Imbauan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar pejabat berhenti
menerima parsel terkait jabatan dan tugasnya menuai kontroversi.
Sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Parsel
Indonesia (APPI) protes dan lalu mengeluhkan imbauan KPK itu kepada
DPR.
Katanya imbauan yang jelas-jelas menyebut paket bingkisan yang
biasanya berisi makanan--dan kemudian berkembang diisi peralatan
kristal dan bahkan kunci mobil itu-- telah mematikan banyak pengusaha
parsel. Sejak imbauan itu dilakukan dua tahun ini, kata ketua APPI,
separuh dari 400-an anggota APPI sudah gulung tikar.
"Padahal rata-rata anggota APPI masing-masing mempekerjakan 50-an
orang sehingga imbauan itu telah mematikan mata pencaharian sekitar
10.000 pekerja. Selain itu, omzet pengusaha parsel anggota kami rata-
rata turun 50%," kata sang ketua yang putri seorang menteri yang
masih aktif.
KPK pun dengan penuh keyakinan memberi tanggapan. Bahwa sebutan
gamblang tak boleh menerima parsel semata-mata karena tak ada istilah
lain untuk menyebut bingkisan yang dikirim dalam masa-masa puasa dan
Idul Fitri. Bahwa prinsipnya KPK ingin menegakkan aturan: pejabat
dilarang menerima apapun terkait tugas dan jabatannya.
"Kami mau bilang kepada 20.000-an pejabat dari 3,7 juta pegawai
negeri di republik ini: sudahlah akhiri terima-terima hadiah semacam
itu," ujar salah satu direktur KPK seraya menambahkan bahwa imbauan
ini bukan upaya pengalihan perhatian atas masih banyaknya koruptor
yang melenggang dengan bebas.
Sejumlah kejanggalan
Tanggapan para pengusaha parsel ini dari satu sisi menunjukkan betapa
upaya mengubah satu kebiasaan tak semudah membalik telapak tangan.
Bagaimana upaya penerapan aturan yang sesungguhnya sudah sangat jelas-
larangan bagi pejabat untuk menerima hadiah-yang sesungguhnya hanya
merupakan pengulangan itu tidak mudah.
Betapa larangan yang tujuannya sungguh sangat baik demi tercapainya
keadaban pribadi maupun sosial yang lebih tinggi itu justru
disalahpahami kalau tak mau disebut mendapat perlawanan. Siapa lagi
kalau bukan dari pengusaha yang selama ini telah menikmati manfaat
dari pasar yang bisa dikatakan captive yaitu rekanan orangtuanya.
Namun hal itu sekaligus menjadi sangat ironis karena ekspresi
kesalahpahaman itu malah menunjukkan bahwa industri parsel, kalau
boleh dibilang industri, selama ini memang ditopang budaya nyogok.
Betapa parsel yang dikirim ke pejabat yang proporsinya, kata ketua
APPI, hanya 30% itu sungguh jadi pendorong dan penunjang utama
industri ini.
Yang tak kalah janggal yang protes bukan pejabatnya yang mendapat
larangan. Seperti karambol atau biliar, larangan menerima parsel itu
justru menyentil 'pihak lain'. Yang dilarang diam-diam saja mungkin
mulai merasa bersalah dan telah berlaku kurang etis dengan kebiasaan
tak bisa menolak rezeki. "Rezeki kok ditolak," dalih mereka dulu.
Tegasnya larangan itu sudah pada jalur yang benar karena yang dikenai
larangan sudah disumpah saat diangkat untuk tidak menerima apapun,
tentunya termasuk parsel, terkait jabatan dan tugasnya. Imbauan KPK
hanya sekadar rambu tambahan karena seperti biasa ada asumsi aturan
dibuat untuk dilanggar. Apalagi kalau tak ada yang mengawasi
pelaksanaannya.
Membiasakan yang benar
Jelas salah-kaprah dalam memberi dan menerima parsel ini tak bisa
terus dibiarkan. Apalagi kalau bukan mengingat aliran hadiah itu
selama ini memang tidak rasional. Bukannya pejabat lebih tinggi yang
lebih mampu yang memberi, tapi justru mereka yang kurang membutuhkan
inilah yang kebanjiran parsel setiap lebaran dan tahun baru.
Padahal kalau mau benar-benar beramal, tak ada maksud yang lain,
mengapa pemberi parsel tidak menyalurkannya ke para pihak yang kurang
mampu yang ada di lingkungannya. Juga para korban yang sekarang
banyak itu--dari yang kena gempa, kebakaran sampai yang rumahnya
terendam lumpur panas.
Penentangan itu sedikit banyak menunjukkan pola pikir: biarkan saja
ada korupsi asal tetap kebagian. Ada kesan tak peduli
disangkutpautkan bahkan membela tindakan tak terpuji tersebut dengan
dalih bila pembatasan dilakukan akan mempersempit lapangan kerja.
Apalagi sebutan yang tepat kalau bukan sekadar membela kepentingan
kelompok sendiri dengan menutup mata bahwa selama ini korupsi--yang
difasilitasi parsel-memarsel itu--kalau dihitung merugikan berapa
ratus ribu, atau bahkan juta warga yang dilanggar haknya. Satu
konsekuensi yang nyaris jadi hukum dalam bisnis.
Jadi sungguh suatu sikap yang susah dimengerti dari para pengusaha
parsel apabila keniscayaan menuju transparansi dalam segala proses
tersebut terus dilawan. Hal ini mengingat hakikat pengusaha sejati
adalah survival dan cepat beradaptasi. Selain juga ada pengingat:
jangan membenarkan kebiasaan, tapi membiasakan yang benar.[]
Sumber: Jangan Membenarkan Kebiasaan oleh Rab A. Broto. Rab A. Broto
adalah penulis buku "Psikologi Duit" (Bornrich, 2006)
yang sejak lama menekuni ihwal pelatihan peningkatan motivasi
berprestasi.
No comments:
Post a Comment