Teknologi membuat semua orang yang saya kenal
 bekerja lebih keras dan lebih lama.
 – Wareen Bennis
 "Apa arti kerja keras bagi Anda?" tanya saya kepada sejumlah kawan.
 "Kerja keras berarti datang ke tempat kerja paling pagi dan pulang
 paling malam, tapi tetap sehat dan optimis" jawab Didi yang
 pengusaha.
 "Kerja yang mengandalkan kekuatan diri sendiri, terutama yang
 bersifat fisik, untuk mencapai suatu tujuan atau hasil yang
 diinginkan," ujar Elly yang dosen perguruan tinggi.
 "Kerja keras itu wajib untuk mencapai hasil maksimal," jawab Wawan
 yang tentara.
 "Cara kerja yang harus dilalui sebelum orang mampu bekerja dengan
 cerdas dan kreatif. Orang tidak bisa menemukan cara-cara cerdas bila
 ia belum pernah bekerja keras," urai Agung yang pegawai.
***
 Pernahkah Anda menghitung, berapa jam biasanya waktu yang Anda
 pergunakan untuk bekerja mencari nafkah hidup dalam seminggu?
 Jawabannya mungkin akan bervariasi, tergantung pada jenis pekerjaan
 atau profesi yang Anda jalankan. Coba bayangkan profesi-profesi
 berikut: pengacara, dokter, notaris, pilot, hakim, jaksa, petani,
 pedagang, manajer/ekskutif, konsultan, model iklan, pemain film dan
 sinetron. Manakah diantara mereka yang menurut Anda bekerja paling
 keras untuk menafkahi hidupnya? Bagaimana dengan pegawai swasta dan
 pegawai negeri pada umumnya? Siapakah yang jam kerja rata-rata per
 minggunya paling panjang? Bagaimana dengan pengajar sekolah, buruh-
 buruh pabrik, kuli angkut, dan pekerja di pusat-pusat pembelanjaan
 modern yang baru pulang setelah pukul 9 malam? Manakah yang paling
 banyak mengucurkan keringat?
 Ada asumsi bahwa orang-orang yang harus bekerja lebih dari 45 jam
 per minggu adalah kaum pekerja kasar yang tak terpelajar. Jam kerja
 mereka panjang, dan proses kerjanya lebih mengandalkan keterampilan
 fisik/otot, sehingga upahnya serba minimum. Mereka yang terpelajar,
 kaum profesional dan para sarjana lulusan universitas terkemuka yang
 menjadi manajer-manajer di usia belia, adalah orang-orang yang
 seharusnya memiliki waktu kerja pendek karena mampu bekerja dengan
 lebih cerdas. Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi yang
 sangat mengagumkan dalam satu dekade terakhir, kelompok terpelajar
 yang bekerja mengandalkan otak diasumsikan akan memerlukan waktu
 kerja yang relatif minimum, kurang dari 40 jam per minggu. Sebab,
 bukankah orang-orang yang cerdas dengan perangkat teknologi mutakhir
 seharusnya tidak perlu bekerja keras seperti nenek moyang mereka
 (dan kita) dulu?
 Masalahnya, di sekolah kehidupan kita kemudian menyaksikan kenyataan
 yang lain. Seperti dilaporkan BusinessWeek edisi Oktober 2005 lalu,
 dalam konteks Amerika jumlah para "budak kerja" itu cukup
 mencengangkan. Lebih dari 31% pekerja pria lulusan perguruan tinggi
 di Amerika Serikat lazim bekerja 50 jam atau lebih dalam sepekan di
 kantor, naik dari 22% di tahun 1980, ketika teknologi informasi
 belum canggih seperti dewasa ini. National Sleep Fondation
 melaporkan bahwa sekitar 40% orang dewasa Amerika tidur kurang dari
 7 jam pada hari kerja. Padahal sejak 1926 Henry Ford telah
 mempelopori lima hari kerja dalam sepekan, dan sejak 1970 di Amerika
 berlaku waktu kerja 40 jam seminggu. Lalu bagaimana menjelaskan
 kecenderungan pekerja terpelajar Amerika dewasa ini yang malah
 menghabiskan waktu kerja seperti para buruh pabrik di abad ke-19,
 yang rata-rata bekerja 60 jam per minggu?
 Pekerja Amerika tidak sendirian. Di Cina, para manajer senior dengan
 pendapatan $ 2.000 AS ---dengan kurs Rp 9.500,- berarti Rp 19 juta---
 sebulan umumnya bekerja 6o jam, enam hari seminggu. Meski sekitar 20
 jam diantaranya terhitung lembur, tapi mereka tidak mendapatkan upah
 tambahan dari kerja ekstra itu. Umumnya, kaum pekerja keras itu
 mengaku tak punya pilihan kecuali lembur dan menganggap hal itu
 memang sudah menjadi tugas mereka, sehingga memang tidak perlu upah
 tambahan. Disebutkan bahwa sedikitnya di tiga kota Cina, 51% orang
 yang lembur selama hari kerja tak mendapat upah tambahan---suatu hal
 yang tidak terjadi pada rekan-rekan mereka di Jepang dan Korea
 Selatan. Pada hal UU Ketenagakerjaan di Cina telah menetapkan jam
 kerja 44 jam seminggu, dalam lima hari kerja, dengan cuti tahunan
 dua minggu, hari libur rutin, dan upah lembur minimal satu setengah
 kali upah normal. Kenyataannya peraturan semacam itu tak mampu
 membendung tumbuhnya kelompok "budak kerja" di negeri tirai bambu
 tersebut. Hanya pegawai negeri saja, seperti pengajar sekolah, yang
 menghabiskan waktu kerja 40 jam seminggu dengan penghasilan sekitar
 $ 200 AS sebulannya.
