah untuk bekerja.

Kita tahu bahwa berdasar catatan sejarah, revolusi industri berawal dari Inggris Raya ini. Dulu awalnya mungkin hanya terbatas pada penambangan batubara dan pemintalan kapas, tetapi melewati abad pertama sejak revolusi industri terjadi, kita tahu yang namanya industri tidak hanya dua itu.

Dan revolusi industri mengubah secara radikal cara manusia memproduksi barang dan berdagang. Kapitalisme pun marak. Keuntungan atau profit harus didapat dalam setiap gerak dan langkah selama 24 jam penuh. Dan sebuah élan kehidupan dimana harga manusia, kasarnya, kemudian terikutkan sebagai bagian dari (modal) alat produksi muncul.

Penemuan listrik, perkembangan telekomunikasi, komputer, kesadaran akan globalisasi semakin menguatkan posisi manusia sebagai sekadar salah satu sekrup roda industri, sekaligus menyadarkan ummat manusia bahwa revolusi industri lahir dan tidak bisa dimatikan kembali. Ia ada dan akan menyertai ummat manusia sampai mungkin nanti manusia musnah.

Perputaran hidup manusia karenanya tidak lagi tergantung pada peralihan gelap dan terang, siang dan malam, matahari dan rembulan. Kapan saja, setiap saat, mesin industri harus berputar. Manusia menjadi salah satu sekrupnya.

Dalam situasi seperti ini bisa anda bayangkan kalau meluangkan waktu untuk berkehidupan sosial menjadi rumit. Tentu cerita dari kota besar bahwa tetanggapun tidak saling kenal sudah sering anda dengar.

Persoalannya bukan karena tidak mau saling mengenal, tetapi seringkali karena memang tidak ada waktu. Pola dan jam kerja berbeda membatasi interaksi dengan tetangga. Ada yang harus kerja sepanjang malam, ada yang siang, ada yang tak menentu tergantung jadwal shift atau giliran.

Cerita mengenai suami istri yang sama-sama bekerja dan jarang bertemu bukanlah cerita yang terlalu asing di sebuah negeri industri.

Karenanyalah hari libur akhir pekan merupakan segalanya. Saat itulah satu-satunya waktu bagi anda untuk benar-benar beristirahat, bersosialisasi, dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Dengan catatan tentu saja, karena mesin industri harus tetap berputar walau libur, anda tidak mendapat giliran bekerja.

Itulah sebabnya saya katakan anda harus benar-benar menjaga kehidupan sosial anda.

Tempat minum atau pub adalah salah satu tempat kegemaran rakyat Inggris untuk menghabiskan waktu luang mereka. Terutama di akhir pekan tempat ini selalu ramai. Ngobrol tak berjuntrungan dengan kenalan ataupun teman-teman mereka. Bagi anda yang pernah ke Aceh, bayangkan tempat ini seperti kedai kopi di sana.

Kalau butuh waktu yang lebih bersifat pribadi, kegemaran orang Inggris yang lain adalah memperbaiki rumah dan berkebun. Asal bukan pekerjaan yang terlalu berat orang Inggris lebih senang melakukannya sendiri karena jasa tukang mahalnya minta ampun.

Kebiasaan lain orang Inggris adalah memanjakan hobi. Apa saja dari olahraga, kegiatan sosial, diskusi, pelestarian lingkungan, kegiatan gereja, pengajian, sepertinya semua kegiatan ada organisasinya.

Saya sendiri bersama istri jadwal sudah rutin. Jumat malam adalah waktu bagi untuk bermain badminton bersama teman satu klub di daerah tempat saya tinggal. Sabtu pagi mengantar anak berlatih sepakbola sekaligus bertemu dengan orang tua sesama satu klub dengan anak saya.

Sabtu malamnya biasanya beberapa teman kami, ini hampir rutin kalau kebetulan libur semua, biasanya datang ke rumah untuk sekadar ngobrol dan makan. Mereka ini rata-rata orang Indonesia yang kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dari kami, walau ada beberapa yang harus menempuh sekitar tigaperempat jam menggunakan kereta.

Ada beberapa gitar, harmonika, kendang dan ketipung, tidak lupa icik-icik. Dan jreng bergemalah musik dangdut di sudut tenggara kota London.

No comments:

Post a Comment