08 April 2005

Petronas, Murid yang Lupa kepada Sang Guru

WAJAR jika bangsa Indonesia "panas" melihat tingkah Malaysia yang memberikan konsesi wilayah pertambangan melalui perusahaan migasnya, Petronas, kepada perusahaan asal Belanda Royal Dutch/Shell. Apalagi penandatanganan kontrak untuk penggarapan wilayah tersebut dilakukan pada tanggal 16 Januari 2005, atau dua hari setelah kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Malaysia untuk mempererat hubungan kedua negara.

SEHARUSNYA Malaysia mempertimbangkan hubungan kedua negara sebelum memberikan konsesi atas wilayah kedaulatan RI, mengingat Petronas belajar dari Pertamina pada era tahun 1970-an hingga bisa menjadi besar seperti saat ini. Pemberian konsesi kepada Shell melalui Petronas adalah sistem yang diadopsi mentah-mentah dari Pertamina.

Petronas tak bisa menghapus sejarah bahwa mereka pernah belajar dari Pertamina. Ketika Kompas mengunjungi Kantor Pusat Petronas di Kuala Lumpur tahun 2002, Pertamina dijuluki sebagai "saudara tua" oleh kalangan pegawai di sana. Diakui, Petronas pernah datang ke Indonesia untuk belajar dari Pertamina di era tahun 1970-an.

Pola kontrak kerja sama industri migas yang digunakan di Malaysia, seratus persen diadopsi dari Undang-Undang Migas Tahun 1971 yang sudah tidak digunakan lagi di Indonesia.

Jika melihat hubungan historis yang relatif panjang, seharusnya Petronas sadar bahwa wilayah yang diberikan kepada Shell sudah dikuasai Pertamina sejak lama. Jika Petronas kemudian memberikan kepada pihak lain, merupakan pengkhianatan terhadap gurunya.

Ironisnya, perusahaan yang menerima konsesi dari Petronas adalah Shell, yang juga pemegang konsesi pada wilayah migas yang sama pada tahun 1999 dari Pertamina, sebelum Shell menjual haknya kepada pihak ENI dari Italia tahun 2001.

Pemberian konsesi memang mengada-ada, karena sebenarnya mantan Perdana Menteri Mahathir Muhammad hadir dalam acara penandatangan kontrak pengelolaan Blok East Ambalat antara BP Migas dan Unocal pada bulan Desember 2004. Selain itu, pihak Malaysia pada saat itu tak memberikan sedikit pun keberatan atas penandatangan kontrak tersebut, tetapi ternyata melakukan tindakan provokatif dengan memberikan konsesi atas wilayah tersebut kepada Shell dua bulan kemudian.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menegaskan, Pemerintah RI telah mempelajari sejarah dan segala yang terkait dengan wilayah tersebut. Kesimpulannya, Blok East Ambalat masuk ke wilayah Indonesia sehingga diberikan kepada Unocal sebagai pemenang tender.

"Oleh karena itu, kami mendorong Unocal untuk segera menanamkan investasi di blok tersebut. Blok tersebut milik Pemerintah RI. Oleh karena itu, dapat diberikan kepada Unocal," ujarnya.

Kawasan sekitar Blok East Ambalat sudah dikelola oleh pihak Indonesia sejak lama. Beberapa blok di sekitar blok tersebut bahkan sudah dikelola sejak puluhan tahun lalu. Blok Bunyu yang berada di sekitar Blok East Ambalat dikelola Total Indonesie sejak tahun 1967 setelah perusahaan meneken kontrak dengan Pemerintah RI.

Departemen Luar Negeri (Deplu) juga telah memberikan dukungan kepada Direktorat Jenderal Migas untuk tetap meneruskan kegiatan pertambangan migas di wilayah itu meskipun Malaysia telah memberikan wilayah kerja tersebut kepada Shell dengan nama Blok ND6 dan Blok ND7.


Jika melihat luas Blok ND-6 dan ND-7, sebenarnya kelihatan bahwa pemberian konsesi kepada Shell benar-benar tindakan yang sangat provokatif. Jika melihat peta migas Malaysia, luas areal kedua blok itu sangat luas dibandingkan dengan luas blok yang selama ini diberikan Malaysia. Kesannya, Malaysia memberikan seluruh wilayah yang menjadi klaim mereka, mumpung ada perusahaan yang siap berkonfrontasi dengan Indonesia, ENI atau Unocal.

KONTRAK Blok Ambalat ditandatangani pada 27 September 1999, antara Pertamina (atas nama Pemerintah RI) dengan Ambalat Shell BV. Kala itu Shell berkomitmen menanamkan investasi sebesar 16,5 juta dollar AS untuk membiayai kegiatan eksplorasi selama sepuluh tahun pertama.