 Hal lain yang juga menarik untuk disimak adalah laporan tentang
 jumlah jam kerja wanita karier di Amerika dan Eropa yang diwakili
 oleh 15 negara Uni Eropa. Pada tahun 1984, di Amerika sekitar 58%
 wanita karier yang menghabiskan waktu kerja lebih dari 40 jam
 seminggu. Jumlahnya meningkat di tahun 2004 menjadi sekitar 62%.
 Sementara di Eropa, hanya sekitar 36% wanita karier yang
 menghabiskan waktu kerja di atas 40 jam seminggu, tahun 1984. Dan di
 tahun 2004 jumlahnya turun menjadi sekitar 29%. Apakah itu berarti
 wanita karier di Amerika bekerja semakin keras hari-hari ini,
 sementara rekan-rekan mereka di Eropa lebih punya waktu untuk hal
 lain di luar pekerjaan? Tak ada penjelasan lebih lanjut soal hal
 ini. Yang jelas, dalam sebuah wawancara, perempuan Amerika yang
 cerdas dan fenomenal Oprah Winfrey pernah mengaku bahwa ia biasa
 bekerja 14-15 jam sehari, dan bila hanya bekerja 12 jam sehari, ia
 merasa ada sesuatu yang kurang hari itu.
 Pemaparan data-data tersebut diatas menunjukkan bahwa tidaklah benar
 asumsi yang mengatakan bahwa hanya orang yang tidak bergelar dan
 bodoh saja yang dituntut bekerja keras menafkahi hidupnya.
 Kenyataannya, orang-orang yang paling terpelajar di negeri yang maju
 seperti Amerika, maupun yang bermukim di negeri berkembang macam
 Cina, justru tetap bekerja keras untuk menafkahi hidupnya. Asumsi
 yang mengatakan bahwa dengan kemajuan teknologi informasi kaum
 pekerja akan lebih santai dalam melakukan pekerjaannya juga patut
 digugat kembali. Sebab kenyataannya para sarjana yang paling melek
 dan menguasai teknologi informasi mutakhir saja tidak bekerja lebih
 santai dibanding orang-orang yang relatif buta teknologi informasi.
 Jadi, bekerja keras dalam arti bekerja lebih lama dari aturan kerja
 yang berlaku secara formal---misalnya, lima hari kerja, 40 jam
 seminggu---dengan menggunakan kemampuan diri sendiri untuk memenuhi
 kebutuhan dan keinginan hidup sehari-hari, agaknya sudah menjadi
 kecenderungan yang sulit dibendung. Semakin banyak pekerja merasa
 memang begitulah seharusnya, terutama ketika mereka menginginkan
 karier dan kehidupan yang lebih baik. Kerja keras seolah-olah
 menjadi jalan satu-satunya. Hal ini tentu tidak terlalu perlu
 dipersoalkan jika kita memiliki pekerjaan yang kita senangi, pekerja
 yang sesuai dengan bakat dan potensi terbaik kita, dan pekerjaan
 yang memberikan hasil-hasil terbaik, baik kepada kita maupun kepada
 masyarakat dan lingkungan dimana kita mengabdi. Seperti Oprah
 Winfrey yang menemukan "tempatnya" yang unik di dunia ini, ia
 mungkin melakukan pekerjaannya tanpa merasa "bekerja".
 Masalahnya, bagaimana jika pekerjaan yang kita miliki saat ini
 bukanlah pekerjaan yang kita inginkan? Bagaimana kalau pekerjaan
 yang kita miliki saat ini adalah pekerjaan yang tidak sesuai dengan
 bakat dan potensi terbaik kita? Bagaimana kalau pekerjaan kita saat
 ini adalah pekerjaan yang tidak menumbuhkan rasa bangga dalam diri
 kita? Bagaimana kalau pekerjaan yang kita tekuni saat ini adalah
 pekerjaan yang tidak menjanjikan masa depan yang lebih? Terhadap
 empat pertanyaan terakhir ini saya akan menjawab dengan satu
 pertanyaan berikut: sampai kapan Anda bersedia bekerja keras untuk
 jenis pekerjaaan seburuk itu?
Tabik Mahardika!
 Sumber: Kerja Keras, Sampai Kapan? oleh Andrias Harefa. Andrias
 Harefa adalah pembelajar sekolah kehidupan.
No comments:
Post a Comment