Semoga tulisan kecil ini dibaca oleh kedua
anakku kelak saat mereka sudah bisa membaca. Malam ini di awal Nopember 2011,
saat usiaku 33 tahun dan 6 tahun usia pernikahanku dengan istriku yang kucinta
Ramadhani Rasyidin.
Di teras rumahku, aku bersandar santai
ditemani suara jangkrik dan cuaca yang sangat bersahabat. Sementara di
Thailand, saat ini mereka sedang kesusahan karena genangan air banjir yang
tentu saja mengganggu aktivitas mereka. Si Bunda baru saja membuatkan kopi
krimer kesukaanku, sesuatu yang menurut ukuranku mewah saat aku masih mahasiswa
dulu.
Baru saja, beberapa menit yang lalu si sulung Zufar berlari-lari sambil berteriak menggoda adiknya si bungsu Sharda (untuk sementara bolehlah aku menyebutnya si bungsu). Mereka berhilir mudik menaiki dan menuruni anak tangga rumah kami yang mungil (aku tak mau menyebut sempit, itu tandanya aku tak bersyukur).
Suara jeritan, teriakan dan kegaduhan dari seorang anak, itu adalah kenikmatan luar biasa. Itu adalah indikator penting bahwa mereka sehat, berkecukupan gizi, dan tidak tertekan. Itu juga menandakan bahwa aku hadir dalam perjalanan mereka dari bayi ke balita.
Aku tak pernah meminta kepada Tuhan rumah
yang layak. Lalu Dia tetap memberikan kami rumah permanen yang dibangun oleh
seorang tukang yang bekerja pada toko besi dan bangunan. Ia membangunnya dengan
sepenuh hati, bukan seperti rumah-rumah kompleks yang dibangun dalam kualitas
rendah dan seperti terburu-buru. Ia menempati rumah ini hanya satu tahun lebih
beberapa bulan, lalu menjualnya kepada kami. Rumah inilah yang menjadi fondasi
kami menjejakkan kesepakatan-kesepakatan peranan. Bagaimana tugasku dan apa
tugas istriku; do & don’t; apa yang penting dan urgent dan apa yang penting
tetapi tidak urgent dan seterusnya.
Rumah ini pula tempat kami berteduh dari teriknya panas dan dinginnya malam. Seperti layaknya keluarga pada umumnya, TV adalah sumber dari segala sumber referensi kami. Si Bunda bisa bertemu tokoh-tokoh rupawan yang menghibur dirinya selepas bekerja seharian. Dan Aku? Biasanya selalu gagal merebut remote control dari tangannya. Tidak peduli tim favoritku Arsenal yang baru saja membantai Chelsea 5-3 dalam liga premier musim ini! L tidak mengapa, toh TV yang menurut kami bagus ini memang dari uang jerih payah si Bunda juga kok.
Aku biasanya lari ke handheld, bercengkrama
dengan teman-teman mayaku. Entah itu mailing list, blackberry group,
mengomentari status facebook atau mengecek mention di akun twitter dan puluhan
aktivitas buang-buang waktu lainnya :-)
Sebelumnya pasti si Sharda sudah menarik
tanganku untuk menyaksikan video dirinya sendiri. Hadoooh.. ini anak kok narsis
dari kecil sih? Abangnya sudah tau diri, ia akan berdiri di samping kursi
komputer, menunggu adiknya bosan. Si abang sudah aku sediakan video hasil
unduhan dari Youtube seperti aksi Cristiano Ronaldo dari FerdinandTV
men-jugling bola atau aksi akrobatik Red Arrow membelah angkasa. Kami belum
mampu membeli Playstation 3 atau Xbox, dan jika bisa pun pasti “Mentri
Keuangan” sudah menempatkan keinginan tersebut dalam no. urut paling bawah, ya
sudahlah..
Wahai anakku, Ayah sangat mencintai kalian
Nak. Mengapa? Karena kalian sudah membuat ayah diperlukan dalam hidup ini.
Karena kepolosan kalian, pelan-pelan ayah menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Ayah bunda tidak bisa berantem teriak-teriakan lagi, karena kalian dengan
lucunya memandang wajah ayah seperti alien dan memaksa kami berhenti
bertengkar..
Semoga kalian diberi umur yang berkah dan
berusahalah menjadi manusia yang memberi nilai lebih pada lingkungan di manapun
kalian berada. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat buat orang lain.
No comments:
Post a Comment