Namun, pada tanggal 4 Oktober 2001, Shell mengundurkan diri dari ladang tersebut dan posisi operator diserahkan ke ENI Ambalat Ltd.

Sebelum mengundurkan diri, Shell pernah mengebor sumur Bougenville, tetapi hasilnya dry hole (lubang kering) yang tidak terdapat minyak maupun gas. Ketika ladang dipindahtangankan ke ENI, sudah dilakukan dua kali pengeboran, yaitu sumur Asther dan Padma.

Mereka berhasil menemukan potensi migas. Namun, sampai saat ini belum bisa diumumkan berapa cadangan migas aktual karena masih memerlukan kegiatan eksplorasi lanjutan. Tetapi yang pasti, sejak tahun 1999 hingga 2004, realisasi investasi yang sudah ditanamkan mencapai 13,4 juta dollar AS, antara lain digunakan untuk kegiatan studi, survei seismik dua dimensi dan pengeboran sumur.

Sementara, kontrak ladang East Ambalat ditandatangani Pemerintah RI dengan Unocal East Ambalat Ltd pada tanggal 12 Desember 2004. Unocal berkomitmen menanamkan investasinya sebesar 14,5 juta dollar untuk sepuluh tahun pertama. Dijadwalkan, Unocal akan mulai melakukan kegiatan lapangan pada bulan Juni 2005.

Klaim Malaysia tidak mengganggu kegiatan operasi migas di kawasan tersebut. Pemerintah RI melalui Direktorat Jenderal Migas sudah menegaskan kepada Eni Ambalat Ltd dan Unocal Ventures East Ambalat bahwa wilayah kerja Blok Ambalat dan Blok East Ambalat masih berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka diminta tetap melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah kerja masing-masing, sesuai jadwal dan waktu yang direncanakan.

WILAYAH perairan Sulawesi sebenarnya sudah dikuasai Indonesia tanpa keberatan dari Malaysia, termasuk Blok Ambalat dan East Ambalat. Bahkan, tercatat perusahaan Perancis, Total Indonesie, sudah melakukan kegiatan eksplorasi di situ sejak tahun 1967, yang merupakan kegiatan migas di perairan (off shore) yang pertama di Indonesia dengan mengelola Blok Bunyu.

Sementara itu kontraktor bagi hasil (KPS) lainnya yang ada di Laut Sulawesi, antara lain BP mengelola lepas pantai North East Kalimantan tahun 1970, dan Hadson Bunyu untuk Blok Bunyu pada tahun 1983. Kemudian, ENI Bukat untuk Blok Bukat tahun 1988 dan ENI Ambalat untuk Blok Ambalat pada tahun 1999.

Tiba-tiba, berdasarkan klaim atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Malaysia menerbitkan peta tahun 1979 yang memasukkan sebagian wilayah perairan Sulawesi sebagai bagian negara Malaysia. Padahal, setelah menang di pengadilan atas kepemilikan Sipadan dan Ligitan, batas negara Malaysia tidak harus ditarik secara sejajar antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sipadan.

Malaysia bukan negara kepulauan dan Sipadan hanya pulau kecil yang tak berpenduduk. Jadi tidak mungkin langsung menarik batasan di tengah- tengah antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sipadan. Garis batas negara yang benar adalah hanya maksimal 12 mil dari keliling Pulau Sipadan.

Penentuan batas, seharusnya mencontoh kesepakatan yang terjadi pada pembuatan batas negara antara Indonesia dan Australia, berkaitan dengan Pulau Ashmore dan Pulau Christmas. Penarikan batas hanya sedikit melenceng dari batas awal, tidak antara Pulau Jawa dengan kedua pulau tersebut.

PIHAK Deplu juga telah mengirim surat kepada Shell yang bernada peringatan, bahwa perusahaan asal Belanda itu akan sulit melakukan kegiatan atas wilayah konsesi yang diberikan Petronas, karena akan melanggar hukum Indonesia.

Dijelaskan kepada Shell bahwa sebenarnya mereka menyadari telah melakukan aktivitas pengeboran di wilayah tersebut atas pemberian kontrak Indonesia. Selama itu, tak ada keberatan dari pihak lain, sehingga menunjukkan bahwa wilayah itu benar-benar milik Indonesia.

Setelah mendapat reaksi keras dari bangsa Indonesia, Malaysia menyatakan ingin berunding. Padahal, konon pihak Malaysia enggan membahas masalah perbatasan, yang sebenarnya terkait dengan Blok Ambalat dan Blok East Ambalat ketika Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono berada di Kuala Lumpur tanggal 15 Februari 2005. Malaysia atau Petronas, ternyata hanya berani "menikam punggung" Sang Guru dari belakang. (BUYUNG WIJAYA KUSUMA)

No comments:

Post a Comment